Humor Politik

PARTAI KULO NDEREK PORO KIAI

Seorang pengurus salah satu partai Islam bergerilya ke kantong-kantong santri untuk mencari massa demi kemenangan partainya di Pemilu 2009. Sang pengurus partai, sebut saja Pak Udin, sehabis Jum’atan mendekati sekelompok santri yang tengah ngerumpi di halaman masjid.

“Assalamu’alaikum warahmatullah,” sapa Pak Udin.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” sahut para santri, sembari digelayuti rasa heran. Sebab, tidak biasanya Pak Udin berbuat semanis saat ini dengan menyapa mereka. “Pasti ada apa-apa nih,” batin mereka.

“Ada apa, Pak Udin? Tumben ikut ngumpul bareng kita,” pancing Kang Rahmat.

“Pasti lagi dapat hadiah, terus mau mentraktir kita ya, Pak?” celetuk Kang Latif sambil cengengesan.

“Oh, tidak,” jawab Pak Udin buru-buru, “aku cuma mau mengajak sampeyan semua dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar.”

“Wujudnya apa ya, Pak?” sergah Kang Halim penuh selidik.

“Sederhana saja. Saya hanya minta sampeyan semua dalam Pemilu 9 April 2009 nanti nderek partaine poro kiai (ikut partai para kiai),” terang Pak Udin berapi-api, sambil memperlihatkan sebuah gambar partai Islam dengan tulisan (slogan) di bawahnya: Partai Kulo Nderek Poro Kiai (Partai saya ikut para kiai).

Para santri dari beberapa pesantren itu menjawab serempak, “Alhamdulillah, Pak Udin, kami semua telah ikut partainya para kiai.”

“Syukur dan alhamdulillah jika kalian semua telah mengikuti partainya para kiai,” ujar Pak Udin lega.

Sebelum Pak Udin melanjutkan ucapannya, Kang Latif buru-buru menukas secara bijak, “Tapi maaf, Pak Udin. Sebagai santri yang takzim dan taat kepada kiai, kami semua memang ikut partainya para kiai. Tetapi…”

“Tetapi apa?” sergah Pak Udin waswas.

“Tetapi, kebetulan kiai saya dan kiainya njenengan beda partai. Jadi, yang saya maksud dengan nderek partainya para kiai adalah kiai saya sendiri, bukan kiai njenengan,” terang Kang Latif.

“Juga kiai kita masing-masing, Pak Udin,” sahut Kang Wafi yang sedari tadi lebih banyak memilih diam. “Kebetulan kiai-kiai saya berpartai A, dengan mengikuti slogan tadi yaitu Partai Kulo Nderek Poro Kiai, maka saya pun memilih partai A. Kebetulan juga kiainya Kang Halim berpartai B, maka dia pun berpartai B. Kebetulan kiainya Kang Latif ini berpartai C, maka Kang Latif pun cenderung memilih partai C. Begitu maksud kami, Pak Udin.”

Dengan wajah yang tak lagi seceria tadi, Pak Udin buru-buru memasuki mobilnya dan berpamitan pada para santri, “Ya sudah kalau begitu. Assalamu’alaikum….”

Dengan terbengong-bengong, para santri menjawab lirih, “Wa’alaikumussalam warahmatullah,” sambil mata mereka terus memandangi mobil Pak Udin yang berlalu cepat dari pandangan mereka. (irham)

***

4 CALEG MENGUNDURKAN DIRI
Kalau yang ini adalah cerita nyata alias SST (Sungguh-Sungguh Terjadi) alias TSS (Terjadi Sungguh-Sungguh). Ceritanya begini:

Untuk menyukseskan Pemilu 2009, saya mendapat amanat untuk berperan serta menjadi Panitia Pemungutan Suara. Demi kemaslahatan negara, saya terima amanat itu dengan senang hati.

Beberapa hari setelah pemberian amanat itu, digelarlah acara sosialisasi teknik pemungutan suara yang disampaikan oleh Ketua KPUD Bantul. Dalam penyampaiannya, Ketua KPUD mengatakan, “Saudara-saudara, Bapak-bapak, dan Ibu-ibu, perlu panjenengan ketahui bahwa di Kabupaten Bantul ini ada 525 Caleg yang akan memperebutkan 45 kursi legislatif. Tetapi, dari 525 orang itu ada 4 yang mengundurkan diri dengan alasan karena telah DITERIMA. 3 orang telah mendapat pekerjaan tetap diterima sebagai PNS, dan 1 orang diterima di sisi Allah SWT.”

Sontak gedung pertemuan yang memuat lebih dari 500 orang itu menjadi riuh oleh gelak tawa para (calon) Panitia Pemungutan Suara. Saya tidak tahu, kalimat manakah yang mereka tertawakan; apakah tentang 3 orang yang mengundurkan diri karena telah mendapat pekerjaan tetap sebagai PNS, ataukah 1 orang yang mengundurkan karena diterima di sisi-Nya, atau karena ada penyebab tawa yang lain.

Wallahu a’lam, silakan Anda analisis sendiri. Jika membuat Anda tersenyum, maka tersenyumlah. Sebaliknya, jika membuat Anda prihatin dan mengelus dada, maka tertunduklah dan prihatinlah. (irham)

***

MONEY POLITIK
Menjelang Pemilu, seorang Caleg (Calon Legislatif) dari partai A bergerilya mendatangi warga di Desa Samin.

“Pak dan Bu, ini sekedar tali asih dari saya,” ucap caleg partai A, “Semoga dapat membantu kebutuhan Bapak dan Ibu sehari-hari. Tetapi ingat, besok pas Pemilu harus memilih saya lho.”

“Iya, Pak,” jawab warga.

“Jangan hanya ‘iya’! Tetapi harus bilang, ‘Saya berjanji dan bersumpah akan memilih Bapak’,” sergah sang caleg.

“Iya, Pak, saya berjanji akan memilih Bapak pada Pemilu nanti.”

Setelah menyerahkan “sumbangan” kepada warga, sang caleg pun berlalu. Dan sebagai rakyat kecil, uang itu amat berharga bagi mereka. Sebab, tanpa perlu bersusah payah bekerja mereka telah mendapatkan uang meski hanya Rp. 25.000.

“Alhamdulillah,” ucap warga desa.

Keesokan hari, datanglah caleg lain dari partai B. Ia pun memberi setiap warga uang dengan besaran yang sama seperti caleg sebelumnya, yakni Rp. 25.000. Begitu seterusnya hingga selama satu minggu.

Minggu itu tampaknya menjadi minggu penuh berkah bagi warga Desa Samin. Selama tujuh hari berturut-turut, para caleg dari beberapa partai silih berganti bergerilya di desa tersebut. Ujung-ujungnya adalah sama, yakni memberi “sumbangan” materi baik berupa uang maupun barang kepada warga, dan sebagai konsekuensinya (imbal balik atau balas budi) dalam Pemilu yang akan datang mereka pun harus memilih caleg tersebut. Inikah yang disebut money politik? Wallahu a’lam.

Hari H Pemilu pun tiba. Semua warga berduyun-duyun ke TPS setempat. Pukul 12.00 WIB TPS sudah tutup, maka dimulailah proses penghitungan suara. Syahdan dan aneh binti ajaib, ternyata di TPS tersebut tidak ada satu pun surat suara yang sah. Seluruh surat suara dinyatakan tidak sah, karena ada tujuh contrengan di setiap lembar surat suara.

Usut punya usut, ternyata warga desa bermaksud memenuhi janji dan sumpah mereka pada tujuh caleg yang telah memberi mereka uang. Mereka teringat ucapan Pak Ustadz bahwa janji adalah hutang. Karena itu, dicontrenglah nama ketujuh caleg tersebut. Sehingga jadinya, seluruh surat suara tidak sah dan para caleg pun geram karena mereka gagal mewujudkan obsesi (atau ambisi?) untuk duduk di kursi DPR. Mereka justru terduduk di kursi pesakitan, karena ratusan juta hutang mereka di bank tidak terbayar. (irham)


Sumber Gambar


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement