Kisah Nyata Akhwat
Gorontalo
Seorang akhwat menceritakan
kenangan masa lalunya yang tak terlupakan:
“Namaku Mariani,
orang-orang biasa memangilku Aryani. Ini adalah kisah perjalanan hidupku yang
hingga hari ini masih belum lengkang dalam benakku.
Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Yah, sebuah perjalanan kisah yang sungguh aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa di dunia ini mungkin tak ada lagi orang seperti dia.
Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup bila aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Yah, sebuah perjalanan kisah yang sungguh aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa di dunia ini mungkin tak ada lagi orang seperti dia.
Tahun 2007 silam, aku
dipaksa orang tuaku menikah dengan seorang pria, Kak Arfan namanya. Kak Arfan
adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung denganku, tapi dia seleting dengan
kakakku saat sekolah dulu. Usia kami terpaut 4 Tahun.
Yang aku tahu bahwa sejak
kecilnya Kak Arfan adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin
ibadah. Tabiatnya yang seperti itu terbawa-bawa sampai ia dewasa.
Aku merasa risih sendiri dengan Kak Arfan apabila berpapasan dijalan, sebab sopan santunya sepertinya terlalu berlebihan pada orang-orang. Geli aku menyaksikannya, yah, kampungan banget gelagatnya…,
Aku merasa risih sendiri dengan Kak Arfan apabila berpapasan dijalan, sebab sopan santunya sepertinya terlalu berlebihan pada orang-orang. Geli aku menyaksikannya, yah, kampungan banget gelagatnya…,
Setiap ada acara-acara
ramai di kampung pun Kak Arfan tak pernah kelihatan bergabung sama teman-teman
seusianya. Yaah, pasti kalau dicek ke rumahnya pun gak ada, orang tuanya pasti
menjawab “Kak Arfan di mesjid nak, menghadiri taklim”. Dan memang mudah sekali
mencari Kak Arfan, sejak lulus dari Pesantren Al-Khairat Kota Gorontalo.
Kak Arfan sering
menghabiskan waktunya membantu orang tuanya jualan, kadang terlihat bersama
bapaknya di kebun atau di sawah. Meskipun kadang sebagian teman sebayanya
menyayangkan potensi dan kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan.
Secara fisik memang Kak
Arfan hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya yang pas-pasan.
Sebab kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau Kak Arfan dalam keadaan
rapi menghadiri acara-acara di desa.
Tapi bagiku sendiri, itu
adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku sendiri merasa bahwa sosok Kak
Arfan adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri taklim,
kuper dan kampungan banget.
Kadang hatiku sendiri
bertanya, koq bisa yah, ada orang yang sekolah di kota namun begitu kembali tak
ada sedikitpun ciri-ciri kekotaan melekat pada dirinya, HP gak ada. Selain
bantu orang tua, pasti kerjanya ngaji, sholat, taklim dan kembali ke kerja lagi.
Seolah riang lingkup
hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja, ke biosokop kek, ngumpul bareng
teman-teman kek stiap malam minggunya di pertigaan kampung yang ramainya luar
biasa setiap malam minggu dan malam kamisnya.
Apalagi setiap malam kamis dan malam minggunya ada acara curhat kisah yang TOP banget disebuah station Radio Swasta digotontalo, kalau tidak salah ingat nama acaranya Suara Hati dan nama penyiarnya juga Satrio Herlambang.
Apalagi setiap malam kamis dan malam minggunya ada acara curhat kisah yang TOP banget disebuah station Radio Swasta digotontalo, kalau tidak salah ingat nama acaranya Suara Hati dan nama penyiarnya juga Satrio Herlambang.
Waktu terus bergulir dan
seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata Pacaran,
akupun demikian. Aku sendiri memiliki kekasih yang begitu sangat aku cintai,
namanya Boby. Masa-masa indah kulewati bersama Boby.
Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami.
Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami.
Hingga musibah itu tiba,
aku dilamar oleh seorang pria yang sudah sangat aku kenal. Yah siapa lagi kalau
bukan si kuper Kak Arfan lewat pamanku. Orang tuanya Kak Arfan melamarku untuk
anaknya yang kampungan itu.
Mendengar penuturan mama
saat memberitahu padaku tentang lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap,
kepalaku pening…, aku berteriak sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran
itu dengan tegas dan terbelit-belit aku sampaikan langsung pada kedua orang
tuaku bahwa aku menolak lamaran keluarganya Kak Arfan. dan dengan
terang-terangan pula aku sampaikan pula bahwa aku memiliki kekasih pujaan
hatiku, Boby.
Mendengar semua itu ibuku
shock dan jatuh tersungkur kelantai. Akupun tak menduga kalau sikapku yang
egois itu akan membuat mama shock. Baru kutahu bahwa yang menyebabkan mama shok
itu karena beliau sudah menerima secara resmi lamaran dari orang tuanya Kak
Arfan.
Hatiku sedih saat itu,
kurasakan dunia begitu kelabu. Aku seperti menelan buah simalakama, seperti
orang yang paranoid, tidak tahu harus ikut kata orang tua atau lari bersama
kekasih hatiku Boby.
Hatiku sedih saat itu.
Dengan berat hati dan penuh kesedihan aku menerima lamaran Kak Arfan untuk
menjadi istrinya dan kujadikan malam terakhir perjumapaanku dengan Boby di
rumahku untuk meluapkan kesedihanku.
Meskipun kami saling
mencintai, tapi mau tidak mau Boby harus merelakan aku menikah dengan Kak
Arfan. Karena dia sendiri mengakui bahwa dia belum siap membina rumah tangga
saat itu.
Tanggal 11 Agustus 2007
akhirnya pernikahanku pun digelar. Aku merasa bahwa pernikahan itu begitu
menyesakkan dadaku. Air mataku tumpah di malam resepsi pernikahan itu. Di
tengah senyuman orang-orang yang hadir pada acara itu, mungkin akulah yang
paling tersiksa.
Karena harus melepaskan
masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai. Dan yang
paling membuatku tak bias menahan air mataku, mantan kekasihku boby hadir juga
pada resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah mengapa semua ini harus terjadi
padaku ya Allah… mengapa aku yang harus jadi korban dari semua ini?
Waktu terus berputar dan
malam pun semakin merayap. Hingga usailah acara resepsi pernikahan kami. Satu
per satu para undangan pamit pulang hingga sepi lah rumah kami.
Saat masuk ke dalam kamar,
aku tidak mendapati suamiku Kak Arfan di dalamnya. Dan sebagai seorang istri
yang hanya terpaksa menikah dengannya, maka aku pun membiarkannya dan langsung
membaringkan tubuhku setalah sebelumnya menghapus make-up pengantinku dan
melepaskan gaun pengantinku.
Aku bahkan tak perduli
kemana suamiku saat itu. Karena rasa capek dan diserang kantuk, aku pun
akhirnya tertidur.
Tiba-tiba di sepertiga
malam, aku tersentak tatkala melihat ada sosok hitam yang berdiri disamping
ranjang tidurku. Dadaku berdegup kencang. Aku hampir saja berteriak histeris,
andai saja saat itu tak kudengar serua takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri
itu.
Perlahan kuperhatikan
dengan seksama, ternyata sosok yang berdiri di sampingku itu adalah Kak Arfan
suamiku yang sedang sholat tahajud.
Perlahan aku baringkan tubuhku sambil membalikkan diriku membelakanginya yang saat itu sedang sholat tahajud. Ya Allah aku lupa bahwa sekarang aku telah menjadi istrinya Kak Arfan.
Perlahan aku baringkan tubuhku sambil membalikkan diriku membelakanginya yang saat itu sedang sholat tahajud. Ya Allah aku lupa bahwa sekarang aku telah menjadi istrinya Kak Arfan.
Tapi meskipun demikian, aku
masih tak bisa menerima kehadirannya dalam hidupku. Saat itu karena masih
dibawah perasan ngantuk, aku pun kembali teridur. Hingga pukul 04.00 dini hari,
kudapati suamiku sedang tidur beralaskan sajadah dibawah ranjang pengantin
kami.
Dadaku kembali berdetak
kencang kala mendapatinya. Aku masih belum percaya kalau aku telah bersuami.
Tapi ada sebuah pertanyaaan terbetik dalam benakku.
Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku. Kalaupun dia belum ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang denganku itukan logikanya.
Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku. Kalaupun dia belum ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang denganku itukan logikanya.
Ada apa ini? ujarku
perlahan dalam hati. Aku sendiri merasa bahwa mungkin malam itu Kak Arfan
kecapekan sama sepertiku sehingga dia tidak mendatangiku dan menunaikan
kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi apa peduliku dengan itu semua, toh
akupun tidak menginginkannya, gumamku dalam hati.
Hari-hari terus berlalu.
Kami pun mejalani aktifitas kami masing-masing, Kak Arfan bekerja mencari
rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan aku di rumah berusaha semaksimal mungkin
untuk memahami bahwa aku telah bersuami dan memiliki kewajiban melayani
suamiku.
Yah minimal menyediakan
makanannya, meskipun kenangan-kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku,
aku bahkan masih merindukannya.
Semula kufikir bahwa
prilaku Kak Arfan yang tidak pernah menyentuhku dan menunaikan kewajibannya
sebagai suami itu hanya terjadi malam pernikahan kami.
Tapi ternyata yang terjadi
hampir setiap malam sejak malam pengantin itu, Kak Arfan selalu tidur
beralaskan permadani di bawah ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar
kami.
Dia tidak pernah
menyentuhku walau hanya menjabat tanganku. Jujur segala kebutuhanku selalu
dipenuhinya. Secara lahir dia selalu mafkahiku, bahkan nafkah lahir yang dia
berikan lebih dari apa yang aku butuhan.
Tapi soal biologis, Kak
Arfan tak pernah sama sekali mengungkit- ungukitnya atau menuntutnya dariku.
Bahkan yang tidak pernah kufahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan
di depan pintu kamar, Kak Arfan meminta maaf seolah merasa bersalah karena
telah menyetuhku.
Ada apa dengan Kak Arfan?
Apakah dia lelaki normal? kenapa dia begitu dingin padaku? apakah aku kurang di
matanya? atau? pendengar, jujur merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan
berkecamuk dalam benakku.
Ada apa dengan suamiku?
bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu bahwa menafkahi istri itu
secara lahir dan batin adalah kewajibannya? ada apa dengannya? padahal setiap
hari dia mengisi acara-acara keagamaan di mesjid.
Dia begitu santun pada
orang-orang dan begitu patuh kepada kedua orangtuanya. Bahkan terhadap aku pun
hampir semua kewajibannya telah dia tunaikan dengan hikmah, tidak pernah sekali
pun dia bersikap kasar dan berkata-kata keras padaku. Bahkan Kak Arfan terlalu
lembut bagiku.
Tapi satu yang belum dia
tunaikan yaitu nafkah batinku. Aku sendiri saat mendapat perlakuan darinya
setiap hari yang begitu lembutnya mulai menumbuhkan rasa cintaku padanya dan
membuatku perlahan-lahan melupakan masa laluku bersama Boby.
Aku bahkan mulai
merindukannya tatkala dia sedang tidak dirumah. Aku bahkan selalu berusaha
menyenangkan hatinya dengan melakukan apa-apa yang dia anjurkannya lewat
ceramah-ceramahnya pada wanita-wanita muslimah, yakni mulai memakai busana
muslimah yang syar’i.
Memang dua hari setelah
pernikahan kami, Kak Arfan memberiku hadiah yang diisi dalam karton besar.
Semula aku mengira bahwa hadiah itu adalah alat-alat rumah tangga.
Tapi setelah kubuka,
ternyata isinya lima potong jubah panjang berwarna gelap, lima buah jilbab
panjang sampai selutut juga berwana gelap, lima buah kaos kaki tebal panjang
berwarnah hitam dan lima pasang manset berwarna gelap pula.
Jujur saat membukanya aku
sedikit tersinggung, sebab yang ada dalam bayanganku bahwa inilah konsekuensi
menikah dengan seorang ustadz.
Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya. Ternyata dugaanku salah sama sekali. Sebab hadiah itu tidak pernah disentuhnya atau ditanyakannya.
Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya. Ternyata dugaanku salah sama sekali. Sebab hadiah itu tidak pernah disentuhnya atau ditanyakannya.
Kini aku mulai
menggunakannya tanpa paksaan siapapun. Kukenakan busana itu agar diatahu bahwa
aku mulai menganggapnya istimewa.
Bahkan kebiasaannya sebelum tidur dalam mengajipun sudah mulai aku ikuti. Kadang ceramah-ceramahnya di mesjid sering aku ikuti dan aku praktekan di rumah.
Bahkan kebiasaannya sebelum tidur dalam mengajipun sudah mulai aku ikuti. Kadang ceramah-ceramahnya di mesjid sering aku ikuti dan aku praktekan di rumah.
Tapi satu yang belum bisa
aku mengerti darinya. Entah mengapa hingga enam bulan pernikahan kami dia tidak
pernah menyentuhku.
Setiap masuk kamar pasti sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji, lalu tidur di atas hamparan permadani dibawah ranjang hingga terjaga lagi di sepertiga malam, lalu melaksanakan sholat tahajud.
Setiap masuk kamar pasti sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji, lalu tidur di atas hamparan permadani dibawah ranjang hingga terjaga lagi di sepertiga malam, lalu melaksanakan sholat tahajud.
Hingga suatu saat Kak Arfan
jatuh sakit. Tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi. Aku sendiri bingung
bagaimana cara menanganinya. Sebab Kak Arfan sendiri tidak pernah menyentuhku.
Aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasa membantunya. Ya Allah..apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tapi apa yang harus saya lakukan ya Allah..
Aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasa membantunya. Ya Allah..apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tapi apa yang harus saya lakukan ya Allah..
Malam itu aku tidur dalam
kegelisahan. Aku tak bisa tidur mendengar hembusan nafasnya yang seolah sesak.
Kudengar Kak Arfan pun sering mengigau kecil. Mungkin karena suhu panasnya yang
tinggi sehingga ia selalu mengigau.
Sementara malam begitu
dingin, hujan sangat deras disetai angin yang bertiup kencang. Kasihan Kak
Arfan, pasti dia sangat kedinginan saat ini.
Perlahan aku bangun dari
pembaringan dan menatapnya yang sedang tertidur pulas. Kupasangkan selimutnya
yang sudah menjulur kekakinya. Ingin sekali aku merebahkan diriku di sampingnya
atau sekedar mengompresnya.
Tapi aku tak tahu bagaimana harus memulainya. Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya.
Tapi aku tak tahu bagaimana harus memulainya. Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya.
Tapi baru beberapa detik
tanganku menyentuh kulit dahinya, Kak Arfan terbangun dan langsung duduk agak
menjauh dariku sambil berujar ”Afwan dek, kau belum tidur? kenapa ada di bawah?
nanti kau kedinginan? ayo naik lagi ke ranjangmu dan tidur lagi, nanti besok
kau capek dan jatuh sakit?” pinta kak Arfan padaku. Hatiku miris saat mendengar
semua itu.
Dadaku sesak, mengapa Kak
Arfan selalu dingin padaku. Apakah dia menganggap aku orang lain. Apakah di
hatinya tak ada cinta sama sekali untukku.
Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali kulapkan dengan teriakan. Hingga akhirnya gemuruh di hatiku tak bisa kubendung juga.
Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang ingin sekali kulapkan dengan teriakan. Hingga akhirnya gemuruh di hatiku tak bisa kubendung juga.
”Afwan kak, kenapa sikapmu
selama ini padaku begitu dingin? kau bahkan tak pernah mau menyentuhku
walaupun hanya sekedar menjabat tanganku? bukankah aku ini istrimu? bukankah
aku telah halal buatmu? lalu mengapa kau jadikan aku sebagai patung perhiasan
kamarmu? apa artinya diriku bagimu kak? apa artinya aku bagimu kak? kalau kau
tidak mencintaiku lantas mengapa kau menikahiku? mengapa kak? mengapa?” Ujarku
disela isak tangis yang tak bisa kutahan.
Tak ada reaksi apapun dari
Kak Arfan menanggapi galaunya hatiku dalam tangis yang tersedu itu. Yang nampak
adalah dia memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam yang menempel di dinding
kamar kami. Hingga akhirnya dia mendekatiku dan perlahan berujar padaku:
”Dek, jangan kau pernah
bertanya pada kakak tentang perasaan ini padamu. Karena sesungguhnya kakak
begitu sangat mencintaimu. Tetapi tanyakanlah semua itu pada dirimu sendiri.
Apakah saat ini telah ada cinta di hatimu untuk kakak? kakak tahu dan kakak yakin
pasti suatu saat kau akan bertanya mengapa sikap kaka selama ini begitu dingin
padamu.
Sebelumnya kakak minta maaf
bila semuanya baru kakk kabarkan padamu malam ini. Kau mau tanyakan apa maksud
kakak sebenarnya dengan semua ini?” ujar
Kak Arfan dengan agak sedikit gugup.
“Iya tolong jelaskan pada
saya Kak, mengapa kakak begitu tega melakukan ini pada saya? tolong jelaskan
Kak?” Ujarku menimpali tuturnya kak Arfan.
“Hhhhhmmm, Dek kau tahu apa
itu pelacur? dan apa pekerjaan seorang pelacur? afwan dek dalam pemahaman
kakak, seorang pelacur itu adalah seorang wanita penghibur yang kerjanya
melayani para lelaki hidung belang untuk mendapatkan materi tanpa peduli apakah
di hatinya ada cinta untuk lelaki itu atau tidak.
Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintainya. Bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak ingin hal itu terjadi padamu dek.
Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintainya. Bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak ingin hal itu terjadi padamu dek.
Kau istriku dek, betapa
bejatnya kakak ketika kakak harus memaksamu melayani kakak dengan paksaan saat
malam pertama pernikahan kita. Sedangkan di hatimu tak ada cinta sama sekali
buat kaka.
Alangkah berdosanya kakak, bila pada saat melampiaskan birahi kakak padamu malam itu, sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak tetapi ada lelaki lain. Kau tahu dek, sehari sebelum pernikahan kita digelar, kakak sempat datang ke rumahmu untuk memenuhi undangan Bapakmu.
Tapi begitu kakak berada di depan pintu pagar rumahmu, kaka melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan pada kekasihmu boby. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau tidak mencintai kakak.
Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau hanya akan mencintainya selamanya. Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah mermpas kebahagiaanmu.
Alangkah berdosanya kakak, bila pada saat melampiaskan birahi kakak padamu malam itu, sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak tetapi ada lelaki lain. Kau tahu dek, sehari sebelum pernikahan kita digelar, kakak sempat datang ke rumahmu untuk memenuhi undangan Bapakmu.
Tapi begitu kakak berada di depan pintu pagar rumahmu, kaka melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan pada kekasihmu boby. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau tidak mencintai kakak.
Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau hanya akan mencintainya selamanya. Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah mermpas kebahagiaanmu.
Kakak yakin bahwa kau
menerima pinangan kakak itu karena terpaksa. Kakak juga mempelajari sikapmu
saat di pelaminan. Begitu sedihnya hatimu saat bersanding di pelaminan bersama
kakak.
Lantas haruskah kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu. Sementara tanpa memperdulikan perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban kakak sebagai suamimu di malam pertama. Semenatara kau sendiri akan mematung dengan deraian air mata karena terpaksa melayani kakak?
Lantas haruskah kakak egois dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu. Sementara tanpa memperdulikan perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban kakak sebagai suamimu di malam pertama. Semenatara kau sendiri akan mematung dengan deraian air mata karena terpaksa melayani kakak?
Kau istriku dek, sekali
lagi kau istriku. Kau tahu, kakak sangat mencintaimu. Kakak akan menunaikan
semua itu manakala di hatimu telah ada cinta untuk kakak.
Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu. Agar kau bisa menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila hari ini kau telah mencintai kaka. Kakak juga merasa bersyukur bila kau telah melupakan mantan kekasihmu itu.
Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu. Agar kau bisa menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila hari ini kau telah mencintai kaka. Kakak juga merasa bersyukur bila kau telah melupakan mantan kekasihmu itu.
Beberapa hari ini kakak
perhatikan kau juga telah menggunakan busana muslimah yang syar’i. Pinta kakak
padamu dek, luruskan niatmu, kalau kemarin kau mengenakan busana itu untuk
menyenangkan hati kakak semata. Maka sekarang luruskan niatmu, niatkan semua
itu untuk Allah ta’ala selanjutnya untuk kakak.”
Mendengar semua itu, aku
memeluk suamiku. Aku merasa bahwa dia adalah lelaki terbaik yang pernah
kujumpai selama hidupku. Aku bahkan telah melupakan Boby. Aku merasa bahwa
malam itu, aku adalah wanita yang paling bahagia di dunia.
Sebab meskipun dalam
keadaan sakit, untuk pertama kalinya Kak Arfan mendatangiku sebagai seorang
suami. Hari-hari kami lalui dengan bahagia. Kak arfan begitu sangat
kharismatik. Terkadang dia seperti seorang kakak buatku dan terkadang seperti
orang tua. Darinya aku banyak belajar banyak hal.
Perlahan aku mulai
meluruskan niatku dengan menggunakan busana yang syar’i, semata-mata karena
Allah dan untuk menyenangkan hati suamiku.
Sebulan setelah malam itu,
dalam rahimku telah tumbuh benih-benih cinta kami berdua. Alhamdulillah, aku
sangat bahagia bersuamikan dia. Darinya aku belajar banyak tentang agama. Hari
demi hari kami lalui dengan kebahagiaan.
Ternyata dia mencintaiku
lebih dari apa yang aku bayangkan. Dulu aku hampir saja melakukan tindakan
bodoh dengan menolak pinangannya. Aku fikir kebahagiaan itu akan berlangsung
lama diantara kami, setelah lahir Abdurrahman, hasil cinta kami berdua
Di akhir tahun 2008,
Kak Arfan mengalami kecelakaan dan usianya tidak panjang. Sebab Kak Arfan
meninggal dunia sehari setelah kecelakaan tersebut. Aku sangat kehilangannya.
Aku seperti kehilangan penopang hidupku.
Aku kehilangan kekasihku.
Aku kehilangan murobbiku, aku kehilangan suamiku. Tidak pernah terbayangkan
olehku bahwa kebahagiaan bersamanya begitu singkat. Yang tidak pernah aku
lupakan di akhir kehidupannya Kak Arfan, dia masih sempat menasehatkan sesuatu
padaku:
“Dek.. pertemuan dan
perpisahan itu adalah fitrahnya kehidupan. Kalau ternyata kita berpisah besok
atau lusa, kakak minta padamu Dek.., jaga Abdurrahman dengan baik.
Jadikan dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama, senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat. Didik dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.
Jadikan dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama, senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat. Didik dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.
Satu permintaan kakak..,
kalau suatu saat ada seorang pria yang datang melamarmu, maka pilihlah pria
yang tidak hanya mencintaimu. Tetapi juga mau menerima kehadiran anak kita.
Maafkan kakak Dek.., bila
selama bersamamu, ada kekurangan yang telah kakak perbuat untukmu.
Senantiasalah berdoa.., kalau kita berpisah di dunia ini..Insya Allah kita akan
berjumpa kembali di akhirat kelak . Kalau Allah mentakdirkan kakak yang pergi
lebih dahulu meninggalkanmu, Insya Allah kakak akan senantiasa menantimu..”
Demikianlah pesan terakhir
Kak Arfan sebelum keesokan harinya Kak Arfan
meninggalkan dunia ini.
Hatiku sangat sedih saat itu. Aku merasa sangat kehilangan. Tetapi aku berusaha
mewujudkan harapan terakhirnya, mendidik dan menjaga Abdurrahman dengan baik.
Selamat jalan Kak Arfan. Aku akan selalu mengenangmu dalam setiap doa-doaku,
amiin. Wasallam”
NB : Kisah Nyata dari
Akhwat di Gorontalo, Sulawesi Utara
Post a Comment