Di masa lampau, seorang haji memang merupakan pribadi yang selalu istimewa. Seorang haji adalah
Walaupun secara substansial, haji tidaklah tepat dipandang lebih tinggi daripada ibadah-ibadah lainnya. Namun secara potensial, haji bisa dinilai sebagai ibadah tertinggi. Dalam arti, pengalaman haji mampu berpeluang mengantarkan seseorang kepada kesadaran ketuhanan sebagai puncak dari tujuan hidup untuk menjadi 'ibad al-rahman (Q.S: Al-Furqan [25]: 63-77).
Konsep 'ibad al-rahman boleh kita istilahkan dengan mabrur, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Haji mabrur tiada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Mabrur adalah gelar istimewa yang menjadi otoritas dan hak prerogratif Tuhan. Namun, secara konkrit dapat dicandra melalui perilaku Pak Haji atau Bu Hajjah itu sendiri, apakah perbuatannya sepulang menunaikan ibadah haji menjadi lebih baik, stagnan, atau justru mengalami dekadensi.
Empat Tipe Haji
Secara sederhana, haji mabrur dapat diartikan sebagai haji yang tidak sekadar memenuhi rukun, kewajiban, dan sunnah-sunnah haji secara teknis fiqhiyah. Namun, lebih dari itu berimplikasi juga pada peningkatan kualitas kesalehan baik individual maupun sosial, vertikal maupun horisontal, sekembali mereka ke Tanah Air.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, relakah kita menyematkan gelar haji (mabrur) kepada beberapa orang yang berperilaku kontradiktif dengan nilai-nilai ketuhanan (god mentality) dan ajaran haji yang telah ia lakukan? Pasalnya, gelar haji yang ia sandang belum merubahnya menjadi pioner kebaikan, sekaligus panutan, sekembali mereka ke tengah masyarakat. Banyak bukti yang kita dapati, masih banyak ditemukan pejabat yang bergelar haji terindikasi kasus kejahatan, seperti korupsi, kolusi, penzaliman, pengebirian hak-hak rakyat, asusila, dan sebagainya.
Dalam konteks inilah, setidaknya ada beberapa tipikal haji yang bisa kita cermati. Pertama, tipe haji wisata. Orang yang berhaji model ini cenderung beranggapan, tanah suci adalah objek wisata layaknya Gunung Bromo, Pantai Sanur, Menara Eiffel, Patung Liberty, Tembok Besar Cina, dan sebagainya.
Tidak heran, yang dominan di alam khayalnya adalah keindahan, kenyamanan, dan fantasi hiburan. Selain itu, yang mendesak di pikirannya ketika hendak kembali ke Tanah Air adalah oleh-oleh apa yang akan dibawa, foto-foto seperti apa yang akan dipertontonkan dan cerita-cerita dahsyat apa yang akan dikisahkan kepada sanak saudara serta tetangga.
Tipe ini kerap pula disebut oleh masyarakat Jawa sebagai “Haji Mabur”. “Mabur” dalam bahasa Jawa berarti terbang, yaitu sekadar menikmati terbang atau pelesiran dengan menaiki pesawat terbang.
Kedua, tipe haji bisnis. Yakni, mengambil kesempatan dalam pisowanan (pertemuan) nan sakral dengan Tuhan. Haji merupakan urusan akhirat. Karenanya, penghayatannya harus lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat. Bagaimana bisa menghadap Allah secara ikhlas jika orientasi untung rugi materi terselip di dalam hati.
Mereka yang ditunjuk pemerintah sebagai petugas haji boleh juga kita kategorikan ke dalam tipikal ini. Tugas mereka semestinya melayani urusan jemaah haji, bukan malah mengambil kesempatan untuk berhaji. Akibatnya, banyak urusan jemaah haji yang terabaikan dan terbengkalai karena mereka sibuk dengan ‘ibadahnya’ sendiri.
Ketiga, tipe haji politik. Yakni, haji yang lebih diorientasikan untuk meraih prestasi, prestise, dan hegemoni politik. Karena, bagaimana pun, dengan menyematkan huruf 'H' atau 'Hj' (baca: haji atau hajjah) di depan nama akan mampu mendongkrak status sosial seseorang.
Target utama haji tipe ini adalah keterpikatan kantung suara umat Islam terhadap sosok yang sengaja ia desain menjadi (seolah) relijius. Biasanya, setelah ambisi politik tercapai, Pak Haji Politik ini akan kembali seperti aslinya, yaitu korup, arogan, otoriter, menindas, dan membiarkan massa pendukungnya tetap dalam belitan ekonomi, kebodohan, dan ketertindasan.
Keempat, tipe haji mabrur. Tipe inilah yang dikehendaki Allah SWT. Indikasinya terlihat dari adanya peningkatan ibadah baik ritual maupun sosial, vertikal maupun horisontal, pasca menunaikan ibadah haji.
Langkah awal dalam menggapai haji mabrur adalah meluruskan motivasi (niat) dan menanamkan keikhlasan serta ketawakkalannya semata-mata karena Allah SWT. Ciri Haji Mabrur terlihat dari Sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang keluar melaksanakan haji, kemudian dia menjaga perkataannya dari hal-hal yang kotor (rafats) dan tidak berbuat kefasikan, maka ia datang ke dunia ini seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya.” (HR. Bukhari)
Alangkah ruginya kita melakukan amal ibadah haji dengan bersusah payah, mengerahkan banyak pengorbanan fisik dan materi, namun kemabrurannya hilang karena kesalahan motivasi. Kesucian ibadah haji justru dinodai riya’ (pamer), ‘ujub (membanggakan diri sendiri), takabbur (sombong), dan sebagainya.
Ciri-ciri Mabrur
Seluruh ibadah dalam Islam sejatinya mempunyai korelasi dan kontribusi langsung terhadap perubahan sikap dan perilaku umat, tak terkecuali ibadah haji. Karena Islam berkehendak membentuk insan-insan muttaqin (manusia yang bertakwa) sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT: “Bekal utama untuk berhaji adalah takwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 197)
Kesempurnaan seseorang di domain teknis ritual belum mengantarkan pelaku haji pada derajat mabrur, melainkan baru sebatas maqbul. Maqbul yang secara etimologis berarti diterima. Artinya, diterima ritual hajinya karena telah memenuhi syarat, rukun dan kewajiban-kewajiban haji. Sehingga telah sah pula untuk menggugurkan kewajiban.
Sedangkan untuk mencapai derajat mabrur, seseorang harus memiliki komitmen untuk senantiasa meningkat kebaikannya, baik kepada Tuhan, manusia, bahkan juga terhadap alam. Mabrur memiliki akar kata “al-birr”, yang berarti kebaikan. Seseorang yang menghendaki predikat tersebut mesti mampu mempertahankan nilai-nilai kebaikan yang dijalankannya, tak hanya di tanah suci melainkan terus berlanjut hingga kembali ke Tanah Air dengan membawa misi profetik.
Dalam sebuah hadits, Nabi mengatakan bahwa ciri-ciri haji mabrur adalah: Pertama, senantiasa menebarkan salam (kedamaian) universal. Kedua, mulutnya senantiasa mengeluarkan kata-kata indah bak mutiara dan sejuk seperti embun pagi. Ketiga, memberi makan kepada orang yang membutuhkan. Dapat juga dipahami, bahwa memberi makan berarti memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi haji yang mabrur! Allahumma ij’al naa hajjan mabruura, wa sa’yan masykuura, wa dzanban maghfuura, wa tijaratan lan tabuur.
---------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Solo Pos pada Jum'at, 28 November 2008.
Post a Comment