Sumpah Pemuda Tak Hanya Romantisme Sejarah

TUJUH puluh sembilan tahun silam, semangat pemuda untuk memekikkan kesatuan nusantara benar-benar menyala. Walau berada di bawah tekanan penjajah, mereka tetap mempersatukan diri dan mendeklarasikan sumpah setia kepada Nusantara. Puncaknya, pada 28 Oktober 1928 bergaunglah tekad kuat para pemuda yang terangkum dalam butir-butir Sumpah Pemuda: ”Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Air Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”.

Sumpah setia hasil rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II itu terlahir melalui rentetan sejarah yang panjang. Atas inisiatif Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia, diselenggarakanlah rapat akbar para pemuda yang dihadiri oleh wakil-wakil organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan lainlain.

Hadir pula sebagai pengamat beberapa orang Pemuda Tionghoa: Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie, serta Kwee Thiam Hong sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Demi kesuksesan agenda penting tersebut, rapat dibagi menjadi tiga kelompok dan menempati tiga tempat yang berbeda. Rapat pertama digelar di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng pada Sabtu, 27 Oktober 1928. Dalam sambutannya, ketua PPI Soegondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda.

Acara dilanjutkan dengan orasi Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang dapat memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua dilaksanakan pada Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Pembicara yang tampil pada saat itu adalah Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Keduanya berpendapat bahwa anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada sesi selanjutnya, Ramelan mengemukakan pendapatnya bahwa gerakan kepanduan tidak dapat dipisahkan dari pergerakan nasional. Sedangkan Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi, selain gerakan kepanduan itu sendiri.

Rumusan yang berupa ikrar setia tersebut menjadi saksi tekad bulat para pemuda Indonesia dalam mengintegrasikan tiga persepsi, yaitu: nusa, bangsa, dan bahasa.

Namun, ironisnya sumpah pemuda selama ini hanya menjadi sebuah seremoni tanpa arti dan rutinitas tanpa bekas. Artinya, tanggal 28 Oktober hanya dijadikan sebagai hari upacara dan sekadar romantisme sejarah yang dikenang belaka.

Padahal di balik itu semua terdapat makna terdalam yang tidak kita tangkap, yaitu komitmen untuk berbakti dan berbuat yang terbaik bagi bangsa.

Salahsatu kelemahan utama bangsa ini adalah kegagalan menangkap makna dari apa pun yang telah dilakukan. Padahal kemampuan menangkap makna ini amatlah penting. Hanya dengan menemukan makna bangsa ini akan mampu menghadapi tantangan apa pun di dalam perjalanan hidupnya.

Tanpa kemampuan menemukan makna segala tindakan hanya akan menjadi sesuatu yang teknis. Untuk itu, perlu dibangun kembali kesadaran baru dalam memaknai sumpah pemuda secara aktual.

Paling tidak tiga hal yang dapat kita petik dari sejarah sumpah pemuda tersebut, yaitu, pertama, meneguhkan kemerdekaan hakiki.

Kontinuitas histori sebuah negarabangsa sangat ditentukan oleh derajat ”solidaritas psikologis” (psychological solidarity). Kalau ikatan psikologis antarmasyarakat di negeri ini tidak terbangun secara benar, maka ancaman disintegrasi tetap akan mengancam.

Kapitalisme, pragmatisme, serta ”penjajahan terselubung” dari dalam bangsa sendiri merupakan bukti belum merdekanya bangsa ini secara penuh dan hakiki.

Kedua, meneguhkan kembali semangat pemuda dalam mempersatukan bangsa. Sumpah pemuda yang telah dimuseumkan di Gedung Kramat 106 ini tidak akan bermakna manakala pemuda Indonesia bertindak statis atau jalan di tempat.

Padahal salah satu tujuan museum yang telah dibangun sejak 1974 itu adalah untuk memberikan teladan bagi pemuda bahwa keanekaragaman organisasi pemuda di nusantara kala itu tetap bisa disatukan dan dikukuhkan demi kemerdekaan dan kemajuan bangsa.

Generasi muda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya. Terlebih mahasiswa, sebagai inti dari generasi muda ia mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, semangat muda yang membara, sifat kritis yang menyala, kematangan logika, dan ”kebersihan”- nya dari noda orde di masanya. Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan. Mahasiswa diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.

Harapan besar layak ditumpukan kepada pemuda yang berjuluk mahasiswa. Di tangan mereka, masa depan bangsa ini dititipkan. Di tangan mereka, kunci keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diserahkan. Dan, di pundak mereka, nasib bangsa ini disandarkan.

Namun, kesedihan menyeruak manakala melihat perilaku destruktif, anarkis, dan tindakan-tindakan lain yang bertentangan dengan semangat dan jiwa sumpah pemuda.

Perkelahian pelajar, anarkisme mahasiswa ketika ingin mewujudkan suatu harapan, serta keterlibatan mereka dalam peredaran narkoba maupun kriminalitas lain mendesakkan keprihatinan kita akan nasib bangsa ini. Jika demikian, kepada siapa lagi masa depan bangsa ini akan dititipkan? Tiba saatnya para pemuda bangkit dari tidur panjangnya, mengaktualisasikan kembali semangat dan jiwa sumpah pemuda demi masa depan bangsa. Pemuda tidak boleh ”nglokro” (loyo, kehilangan semangat). Penyakit nglokro atau loyo harus dibuang jauhjauh.

Pemuda tidak boleh hanya ongkang- ongkang, tenang-tenang saja, dan berpangku tangan. Ketiadaan musuh yang bersenjatakan meriam (baca: penjajah, kolonial) seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya.

Musuh kita saat ini bukan lagi bulebule luar negeri, melainkan sifat negatif diri kita sendiri: nglokro atau loyo (malas bekerja, berkreasi dan berprestasi).

Ketiga, menjaga kemurnian bahasa persatuan. Banyak problem sosial yang sedang dihadapi bangsa ini terkait dengan bahasa. Banyaknya istilah populer yang diserap dari bahasa asing akan mengancam kemurnian bahasa Indonesia.

Betapa sulitnya para tokoh sumpah pemuda menyatukan persepsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Maka sudak selayaknya pula, sebagai generasi bangsa, kita wajib menjaga bahasa tersebut dan tidak latah terbawa oleh ”bahasa gaul” yang memudarkan kemurnian bahasa persatuan.

Mari kita aktualisasikan semangat dan jiwa sumpah pemuda untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang unggul dan maju. Salam Sumpah Pemuda.

-------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di koran sore Wawasan pada Rabu, 31 Oktober 2007.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement