Ketika menemukan resensi ini muncul di surat kabar harian Kedaulatan Rakyat (KR), bukan girang yang meletup seketika dalam hati, justru bingung dan heran. "Aneh," pikirku. Bagaimana tidak, resensi ini sudah lama sekali aku kirim ke KR, yaitu pada 7 Mei 2007. Biasanya, keputusan terbit atau tidak suatu resensi itu maksimal 1 bulan. Jadi, aku sudah anggap saja resensiku itu hangus alias ditongsampahkan. Tapi.... mak bedunduk alias mak jegagik alias mak bejudhul, resensi "usang" itu muncul pada 9 Desember 2007. Hitung saja, berapa abad (eh... berapa bulan) tuh? Terlepas dari hal itu, saya tetap bersyukur. Alhamdulillah, redaktur KR masih berkenan memuat tulisan saya. Berikut resensi yang aku maksud.
Penulis : Agus Suwignyo
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2007
Tebal : xi + 133 halaman
Boleh dibilang, secara umum mutu intelektualitas sarjana universitas di Indonesia dewasa ini rendah. Tingginya tingkat pengangguran sarjana, minimnya pengakuan internasional, suramnya profil akademis, serta lemahnya disposisi sikap merupakan paradoks faktual universitas saat ini.
Diakui oleh publik, bahkan mungkin universitas sendiri, sarjana jebolan universitas cenderung berkemampuan setengah-setengah atau dalam bahasa Jawa disebut mogol. Mereka tidak benar-benar ahli dalam suatu bidang tertentu seperti halnya ahli madya lulusan akademi, tetapi juga tidak memiliki kualifikasi dasar umum yang memadai untuk menjalani in the job training.
Ke-mogol-an ini berimplikasi pada semakin banyaknya pengangguran sarjana universitas, sebab mereka kalah bersaing dengan ahli madya lulusan akademi. Merujuk catatan Depnakertrans, meskipun dari tahun 2000 sampai 2005 jumlah penganggur sarjana universitas cenderung menurun, namun angka absolut penganggur sarjana lulusan universitas tetap lebih tinggi daripada penganggur diploma lulusan akademi.
Pertanyaan selidik pun muncul, jangan-jangan sosok keilmuan mahasiswa universitas ini adalah cermin sosok keilmuan dosen-dosennya; jangan-jangan kurang eksploratifnya mahasiswa merupakan gambaran statis pengembangan diri dosennya juga; jangan-jangan tidak kritis dan pasifnya mahasiswa merupakan efek dari strategi mengajar dosen yang kurang demokratis dan partisipatif.
Terkait suramnya profil akademis dan lemahnya disposisi sikap, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif memandang gap (jurang) atau inkonsistensi antara kata dan perbuatan sebagai penyebabnya. Kesenjangan antara kata dan fakta ini tak hanya dipertontonkan mahasiswa, namun juga dosen. Dosen pembimbing skripsi, misalnya, menuntut bermacam pembenahan metodologi dalam skripsi mahasiswa bimbingannya, tetapi ia sendiri nyaris tak pernah (atau tak mampu?) membuat penelitian. Jika demikian, mustahil mahasiswa bisa tercerahi untuk menjadi seorang peneliti.
Penulis buku ini berpandangan, kecenderungan universitas berorientasi dan menyesuaikan programnya dengan tuntutan terapan pasar kerja merupakan ketidaktepatan trilipat. Pertama, pasar kerja berubah dengan cepat sehingga sulit dipenuhi. Kedua, karena terfokus pada upaya memenuhi tuntutan vokasionalitas pasar kerja, universitas mengabaikan perhatian pada program-program dasar keilmuan yang justru sangat penting dewasa ini. Ketiga, karena mereduksi misinya pada peningkatan pasar kerja lulusan (graduate employability), universitas kehilangan kesempatan untuk memegang peran sentral dalam misi besar pencerahan umat manusia melalui aspek-aspek sosial, politik dan kebudayaan. (hal. 41)
Untuk memperbaiki universitas, buku ini menawarkan gagasan pentingnya pembaruan semangat dan orientasi pendidikan universitas di Indonesia. Pembaruan difokuskan pada upaya menata dan memantapkan dasar-dasar intelektualitas sebagai hakikat dan karakter pendidikan universitas.
Gagasan ini dimotivasi oleh perkembangan beberapa program profesi akhir-akhir ini. Perkembangan profesi ini menjadi peluang positif untuk membenahi dan memantapkan program pendidikan sarjana, sebagai pondasi pendidikan profesi. Karena porsi penguasaan keahlian terapan telah dikonsentrasikan pada program pendidikan profesi, maka kurikulum sarjana hendaknya difokuskan pada aspek-aspek penguatan dasar-dasar intelektualitas. (hal. 20 - 21)
Gagasan Suwignyo ini patut direfleksikan dan diapresiasi secara positif untuk mengembalikan mutu intelektualitas lulusan universitas agar utuh dan mendasar. Bukan memandangnya secara sentimen sebagai upaya ‘pengrecokan’ menara gading universitas.
---------------------------------------------
Post a Comment