Kisah Teladan Ahlul Bayt Rasulullah SAW

Kisah Teladan Ahlul Bayt Rasulullah SAW

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, Imam Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan Zainab sedang bersiap-siap untuk berbuka puasa atas nadzar yang telah diucapkan demi kesembuhan Imam Hasan dan Imam Husain. 

Tak ada hidangan yang tersedia kecuali masing-masing memegang sepotong roti kering. Ketika roti akan dimakan, terdengar suara pintu rumah mereka diketuk orang. Maka dibukakanlah pintu itu terlebih dahulu. Yang datang adalah seorang miskin, yang meminta sesuatu untuk berbuka puasa, sebab ia tak mempunyai makanan sedikit pun.

Ia berkata, “Wahai penghuni rumah kecintaan Rasulullah! Aku adalah seorang miskin yang tak punya apa-apa, bahkan untuk berbuka puasa pada hari ini. Tolonglah aku, wahai pribadi-pribadi mulia. Berbagilah denganku atas rezeki yang diberikan Allah kepada kalian. Semoga Allah memuliakan kalian karenanya.”

Imam Ali diam sejenak. Ia memandang anggota keluarganya yang lain. Seisi rumah berpandang-pandangan. Namun, tak lama, segera ia mengambil roti bagiannya sendiri, dan bergegas hendak menyerahkannya kepada si miskin, tapi langkahnya terhenti. 

Ia sangat terharu, karena seisi rumah ternyata melakukan hal yang sama. Mereka menyerahkan bagiannya masing-masing, dan akhirnya mereka hanya berbuka dengan meminum segelas air putih.

Hari berikutnya, kejadian serupa terulang kembali. Kali ini yang datang adalah seorang muslim yang baru saja dibebaskan oleh kaum kafir setelah ia ditawan beberapa lama. Dan hari kedua itu pun, mereka hanya berbuka dengan meminum segelas air putih.

Sampailah pada hari yang ketiga. Ketika keluarga ini tengah bersiap-siap menunggu adzan Maghrib, mereka dikejutkan oleh ketukan pintu. Ketukan itu sebenarnya sangatlah perlahan. 

Imam Ali, selaku kepala keluarga, berjalan membukakan pintu. Ia terkejut, Karena tamunya pada kesekian kalinya adalah seorang bocah. “Aku adalah seorang yatim. Ayahku telah lama meninggal dunia, ibuku bekerja sendirian. Sedang aku, sudah beberapa hari ini perutku kosong, tak kemasukan makanan apa-apa,” kata bocah itu sembari memelas dengan wajah tertunduk.

Imam Ali terharu. Matanya berkaca-kaca. Tanpa pikir panjang, ia bergegas mengambil sepotong roti yang menjadi bagiannya. Tapi, lagi-lagi ia kebingungan, karena seisi rumah serempak mengikuti langkahnya. Ia menoleh ke belakang, dan dengan perasaan terharu yang semakin dalam ia berkata, “Sudahlah. Biar aku saja yang memberikan bagianku. Kalian…Makanlah bagian kalian!”

“Sungguh bagaimana mungkin seorang ibu akan merasa kenyang, sementara ia tahu puteranya menggigil karena menahan lapar?” kata Fatimah sambil juga menahan air mata.

“Baiklah. Tetapi engkau, anak-anakku, makan sajalah bagian kalian, biar ayah dan ibu yang mengurus keperluan anak itu,” kata Imam Ali.

“Tidak wahai ayah. Bagaimana mungkin aku akan makan bagianku, sementar aku tahu bahwa seorang anak yang lebih kecil usianya daripadaku harus berjuang menahan lapar?” kata Hasan.

“Tidak wahai ayah. Bagaimana aku akan makan dengan tenang, sementara aku tahu, bahwa di luar rumah ini seorang sahabatku harus menanggung lapar,” kata Husain tak kalah tangkas dari kakaknya.

Tidak lama berselang, Zainab yang usianya masih sangat kecil sambil menangis, mendapati ibunya dan memeluknya seraya bertutur, “Tidak wahai ayah. Aku tidak mau makan. Aku tidak mau makan sendirian, sementara kakakku Hasan dan Husain tidak makan. Aku tidak lapar ibu. Berikan bagianku kepada anak itu, teman kakakku Hasan dan Husain.”

Roti itu pun diserahkan, dan kembali mereka berbuka hanya dengan segelas air, di hari itu. Keadaan yang demikian itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau menjenguk mereka di pagi harinya. 

Rasulullah sangat terperanjat melihat keadaan keluarga puterinya itu, terutama melihat cucu-cucunya yang masih kecil-kecil terkulai tanpa tenaga. Beliau memeluk cucunya dan berdoa, “Ya Allah, tolonglah keluarga Muhammad yang hampir kelaparan.” Saat itu, turun firman Allah :

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas berisi minuman yang campurannya adalah air kafur (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana. 

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. 

Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Insan [76]: 05-12)

***

Sungguh merupakan peristiwa monumental yang terjadi ribuan tahun silam. Manusia-manusia pilihan itu telah menggetarkan dan menggegerkan altar sejarah dunia sosial tentang bagaimana seyogyanya seseorang mampu berempati, merasakan kesusahan dan kegelisahan hidup yang dialami seseorang.

Keluarga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (Ahlul Bait) memang layak diacungi jempol atas kesadaran yang muncul dari alam bawah sadar bahwa sebaik-baik harta adalah yang berdaya guna bagi masyarakat kaum papa. Pantang bagi keluarga Rasul untuk tidak memberi ketika orang yang dalam kesulitan hidup datang meminta bantuan.

Ayat di atas turun guna menegaskan kedermawann yang diperlihatkan oleh Sayyidina Ali dan Fatimah serta kedua puteranya Hasan dan Husain. Peristiwa ini terekam dalam Al-Quran agar menjadi memori di hati kita sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi sifat kesetiakawanan sosial.


Inilah proses penyucian harta. Seberat apapun beban yang harus ditanggung, toh keluarga Rasul tak sampai hati membiarkan saudaranya sengsara dalam kemiskinan, kelaparan dan ketidakberdayaan. Keluarga Nabi telah memberikan tauladan kepada kita untuk mempunyai empati dan solidaritas sosial kepada sesama. Sungguh sebuah fragmen yang menakjubkan. 

Demikianlah Islam mengajarkan ‘konsep manusia sempurna’. Sebuah konsep yang mengilustrasikan bagaimana seorang mukmin perlu memiliki kepekaan dan kepedulian atas ketimpangan yang dialami oleh sesamanya.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement