Meneropong makna yang tersembunyi di balik simbolisasi ritual haji tidak kalah penting dibandingkan dengan mendalami persoalan haji dari ranahfiqhiyah (yurisprudensi Islam menyangkut tata cara dan aturan haji). Dengan pemahaman makna atas simbol-simbol inilah calon haji atau penyandang gelar haji diharapkan akan termotivasi untuk menyelaraskan dirinya dengan makna-makna tersebut. Sehingga ia tidak sekadar maqbul (sah secara ritual dan menggugurkan kewajiban) atau mabur (dalam bahasa Jawa berarti sekadar menikmati terbang dengan pesawat), atau bahkan mardud (ditolak ibadahnya oleh Allah SWT), melainkan secara sempurna meraih predikat mabrur.
Mabrur yang berakar dari kata “al-birr” berarti kebaikan. Artinya, seseorang yang menghendaki predikat tersebut mesti mampu mempertahankan nilai-nilai kebaikan yang dijalankan, tak hanya di tanah suci melainkan terus berlanjut hingga kembali ke Tanah Air, bahkan sampai ajal menjemput.
Dalam tengarai Van Gannep (1960), prosesi haji adalah serangkaian ritus keagamaan (rites de passage) yang menjadi sarana perubahan efektif seorang individu muslim dari posisi tertentu sebelumnya ke posisi yang lebih tinggi derajatnya; dari orientasi individual menuju misi sosial, dari kemewahan menuju kesederhanaan, dari "kebengkokan" menuju kehidupan yang lurus, dan dari apatis menuju simpati bahkan empati.
Memaknai Simbol
Ibadah haji bukan sekadar ritualitas-verbal yang hampa makna, melainkan juga mengandung simbolisasi filosofis yang maknanya “mengglobal”, yakni menyentuh aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Di antaranya:
Pertama, ihram. Pakaian ihram menyimbolkan egalitarianisme bahwa manusia tidak dipandang dari pangkat, kedudukan dan superioritas lainnya, melainkan kadar ketakwaannya. (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13)
Demikian halnya dengan kain putih yang dikenakan, mengingatkan bahwa dengan kain itulah kelak manusia akan dibalut sekujur tubuhnya ketika mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Pakaian putih juga bermakna bahwa kita wajib menjaga kehormatan, kesucian jiwa, dan keikhlasan semata karena-Nya.
Kedua, thawaf. Thawaf merupakan simbolisasi dinamisme dan optimisme dalam kehidupan manusia. Sebab, thawaf itu bergerak dan tidak diam seraya terus berdoa kepada Allah. Seakan-akan Allah SWT memerintahkan kepada kita, “Bergeraklah dalam kehidupan ini untuk mencari kehidupan yang lebih bermakna dan bermanfaat ke arah yang lebih baik.”
Semangat thawaf sangat relevan untuk membenahi bangsa yang tengah karut-marut ini. Optimisme dan dinamisme hidup mutlak diperlukan untuk melepaskan bangsa dari krisis yang berkepanjangan dan multidimensional. Jangan hanya pandai mengeluh dan memprotes tanpa dibarengi semangat berusaha. Semua unsur masyarakat di negeri ini hendaknya melakukan “gerakan tawaf” untuk menjadikan bangsa ini lebih makmur, bermartabar dan berkeadilan. Atau dalam bahasa Alquran disebut baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Q.S. Saba’ [34]: 15)
Ketiga, wukuf. Wukuf di Padang Arafah merupakan salah satu rukun terpenting dari rangkaian ibadah haji. Bahkan Nabi SAW menegaskan, "Al-hajju Arafah (pokok dari haji adalah wukuf di Arafah)". Sayyid Sabiq dalam al-Fiqh al-Sunnah menyebutkan, wukuf merupakan ibadah yang unik, tidak disyaratkan suci sebagaimana shalat. Dalam kondisi bagaimana pun, suci ataupun tidak (junub atau menstruasi), semua harus hadir.
Pada tanggal 9 Zulhijjah, lebih dari dua juta umat manusia akan berkonsentrasi di satu tempat yang luas, gersang dan panas, yakni Arafah. Ini merupakan refleksi pusaran hidup manusia yang menyimbolkan bahwa manusia kelak dikumpulkan di Padang Mahsyar (Q.S. al-An’am [6]:51) untuk mempertanggungjawabkan seluruh amalannya di dunia.
Secara harfiyah, wukuf berarti rehat, istirahat, jeda atau break. Makna yang dapat dipetik adalah, dalam rangkaian hidup yang penuh intrik dan ilusif ini manusia memerlukan masa rehat. Rehat yang dimaksud adalah manusia mesti mengistirahatkan tenaga dan pikirannya dari aktivitas perburuan duniawi. Meski hanya sesaat, hendaklah manusia melakukan kontemplasi dengan ber-tafakkur dan muhasabah.
Keempat, melontar Jumrah di Mina. ‘Mina’ dalam bahasa Arab berarti cita-cita. Artinya, untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat tinggi di sisi-Nya, terlebih dahulu manusia harus mampu memerangi iblis dan pasukan setan dengan jihad akbar (perjuangan besar), yaitu mengendalikan hawa nafsu agar tunduk dan patuh hanya kepada-Nya.
Simbolisasi jihad akbar ini tercermin pula dalam ritual kurban, yang secara harfiah berarti dekat. Kurban merupakan puncak perayaan ibadah haji dengan menyembelih hewan kurban sebagai upaya taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Ritualitas ini dilakukan setelah shalat Idul Adha dilaksanakan. Ritual ini merupakan simbol upaya menyembelih “nafsu kebinatangan” yang ada dalam diri kita selaku manusia. Rasa egoisme, dehumanisme dan tindakan amoral merupakan kumpulan sifat-sifat kebinatangan dalam diri yang wajib dibuang.
Kelima, sa'i. Ia merupakan simbol penyempurna sikap optimisme dan dinamisme dalam hidup. Sa'i merupakan simbol perjuangan untuk meraih sesuatu (kala itu zamzam). Ritual ini diadopsi dari peristiwa Siti Hajar yang berlari-lari antara Shafa dan Marwa guna mencari air untuk putranya Ismail yang sedang kehausan.
Ini merupakan cerminan bagi kita agar selalu berusaha dan memiliki etos kerja yang tinggi. Menyerah dengan kondisi dan keadaan bukanlah cerminan ajaran Islam. Jika semangat sa'i ini kita terapkan secara konsekuen dalam hal apa pun, maka grafik dinamisasi umat Islam lebih tinggi dibandingkan umat-umat lainnya.
Perjalanan sa’i sebanyak tujuh kali ini diawali dari Bukit Shafa --yang arti harfiyahnya adalah kesucian dan ketegaran—melambangkan perlunya manusia mencapai kehidupan melalui usaha yang penuh kesucian dan ketegaran. Dan berakhir di Marwah --yang berarti ideal-- melambangkan adanya tujuan ideal yang mesti dicapai manusia dalam setiap denyut nadi dan tarikan nafasnya di dunia ini. Namun, ada pula yang mengaitkan kata Marwah dengan “muru’ah” yang berarti pemeliharaan harga diri.
Kerampungan ritual haji ditandai dengan mencukur rambut (al-halqu) atau sekadar memotong beberapa helai saja (al-taqshir). Ritual ini disebut tahallul (Q.S. Al-Fath [48]: 27). Serampung ritual inilaah, manusia dituntut untuk menutup masa lalu dan membuka catatan kehidupan baru yang lebih baik dan diridlai oleh-Nya. Bukannya menjadi haji "tomat"; berangkat haji berniat tobat, e... sepulang haji malah kumat.
Penutup
Memaknai simbol-simbol haji dalam bahasa universal dan global tidak hanya penting bagi pelaku ibadah haji, namun juga amat bermanfaat bagi yang belum mendapatkan kesempatan menjalankan ibadah itu.
Dalam memandang haji, hendaknya kita tidak berhenti pada aspek-aspek teknis atau ritualitas verbal, melainkan meluaskan pandangan itu pada makna-makna terdalam di baliknya. Sehingga haji tidak tereduksi maknanya sebatas selebrasi, melainkan berkontribusi positif dan berkait erat dengan dimensi sosial serta nilai-nilai transformatif baik individual maupun kolektif. Wallahu a'lam
------------------------------------------
Tulisan/opini dipublikasikan di harian Solo Pos pada Jumat, 30 November 2007.
Post a Comment