Perempuan kurus berwajah
lusuh, dengan kekuatan yang mendadak luar biasa, mampu menerobos barikade
puluhan bahkan ratusan polisi yang mencoba menghadangnya. Dalam sekejap, ia
telah berdiri menantang di hadapan Pak Lurah.
"Pak Lurah, sampeyan
jangan hanya diam! Baca ini, lagi-lagi perempuan diperkosa," teriaknya
sembari melempar koran ke muka Pak Lurah. Plak!
Keberingasan perempuan itu
tampaknya tak mengusik ketenangan dan umbaran senyum Pak Lurah. "Apanya
yang salah? Sudah takdir," jawab Pak Lurah lirih mencoba menciptakan
wibawa. "Mosok
laki-laki yang diperkosa. Tidak logis dan tidak rasional toh,"
tukasnya sambil terkekeh.
"Edan tenan! Sampeyan
benar-benar sudah edan!"
Perempuan itu terus
berteriak memaki sambil berusaha membebaskan diri dari cengkeraman beberapa
polisi yang menahannya.
"Lepaskan aku,
lepaskan!" berontaknya.
"Sudah, lepaskan saja
perempuan gila itu," suara Pak Lurah memberi titah. "Dia tidak akan bisa berbuat macam-macam.
Apalagi terhadap saya," sambungnya diiringi tawa.
"Sampeyan
menghina saya, berarti menghina juga seluruh perempuan Indonesia. Itu melanggar
undang-undang keperempuanan."
"Apa katamu?
Undang-undang? Ha…ha…ha…," mulut Pak Lurah menganga lebar sampai terlihat
gigi emasnya berkilauan.
"Sersan, ajari perempuan ini tentang kitab undang-undang yang telah engkau
hafal dengan fasih," perintahnya kepada seorang polisi pengawalnya.
Cuh…!
perempuan itu melemparkan ludah busuknya ke muka Pak Lurah. Tepat mengenai
hidung.
"Aku tak sudi lagi
melihat hipokrisi dan arogansi kalian," pekik perempuan itu. Lalu pergi.
***
Menghempaskan pantat di
atas sofa rumahnya. Sebetulnya bukan sofa, tetapi hanya kursi bambu yang
ditindih beberapa bantal bekas dan lusuh. Baginya, itu adalah sofa kebanggaan
yang ada di rumahnya. Bangga bukan karena nilai seninya, melainkan karena sofa
itu adalah buah rajutan keringatnya. Ya, bangga karena sofa itu didapat tidak
dari mencuri,
korupsi, atau usaha prostitusi.
Hhhmm…,
perempuan itu mendesah panjang melepas
kejengkelan. Tangannya meraih remote control yang tergeletak di atas
meja di depannya. Hanya refleks. Tak ada maksud sedikit pun untuk menikmati
televisi. Dibiarkannya televisi itu menyala tanpa memperoleh atensi.
Tenggorokannya yang kering
menuntun tangannya menggapai secangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat. Di
sebelahnya ada setumpuk koran dan buku yang terkacau. Hanya itulah makanannya
setiap hari.
Ahhh…, dia menyeruput
kopi itu dengan garang.
Tiba-tiba, matanya
membelalak. Perempuan itu bangkit penuh amarah bak manusia kesurupan.
Gubrak…! Televisi
itu ditendang dan dilempar.
"Benar-benar zaman
edan! Perempuan telanjang kok malah dipamerkan
di tivi,"
ratusan bahkan ribuan sumpah serapah dia muntahkan. Tivinya
telah hancur. Cangkir kopinya pun lebur. Perempuan itu terduduk lemas di atas
sofa, menghela napas,
puas.
Sejurus kemudian, dahinya
berkerut seakan sedang menyelidik sesuatu. "Masya Allah, aku lupa, ini
hari istimewaku." Bergegas ia menarik diri dan pergi.
"Apa-apaan ini!"
amuknya kembali meledak ke tengah kerumunan massa di balai desa yang mayoritas
adalah perempuan.
"Bubar-bubar!"
ia merangsek masuk membelah keramaian.
"Ini hari istimewaku, jangan kalian nodai!"
Segerombolan polisi
berlari mendekat menyergap perempuan itu.
"Lepaskan aku,
lepaskan!" berontaknya berusaha lepas dari sergapan kuat tubuh-tubuh
gempal yang menenteng senapan. Sebagian polisi mengarahkan senapan kepadanya.
Perempuan kurus itu jelas kalah perkasa dibanding para polisi. Tak berdaya, dia diseret masuk
ke dalam ruang kerja Pak Lurah.
"Kamu lagi, kamu
lagi!" Pak Lurah berdecak menggelengkan kepala. "Mengapa selalu kamu yang membuat
onar di desa ini?!"
"Lihat, hari
istimewaku mereka nodai. Ini melanggar undang-undang keperempuanan."
"Sudah, jangan kau
bawa lagi undang-undang ke tempat ini!"
"Tapi ini hari
istimewaku, Pak Lurah."
"Hari
istimewamu?" suara Pak Lurah mulai meninggi. Tanpa senyum seperti
sebelumnya.
"Bukan!
Ini hari istimewa bagi pahlawan bangsa," lanjut Pak Lurah.
"Benar. Tapi ini juga
hari istimewaku sebagai seorang perempuan."
"Lantas?"
"Mengapa Pak Lurah
membiarkan hari istimewa ini dinodai?"
"Maksud kamu?"
"Saya tersinggung,
perempuan-perempuan di luar sana dipaksa memasak, memakai kebaya dan sanggul,
lalu berlenggak-lenggok," perempuan itu nyerocos meluapkan
kemarahannya.
"Seremoni macam apa itu!"
Brak!
Perempuan itu menggebrak meja.
"Sersan, bawa
perempuan ini ke penjara!" tampaknya Pak Lurah telah kehilangan kesabaran.
Sersan Marno dan beberapa polisi lainnya menyeret perempuan itu keluar. Dengan
tangan yang sudah diborgol, perempuan itu mencoba bertahan. Tangannya meraih
meja, namun lepas. Mendekap tiang, namun gagal.
Melewati kerumunan massa,
perempuan itu berteriak, "Wahai perempuan, jangan biarkan Pak Lurah yang
munafik itu mempedayai kalian. Lihatlah, saudara-saudara kita di negeri ini
yang mati akibat arogansinya. Lihat pula, saudara-saudara kita yang
dieksploitasi secara seksual; dipekerjakan, digagahi, dilecehkan, diperkosa,
bahkan dibunuh. Emansipasi macam apa ini?! Munafik!"
Perempuan itu semakin
dibawa menjauh dari balai desa oleh tangan-tangan kekar yang menenteng senapan.
Meski telah jauh, suaranya tetap terdengar lantang, "seandainya Kartini
putri Bupati Jepara Sosroningrat masih hidup, pasti akan sedih bahkan murka
menyaksikan kalian."
Dalam catatan ‘kriminal’
kepolisian, perempuan itu bernama Kartini binti Surip.
Dipublikasikan di (Kabar Indonesia) Ahad, 19 April 2008
Sumber Gambar
Post a Comment