Aneka Problema TKW di Indonesia

Berikut adalah hasil bahtsul masa'il yang dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Anwar, Padomasan, Jombang, Jember, Kamis 7 Februari 2008, oleh para kiai anggota Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PCNU Kencong, Himpunan Santri dan Alumni Lirboyo (Himasal) Cabang Jember, Himpunan Alumni Pondok Pesantren Ploso Kediri di Jember, Rais Syuriyah PCNU Kencong KH Choir Zad Maddah, Wakil Katib Syuriyah PBNU KH Ach Sadid Djauhari dan Sejumlah ulama dari Kabupaten Jember.

Ada tiga persoalan penting yang di temukan di tiga negara yang menjadi tempat tujuan para tenaga kerja wanita (TKW) dari Indonesia. Di Malaysia ditemukan beberapa perempuan secara diam-diam menikah lagi di Malaysia padahal mereka masih berstatus sebagai istri dari suami yang ada di Indonesia. Di Arab Saudi, beberapa diantara warga asli memperlakukan TKW layaknya budak pada zaman dahulu, bisa dimiliki seutuhnya, bahkan untuk disetubuhi. Sementara di Hongkong para TKW yang direpotkan dengan persoalan daging bagi dan anjing, hubungannya dengan syariat islam, karena memasak binatang itu telah menjadi tugas mereka sehari-hari.


TKW di Malaysia


Ditemukan banyak TKW di Malaysia, diam-diam menikah lagi di negara tersebut. Padahal, mereka masih punya suami di kampung halaman. Alasan menikah, karena satu tahun lebih suami tidak memberi nafkah lahir batin. Namun pada saat pulang kampung, para TKW tersebut kembali pada suami masing-masing.

Pertanyaannya, sahkah pernikahan TKW tersebut, karena saat melaksanakan pernikahan statusnya masih punya suami di kampung halaman? Lalu jika itu sudah terjadi, bagaimana hukum para TKW itu kembali pada suaminya? Perlukah ada akad nikah baru untuk mereka?

Para kiai dan peserta bahtsul masail, berdasarkan referensi kitab-kitab Syafi’iyyah menegaskan bahwa Pernikahan di Malysia tidak syah karena status perempuan tersebut istri orang (di kampung halamannya masih punya suami). Ketika perempuan tersebut pulang ke kampung halamannya dan kembali pada suaminya, maka tidak diperlukan aqad nikah baru karena tidak pernah bercerai.

Penegasan ini ditemukan dalam kitab Mahalli Juz 4 Halaman 51 dan Hasyiah al-Bajuri Juz 2 Halaman 103-104. Dalam kitab tersebut ditegaskan mengenai syarat-syarat perempuan boleh menikah, diantaranya tidak sedang terikat pernikahan dan tidak sedang dalam masa iddah. Dalam kitab tersebut bahkan ditegaskan, perempuan yang suaminya pergi yang tidak diketahui alamatnya sekalipun, tidak bisa menikah lagi dengan laki-laki lain sehingga ada kepastian sang suami (yang pergi itu) telah mati atau menceraikannya.


TKW di Arab

Ditemukan TKW di sebagian Negara kawasan Timur Tengah dianggap sebagai budak oleh majikannya, sehingga sang majikan merasa bebas “mengumpuli” TKW tersebut. Padahal, secara hukum positif (berdasarkan Konvensi PBB) perbudakan telah dihapuskan, tetapi kenyataannya masih ditemukan di negara tertentu walau secara sembunyi-sembunyi.

Bolehkah para TKW tersebut melayani kebutuhan biologis sang majikan yang menganggap TKW adalah budak?

Para kiai dan peserta bahtsul masa’il menegaskan bahwa para TKW tidak akan pernah diperbolehkan melayani kebutuhan biologis majikan karena mereka merupakan orang merdeka, bukan budak.

Dijelaskan dalam kitab Mausu’atul Fiqhiyah Juz 23 hal 12-13, sebab-sebab orang menjadi budak, diantaranya adalah karena menjadi rampasan perang, anak budak perempuan dari laki-laki selain majikannya, dan karena jual beli, hibah, shodaqoh, waris, wasiat dan proses pengalihan hak yang lain.

Artinya kalau pun orang Arab tidak mengindahkan PBB, kitab-kitab fikih pun tidak akan pernah mendukung perlakuan itu.


TKW di Hongkong

Para TKW yang terkena najis mugholadzoh (najis berat) akibat menyentuh daging babi atau memandikan anjing, tidak bisa mensucikan diri dari Najis Mugholadzoh seperti dalam ketentuan Fiqih. Yakni, dibersihkan dengan air 7 (tujuh) kali, salah satunya dicampur dengan debu. Tegasnya, para TKW menjalankan sholat dalam keadaan tidak suci dari Najis Mugholadzoh (para TKW beragama Islam di Singapura dan Taiwan, nasibnya hampir sama).

Para TKW tidak bisa bersuci dari najis mugholadzoh karena 1)Para TKW tinggal di Apartemen (rumah) milik majikan, letaknya di lantai,10, 15, bahkan 25. 2) di sekitar apartemen (rumah), di lantai bawah sekalipun, debu sulit ditemukan karena pada umumnya halaman atau gang yang memisahkan apartemen satu dengan lainya ditutup lantai, paving, bahkan aspal.

3) debu yang disyaratkan hanya ada di tempat yang jauh dari kawasan apartemen, sehingga sulit didapat para TKW untuk kepentingan bersuci dari Najis Mugholadzoh.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, syah atau tidak sholat para TKW Hongkong? Lalu jika tidak syah, bagaimana solusinya? Adakah qoul yang memperbolehkan bersuci dari najis mugholadzoh tanpa debu?

Para kiai menyatakan bahwa sholat yang dilakukan dalam kondisi semacam itu tetap syah. Namun menurut qaul (pendapat) yang adzhar (lebih jelas dan banyak diikuti), solatnya tidak syah.

Namun, dalam keadaan terpaksa, bisa mengikuti muqobilul adzhar (kebalikan qaul adzhar) yang memperbolehkan bersuci dari najis mugholadzoh tanpa menggunakan debu atau tanah. Muqobilul adzhar berpendapat bahwa cara mensucikan najis mugholadzoh sama dengan cara mensucikan najis yang lain, asalkan sudah bersih, maka dianggap cukup, semisal menggunakan sabun.

Ada juga qaul yang menyatakan bahwa peranan debu atau tanah (dalam mensucikan najis mugholadzoh) bisa digantikan dengan sabun. Maka tata cara mensucikan barang atau badan yang terkena najis mugholadzoh, menurut qaul ini, cukup dibasuh dengan air tujuh kali, salah satunya menggunakan sabun.

Pendapat di atas termuat lengkap dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah Juz 1 Halaman 44 dan Kifayatul Akhyar Juz 1 hal 71, juga Nihayatul Muhtaj Juz 1 hal 254.

Dalam kesempatan itu, Wakil Katib Syuriah PBNU, KH Ach. Sadid Djauhari memberikan warning bahwa qaul atau pendapat di atas tidak bisa dijadikan fatwa umum. Dalam arti, hanya bisa dipakai di daerah yang kondisinya sulit menemukan debu atau tanah seperti yang dialami para TKW Hongkong, Taiwan, Singapura dan semacamnya. Sehingga, pendapat ini tidak bisa dipakai di Indonesia.

Kiai Sadid menegaskan, Fiqih itu relatif dan dinamis, yang haram bisa jadi halal, begitu juga sebaliknya. “Namun kita tidak boleh main-main di wilayah ini karena bisa terbakar, dalam arti tersesat,” tandasnya. (nam/ www.nu.or.id)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement