Ironi Dunia Penulisan Para Kiai

Beberapa penelitian dan survei membuktikan bahwa buku-buku agama menjadi buku yang paling
diminati masyarakat Indonesia. Tak mengherankan bila dikatakan bahwa buku agama potensial untuk berkembang lebih pesat. Apalagi, jumlah umat Islam di Tanah Air pun sangat besar. Bahkan, terbesar di dunia.

Kita mengenal sederet nama agamawan, cendekiawan muslim, dan beberapa ulama, yang produktif menorehkan gagasannya dalam sebundel kertas yang bernama buku. Sebut saja Quraish Shihab, Ali Yafie, Didin Hafidhuddin, Sahal Mahfuzh, Azyumardi Azra, Mustofa Bisri, Amin Abdullah, Syafi’i Ma’arif, dan sebagainya.

Kondisi ini tentu menggembirakan, karena para elit agama Islam itu terus concern di jagat penulisan, jagat penyemai transformasi peradaban. Namun, perasaan gundah berbalut tanda tanya juga muncul merespon kondisi terkini; ‘dibuang’ kemana pemikiran dan pencerahan kaum ‘bersarung’ (kiai dan santri) yang selama ini tak disangsikan lagi kekritisan dan keilmiahannya? Mereka inilah yang semestinya banyak mengisi lembar buku-buku agama.

Ada indikasi, pesantren telah banyak kehilangan produktivitas literasinya, terutama menulis. Di antara nama di atas memang boleh kita sebut mewakili kelompok ‘bersarung’. Namun, prosentase mereka tidak menunjukkan angka yang fantastis bila dibanding kiai yang lebih mentradisikan orasi (ceramah). Senyatanya, ada yang terlupa bahwa menulis dan membukukan gagasan jauh lebih bernilai dari sekadar berorasi di ruang sempit yang lekas hilang seturut disudahinya orasi.

Didin Hafidhuddin, saat memberikan tausiyah HUT ke-20 Penerbit Gema Insani Press (GIP) Mei 2006 lalu, sempat berujar, "Dengan menulis buku, maka ilmu yang dimiliki tidak terbuang percuma. Selain itu, buku bisa diwariskan kepada umat pada masa hidupnya maupun pada masa-masa sesudahnya."

Dalam sejarah intelektual Islam Nusantara, sejatinya pesantren telah meroketkan banyak nama lokal yang memiliki kapabilitas intelektual kaliber internasional, bahkan ada yang menjadi ‘guru besar’ di pusat Islam, Mekkah dan Madinah. Misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani. Karena kedisiplinannya menulis buku, karya-karya besar mereka mampu menembus di hampir seluruh ruang kajian di belahan bumi ini.

Nama-nama lokal lain yang meroket adalah Buya HAMKA. Lebih dari 120 buku yang beliau hasilkan selama hidupnya. Karya masterpiece-nya --terutama roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tasauf Modern dan Tafsir Al Azhar-- terus abadi dan ditelaah para mahasiswa serta sarjana sampai detik ini.

Ini menjadi bukti bahwa ide-ide yang dituangkan dalam tulisan bisa mempengaruhi umat manusia dalam kurun yang panjang. Pengaruh sebuah ide dan tulisan (buku) bahkan bisa melebihi umur manusia. Buku Ar-Risalah karya Imam Syafii, misalnya, meskipun beliau telah ribuan tahun meninggal, sampai kini bukunya tetap menjadi bahan kajian dan rujukan para ulama dalam menelaah ilmu fiqih.

Ulama lain yang dapat kita sebut adalah Imam Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin, Ibnul Qayyim Al Jauziyah dengan karya utamanya Madarijus Salikin (Jenjang Spiritual), dan Sayyid Quthb dengan karya monumentalnya Fi Zhilalil Quran (Di Bawah Naungan Alquran).

Pada masa selanjutnya, nama Yusuf Qaradhawi juga berkibar sebagai ulama Mesir yang produktif menulis, bahkan bukunya banyak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia, antara lain Fatwa-fatwa Kontemporer, Fiqh Prioritas, Fiqh Perdagangan Bebas, Fiqih Zakat, Halal-Haram dan Berinteraksi dengan Alquran.

Ilustrasi di atas nampaknya tinggal sejarah yang sulit direkonstruksi di masa kini. Dunia penulisan para kiai mulai menjauh dari titik kejayaannya, bahkan kian meredup. Fenomena mutakhir memperlihatkan kondisi yang lebih ironi. Terbukanya kran reformasi 1998, tak dimungkiri telah menggiring para elit agama Islam (kiai) dan juga para santri ke ranah politik. Dampak yang kurang menguntungkan adalah rumah buku dan sanggar-sanggar budaya menjadi sepi dari sentuhan karya para kiai maupun santri.

''Sulit membangun peradaban tanpa (budaya) menulis dan buku,'' begitu ucap penulis ternama Amerika Serikat, TS Eliott. Hal senada juga diungkapkan Barbara Tuchman, sejarawan sekaligus penulis Amerika Serikat, "Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, serta jendela dunia."

Buku dan menulis merupakan kontributor terbesar bagi terciptanya peradaban. Bahkan Islam sendiri sangat menekankan itu melalui wahyu pertamanya, Surat Al-'Alaq (96): 1-5. Karena itu, tak berlebihan apabila kita mengharapkan para kiai kembali produktif menulis buku, atau setidaknya artikel.

Dai-dai muda semisal Yusuf Manshur, Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Quran/Darul Quran Wisata Hati Cipondoh Tangerang, atau Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), Pengasuh Pondok Pesantren Darut-Tauhid Bandung, sangat menyadari arti penting sebuah buku. Karenanya, mereka pun menyemarakkan perbukuan nasional dengan karya-karya produktifnya yang bernuansa asketis normatif.

Menurut pengakuan Yusuf Manshur, lebih dari 45 judul buku dalam waktu kurang dari empat tahun telah ia hasilkan. Kalau satu buku rata-rata memiliki ketebalan 300 halaman, berarti total sekitar 13.500 halaman. Bagaimana dengan pesantren-pesantren (kiai-kiai) lain? Kita tunggu kebangkitannya!

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement