Hakikat Belajar


"Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran."
(Q.S. Az-Zumar, 39: 9)

Banyak ayat Alquran maupun hadits yang mendorong umat Islam untuk dapat menjadi pemikir dan memiliki ilmu pengetahuan yang meroket. Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka Allah SWT akan mengangkat derajat mereka ke tempat yang lebih tinggi sebagaimana dikalamkan dalam Q.S. Al-Mujaadilah [58]: 11.

Untuk menjadi pemikir sejati, dibutuhkan ketajaman pikiran, kecerdasan, kepekaan diri dalam memahami situasi, kecakapan dalam mencari jalan keluar setiap persoalan, serta memiliki sikap hidup yang terus-menerus (istiqamah) dalam menggali pengetahuan. Dan, semua itu tak akan dapat tercapai kecuali dengan proses belajar.

Rasulullah SAW bersabda, "Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim dan muslimat, mulai dari ayunan hingga liang lahat." Berangkat dari sabda Nabi inilah kemudian lahir suatu adagium yang terkenal di jagat pendidikan, yaitu life long education (pendidikan sepanjang hayat). Dengan adagium inilah kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan di negeri ini mencoba tampil “ilmiah” meNgajak masyarakat agar memasuki dunia pendidikan sepanjang hayat.

Belajar adalah key term (istilah kunci) dalam setiap usaha pendidikan. Sementara pendidikan (tarbiyah) memiliki kesejatian makna sebagai usaha pendewasaan manusia agar menjadi insan kamil (manusia sempurna atau manusia purnawan), yakni manusia beriman, bertakwa, bertanggung jawab, dan bermanfaat bagi lingkungannya pada masa sekarang maupun mendatang.

Dengan demikian, belajar atau mendulang ilmu pada hakikatnya bukan sekadar untuk tahu, paham, dan hapal suatu pengetahuan tertentu, melainkan bagaimana menjadi mengerti, kemudian mengamalkan, dan pada puncaknya menyemaikan manfaat bagi lingkungannya. Dalam dunia pesantren hal ini lebih dikenal dengan 'alim, amil, shalih, dan nafi'.

Amal dan manfaat bagi lingkungan merupakan dimensi terpenting dalam belajar dan berilmu. Berilmu tapi tak diamalkan, amat sia-sia. Beramal tanpa didasari ilmu juga tertolak, bahkan menyesatkan. Karenanya, ilmu dan amal merupakan dua entitas vital yang tidak boleh dipisahkan.

Untuk itu, Syekh Tajuddin Zarnuji melalui kitab Ta'lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, mengajarkan bagaimana belajar yang tepat agar tak hanya membuahkan ilmu, tapi juga amal dan bermanfaat bagi lingkungan.

Pertama, luruskan niat bahwa belajar merupakan sarana untuk semakin "mengenal" dan mendekatkan diri dengan Tuhan, mencapai ridla-Nya, serta menebarkan manfaat bagi agama, nusa, dan bangsa (lebih luas bagi dunia). Berilmu bukan untuk gagah-gagahan, apalagi menindas kaum lemah.

Kedua, mengagungkan ilmu dan perantara ilmu (kiai, guru, juga buku). Penghormatan atau pengagungan inilah yang kini tampak menipis di zaman sekarang. Akibat salah arah dalam memaknai modernisasi dan globalisasi, siswa, santri, dan mahasiswa, mulai tercerabut dari akar budayanya yang santun dan bermoral.

Ketiga, dilandasi minat, ketekunan, dan keuletan dalam belajar.Keempat, memilih ilmu dan guru yang tepat sehingga dapat dijadikan teladan dalam bertindak.Kelima, memiliki sifat waro’ (menjauhkan diri dari segala hal yang haram).

Rasulullah SAW bersabda, "Sewaktu-waktu penuntut ilmu itu lebih waro’ (wira’i), maka ilmunya lebih bermanfaat, belajarnya lebih mudah, dan banyak memperoleh faedah (manfaat dan pelajaran berharga).” Wallahu a'lam!

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement