Oleh: Wina Fatiya
Setiap orang pasti menginginkan kebahagiaan dan kesuksesan. Tidak terkecuali orang beriman, kebahagiaan yang dicita-citakannya lebih tinggi dan lebih luas daripada ke umuman orang. Mereka menginginkan kebahagiaan lintas dimensi dunia. Karena bukan lagi kebahagiaan yang real bisa dirasakan di bumi dan semesta namun kebahagiaan yang masih gaib juga dikejarnya. Kebahagiaan yang dimaksud itu adalah kebahagiaan dan kesuksesan di akhirat.
Betapa banyak orang-orang yang tidak mempercayai bahkan mengingkari berita gaib. Mereka menautkan keyakinan sekedar pada realitas. Padahal tidak semua kenyataan bisa diindera oleh manusia dalam bentuk realitas.
Ada aspek-aspek yang tidak bisa dijangkau indera namun itulah realitasnya. Misalnya bagaimana bentuk panas itu, bagaimana bentuk angin itu, apa warna listrik itu, mengapa bumi berputar demikian cepat namun tidak dirasakan oleh manusia dll. Semua ini nyata kita rasakan meskipun tidak bisa dilihat atau didengar.
Api itu panas, kita percaya. Namun kita tidak bisa melihat panas yang sesungguhnya. Angin itu menyejukkan, namun kita tidak bisa melihat atau mendengar angin yang menyapa kulit kita. Begitupun dengan listrik, ada efeknya bahak manfaatnya begitu terasa, namun kita tak tahu bagaimana bentuknya.
Semua ini adalah contoh sederhana betapa manusia itu terbatas. Meskipun ia memiliki panca indera namun tidak semua realitas di bumi bisa diinderanya.
Inilah titik kelemahan manusia. Tidak bisa kita menggantungkan kebenaran kepada akal manusia semata. Akal itu harus dituntun oleh sesuatu yang pasti kebenarannya. Di titik inilah manusia berbeda mengambil timbangan kebenaran.
Ada yang menganggap kebenaran itu dari hasil olah pikir, rasa dan karsa akalnya. Jelas ini keliru karena akal terbatas. Sesuatu yang terbatas tidak mungkin bisa mengklaim kebenaran.
Ada yang menganggap kebenaran itu dari hasil rembugan manusia. Musyawarah dan kesepakatan untuk mengklaim sesuatu itu benar. Jelas ini salah karena manusia adalah tempat salah dan khilaf. Bagaimana mungkin dia bisa menentukan kebenaran.
Ditambah lagi manusia selalu memiliki dorongan hawa nafsu yang membuatnya condong pada kepentingan dan kebutuhan. Tentu ketika memutuskan sesuatu akan dipengaruhi oleh hasratnya.
Memang tidak dipungkiri ada manusia-manusia baik yang berusaha menjaga idealisme moral, kemanusiaan dan etika kehidupan. Namun ini juga bukanlah penentu kebenaran.
Kebenaran hakiki haruslah bersumber dari zat yang Maha Sempurna dan Maha Kuasa. Ia adalah representasi kebenaran yang tak tersentuh oleh invasi hawa nafsu dan keserakahan. Ia haruslah mengetahui seluk-beluk manusia dan alam yang berputar di sekeliling manusia.
Kebenaran hakiki itu adalah kebenaran dari Allah ﷻ, Sang Pencipta alam semesta. Tidak ada keraguan atas kebenaran itu sebagaimana tidak ada keraguan pada kesempurnaan ciptaan-Nya.
Sebagaimana Allah ﷻ berfirman:
اَلْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Artinya: "Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu." (QS. Al Baqarah ayat 147)
Allah ﷻ menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk manusia untuk menyusuri jalan kebenaran ini. Al-Qur'an itulah cara Allah berkomunikasi dengan manusia. Cara Allah menuntun manusia dengan menyibak rahasia-rahasia kehidupan. Tak mengherankan jika Al-Qur'an menjadi satu-satunya Kitab Suci yang isinya beragam dan sempurna.
Ada sains dan ilmu pengetahuan, ada sejarah manusia, ada hukum seputar sistem kehidupan, ada nilai moral dan akhlak, ada cerita hikmah, kisah perjalanan para nabi dan orang salih, bahkan kabar dunia setelah dunia inipun dirunut oleh Al-Qur'an dengan gamblang dan jelas.
Allah ﷻ sudah mengabarkan kepada kita tentang kebenaran Al-Qur'an ini sebagaimana ayat:
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
Artinya: "Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah ayat 2)
Jika kebenaran hakiki itu ada dalam Al-Qur'an, maka siapapun yang mereguk ilmu dan hikmah dari Al-Qur'an pasti akan menemukan jalan kebahagiaan dan kesuksesan. Tentu bukan kebahagiaan semu yang jauh dari fitrah manusia juga temporer waktunya, namun kebahagiaan ini adalah sebenar-benarnya kebahagiaan. Dia tidak terbatas waktunya juga tidak terbatas nikmatnya.
Kebahagiaan inilah yang harusnya dikejar oleh manusia. Karena inti dari kehidupan ini adalah mengejar kebahagiaan hakiki itu. Dialah kebahagiaan akhirat dan juga rida Allah ﷻ.
Imbasnya adalah kita harus semangat mengkaji Al-Qur'an. Sebagaimana saat ini menyambut bulan Ramadan. Ramadan yang dikenal sebagai Syahrul Qur'an (Bulan diturunkannya Al Qur'an) haruslah menjadi momen umat Islam mendekatkan diri dengan Al-Qur'an.
Dengan mendekatkan diri kepada Al-Qur'an, maka mereka sedang mendekatkan diri kepada kebenaran dan sumber kebahagiaan. Jadi sungguh ini adalah perkara yang sangat penting untuk dilakukan umat Islam.
Allah ﷻ mengabarkan:
لَقَدْ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكُمْ كِتٰبًا فِيْهِ ذِكْرُكُمْۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
Artinya "Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya?" (QS. Al-Anbiya:10).
Jadi, yuk kenali, dekati, pahami dan berakrab rialah dengan Al-Qur'an karena ia adalah sumber kebenaran dan kebahagiaan kita yang sesungguhnya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Post a Comment