Setiap 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia selalu digembirakan oleh kehadiran Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Dalam telisik lughah (etimologis), kurban berasal dari akar kata qaruba-yaqrubu-qurbaanan yang berarti dekat. Biasanya, dalam bahasa Arab, suatu kata yang diakhiri dengan alif dan nun menyiratkan arti kesempurnaan.
Untuk menggambarkan kesempunaan ini, pertama kali bisa kita cermati pada binatang yang disembelih yang memang mesti sempurna, terbaik, dan tidak boleh memiliki cacat. Dari sisi substansi, seseorang yang berkurban tidak boleh setengah-setengah, harus total, dan ikhlas. Sementara dalam perspektif fikih, kurban memiliki makna ritual penyembelihan hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan dilakukan pada waktu tertentu pula, yaitu 10-13 Dzulhijjah.
Meneladani Ibrahim
Nabi Ibrahim adalah aktor legendaris pada setiap perayaan Idul Kurban. Sebagaimana telah dicatat oleh tinta emas sejarah, tokoh inilah yang hendak mengurbankan putra kesayangannya, Ismail, atas dasar perintah Allah yang didapatnya dari mimpi yang benar (al ru'ya al haqq).
Proses dialog pun kemudian terjadi antara ayah (Ibrahim) dan anak (Ismail). Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu?” Ismail menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Tuhan) kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash-Shaffat [37]: 102).
Keteguhan, ketabahan, dan ketulusan Ibrahim ini membuahkan prestasi keimanan yang super gemilang. Ibrahim berhasil membunuh syahwatnya terhadap materi duniawi (baca: Ismail). Karena itulah, ia memeroleh ridla Allah dan dianugerahi seekor domba untuk dikurbankan sebagai pengganti Ismail.
Dari kisah tersebut dapat kita cerap beberapa teladan penting. Di antaranya, pertama, Ismail adalah harta paling berharga dan amat dicintai Ibrahim, namun dengan keikhlasan yang total, Ibrahim rela mengorbankannya untuk kemaslahatan umat semata-mata karena Allah. Ini adalah sebuah pengabdian yang amat sempurna.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, fenomena 'berkorban' amat mudah kita jumpai menjelang perhelatan politik seperti pemilu, pilpres, pilgub, pilkada, dan seterusnya. Saksikan saja, dengan mudah orang-orang menggelontorkan jutaan bahkan miliaran rupiah untuk kepentingan politiknya. Tetapi, betapa sulit kita temukan orang yang bersedia melakukan hal serupa untuk kepentingan publik tanpa memperhitungkan untung-rugi bagi eksistensi politiknya. Inilah yang membedakan antara Ibrahim dan manusia sekarang. Jika pengorbanan Ibrahim merupakan wujud dari totalitas pengabdian, maka manusia sekarang cenderung berpengabdian semu dan sarat pamrih.
Kedua, urgensi dialog sebagai pondasi tegaknya demokrasi, egalitarianisme, dan humanisme. Teladan ini kita petik dari peristiwa 'tawar-menawar' antara Ibrahim dan Ismail sebelum melakukan eksekusi. Sebagaimana kita maklumi, 'penyembelihan' Ismail adalah titah dari Allah SWT, namun tidak serta merta Ibrahim memaksakan titah itu kepada anaknya yang notabene secara hierarkis kekeluargaan adalah 'bawahannya'.
Sayangnya, dalam konteks keindonesiaan, ajaran Ibrahim ini tidak banyak dibumikan. Tengok saja, reformasi di negeri ini yang sudah berjalan sembilan tahun tidak menampakkan perubahan yang positif dan signifikan. Keakuan sebagai penguasa tetap ditumbuhsuburkan.
Pesan sosial
Penyembelihan hewan kurban hakikatnya adalah perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih egoisme, keserakahan, dan nafsu kebinatangan yang hanya akan melahirkan kesenjangan dan pada akhirnya berujung pada disharmoni bahkan disintegrasi sosial. Sementara pendistribusian daging kurban menyiratkan pesan pentingnya kepekaan dan solidaritas sosial. Seolah-olah Allah berkalam, “Jika ingin dekat dengan-Ku, maka dekatilah dan tolonglah saudara-saudara kalian yang serba kekurangan.
Secara substansial, tujuan kurban bukan sekadar menyembelih binatang, memasaknya, lalu memakannya secara massal dengan pesta sate, tongseng, atau gulai. Sejatinya ibadah kurban menyiratkan pesan penting untuk membantu kesulitan orang lain. Pesan substansial dari sebuah ritual inilah yang semestinya kita teguhkan, bukan prosesi ritual itu sendiri yang diberi porsi perhatian berlebih. Jika diasumsikan bahwa semangat hari Idul kurban bersifat dinamis, maka sesungguhnya ia tidak berhenti pada semangat untuk menumbuhkan kesalehan ritual individual, tetapi harus bermuara pada terwujudnya kesalehan sosial. Apalagi dimensi sosial ini menempati porsi yang sangat besar dalam sistem ajaran Islam.
Dari sinilah, sudah sewajarnya jika semangat berkurban bukan sekadar mewujud dalam praktik charity atau pendistribusian daging, melainkan juga dengan gerakan-gerakan sosial yang compatible dan applicable untuk memenuhi kebutuhan mendesak umat tanpa terbatas waktu, ruang, maupun materi pengorbanan. Jadi jelas, dalam konteks kekinian, pemaknaan kurban akan lebih relevan dan applicable bila bertopang pada unsur-unsur utama kemanusiaan, ketertindasan, keterbelakangan, ketidakadilan struktur sosial-ekonomis, dan kebiadaban rezim-rezim peradaban serta politik yang zalim.
Masalahnya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah mahdlah. Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Semoga semangat kurban mampu menyadarkan kita, terlebih para penguasa politik maupun ekonomi, agar selalu rela berkorban untuk kepentingan bersama; bukan malah tergoda pada kompetisi penumpukan harta, apalagi terlibat praktik pencurian uang rakyat. Hanya dengan begitu, kita akan menemukan jalan mulus menuju tatanan Indonesia Baru yang lebih demokratis, berkeadilan, damai, dan civilized.
----------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di koran Republika pada Rabu, 19 Desember 2007.
Post a Comment