Sejarah Puasa ‘Asyura


Puasa ‘Asyura termasuk puasa sunnah dalam syar’iat Islam. Puasa yang dilakukan setiap 10 Muharram ini ternyata sudah dikerjakan oleh masyarakat jahiliyah sejak sebelum kedatangan Islam.

Jika diurai setahap demi setahap maka akan temukan tahapan pelaksanaan puasa ‘Asyura sebagai berikut.

Tahapan pertama
Pada zaman jahiliyah, puasa ‘Asyura dilakukan oleh orang-orang Quraisy di Mekah. Rasulullah juga melakukan puasa tersebut, tetapi beliau tidak memerintahkannya kepada yang lain.

Sayyidah ’Aisyah menceritakan,

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Dulu pada zaman jahiliyah, orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa ‘Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Ketika tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan (para sahabat) agar melakukannya. Namun, ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. (Lalu beliau bersabda:) Siapa yang mau, silakan berpuasa. Siapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).” (HR. Bukhari dan Muslim)


Tahapan kedua
Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah melihat orang-orang Yahudi (Ahlul Kitab) melakukan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Beliau pun berpuasa, lalu memerintahkan dengan tekanan (sungguh-sungguh) kepada para sahabat agar ikut berpuasa. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil untuk turut berpuasa.

Dikisahkan oleh Ibnu Abbas,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika sampai di Madinah mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, ‘Hari apakah ini, yang sehingga kalian berpuasa?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah hari yang sangat mulia, yang pada hari tersebut Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya juga menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun ikut berpuasa pada hari ini.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Kami yang lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lalu berpuasa memerintahkan (kaum muslimin) agar juga berpuasa.” (HR. Muslim)

Terkait dengan tahapan kedua ini, para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa ‘Asyura (sebelum adanya kewajiban puasa Ramadhan).
Pendapat pertama: hukum puasa ‘Asyura adalah wajib. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Abu Bakr al-Atsram.
Pendapat kedua: hukum puasa ‘Asyura adalah sunnah mu’akkadah. Demikian menurut Imam asy-Syafi’i dan kebanyakan ulama pengikut Imam Hambali.


Tahapan ketiga
Ketika datang kewajiban berpuasa Ramadhan, Rasulullah tidak lagi menekan (memerintahkan dengan sungguh-sungguh) para sahabat agar berpuasa ‘Asyura. Beliau membebaskan para sahabat untuk memilih berpuasa atau tidak.

Ibnu Umar menuturkan kisah yang sama sebagaimana disampaikan oleh Sayyidah Aisyah (dalam tahapan pertama di atas).

أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.

“Sesungguhnya masyarakat Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari ‘Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan kaum muslimin pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkan puasa Ramadhan. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Siapa yang ingin meninggalkannya, maka tinggalkanlah.” (HR. Muslim)


Tahapan keempat
Rasulullah bertekad akan menambah puasa satu hari sebelum 'Asyura, yang sekarang kita sebut puasa Tasu'a (tanggal 9 Muharram). Tujuannya agar berbeda dengan puasa kaum Yahudi. Akan tetapi, belum sempat beliau melakukan puasa itu (Tasu'a), karena Allah telah memanggilnya. Beliau wafat. 

Baca juga: Bolehkah Puasa Tanggal 10 dan 11 Muharram?

Diceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah berpuasa hari 'Asyura dan memerintahkan para sahabat agar juga melaksanakannya, seorang sahabat berkata kepada beliau;

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.” 

Beliau lalu berkata,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” 

Ibnu Abbas kembali menuturkan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم


“Belum sampai tahun depan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement