Judul : Misteri Bidadari Surga
Penulis : Nurul Mubin
Penerbit : DIVA Press, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, April 2007
Tebal : 236 halaman
Bidadari adalah makhluk Allah SWT yang memiliki ciri sangat istimewa. Ia diciptakan secara khusus sebagai balasan bagi hamba-Nya yang memenuhi kriteria kelayakan sebagai penghuni surga. Para penghuni surga inilah yang akan mendapatkan tempat paling nyaman dan indah dengan pelayanan yang serba memuaskan.
Dalam Al-Qur’an, bidadari dituturkan dengan beragam gaya bahasa yang mengandung tamsil (perumpamaan) yang indah. Misalnya, bidadari digambarkan sebagai istri yang selamanya suci (azwaajun muthahharah), tetap perawan, tidak pernah menstruasi atau hamil (Q.S. Al-Baqarah [2]: 25; Q.S. Ali Imran [3]: 15; Q.S. An-Nisa’ [4]: 57). Beberapa ayat lain juga mengilustrasikan keindahan fisik bidadari surga; jelita matanya (hurun ‘iin) dan tidak liar pandangannya (qashirat al-tharf) (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 48; Q.S. Ad-Dukhan [44]: 54; Q.S. Ath-Thuur [52]: 20; Q.S.
Al-Waqi’ah [56]: 22), sebaya umurnya (atrab) (Q.S. Shaad [38]: 52), putih bersih dan dipingit dalam rumah (Q.S. Ar-Rahman [55]: 72), montok dadanya (kawa’ib) (Q.S. An-Naba’ [78]: 33), serta menawan laksana yaqut dan marjan (Q.S. 55: 58). Interpretasi terhadap teks kitab suci atau manuskrip-manuskrip kuno lain selalu dibangun atas tiga elemen dasar, yaitu dunia teks (the world of text), dunia penulis (the world of author), dan dunia pembaca (the world of reader).
Ketiga dunia penafsiran inilah yang menjadi dasar keberadaan tafsir hermeneutik mutakhir ini. Aktivitas menafsirkan memang tidak selalu semaksud dengan pengarangnya. Karenanya, dapat dibilang, dunia teks dengan dunia penafsiran merupakan dunia yang tidak pernah bertemu sehingga dalam penafsiran akan memunculkan perspektif-perspektif yang berbeda bergantung interpreternya. (hal. 104 -105)
Dalam Al-Qur’an, bidadari dituturkan dengan beragam gaya bahasa yang mengandung tamsil (perumpamaan) yang indah. Misalnya, bidadari digambarkan sebagai istri yang selamanya suci (azwaajun muthahharah), tetap perawan, tidak pernah menstruasi atau hamil (Q.S. Al-Baqarah [2]: 25; Q.S. Ali Imran [3]: 15; Q.S. An-Nisa’ [4]: 57). Beberapa ayat lain juga mengilustrasikan keindahan fisik bidadari surga; jelita matanya (hurun ‘iin) dan tidak liar pandangannya (qashirat al-tharf) (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 48; Q.S. Ad-Dukhan [44]: 54; Q.S. Ath-Thuur [52]: 20; Q.S.
Al-Waqi’ah [56]: 22), sebaya umurnya (atrab) (Q.S. Shaad [38]: 52), putih bersih dan dipingit dalam rumah (Q.S. Ar-Rahman [55]: 72), montok dadanya (kawa’ib) (Q.S. An-Naba’ [78]: 33), serta menawan laksana yaqut dan marjan (Q.S. 55: 58). Interpretasi terhadap teks kitab suci atau manuskrip-manuskrip kuno lain selalu dibangun atas tiga elemen dasar, yaitu dunia teks (the world of text), dunia penulis (the world of author), dan dunia pembaca (the world of reader).
Ketiga dunia penafsiran inilah yang menjadi dasar keberadaan tafsir hermeneutik mutakhir ini. Aktivitas menafsirkan memang tidak selalu semaksud dengan pengarangnya. Karenanya, dapat dibilang, dunia teks dengan dunia penafsiran merupakan dunia yang tidak pernah bertemu sehingga dalam penafsiran akan memunculkan perspektif-perspektif yang berbeda bergantung interpreternya. (hal. 104 -105)
Ini pula yang terjadi ketika manusia berusaha menafsirkan ayat-ayat tentang bidadari surga. Dengan kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki, manusia tidak akan pernah mampu membuka secara utuh tabir yang tersembunyi di balik teks-teks suci tersebut.
Hasilnya, bidadari kerap disketsakan dalam beragam ilustrasi. Di antaranya, bidadari digambarkan sebagai makhluk indah yang berjenis kelamin perempuan dengan segala sifat kewanitaannya yang menawan sebagaimana perempuan-perempuan di bumi.Memaknai bidadari dengan cara pandang seperti ini akan menjadikan substansi ayat sangat sempit, picik, dan bias gender. Akibatnya, bidadari selalu dipersepsikan sebagai makhluk berjenis kelamin perempuan yang eksotis dan erotis; cantik wajahnya, elok bola matanya, mancung hidungnya, ranum pipinya, halus dan putih kulitnya, merdu suaranya, montok buah dadanya, serta ramping pinggulnya.
Gambaran sensualitas bidadari seperti inilah yang selama ini dominan dalam setiap kajian maupun aktivitas penafsiran. Bisa jadi, hakikat bidadari memang begitu sensual dan menggairahkan.
Hasilnya, bidadari kerap disketsakan dalam beragam ilustrasi. Di antaranya, bidadari digambarkan sebagai makhluk indah yang berjenis kelamin perempuan dengan segala sifat kewanitaannya yang menawan sebagaimana perempuan-perempuan di bumi.Memaknai bidadari dengan cara pandang seperti ini akan menjadikan substansi ayat sangat sempit, picik, dan bias gender. Akibatnya, bidadari selalu dipersepsikan sebagai makhluk berjenis kelamin perempuan yang eksotis dan erotis; cantik wajahnya, elok bola matanya, mancung hidungnya, ranum pipinya, halus dan putih kulitnya, merdu suaranya, montok buah dadanya, serta ramping pinggulnya.
Gambaran sensualitas bidadari seperti inilah yang selama ini dominan dalam setiap kajian maupun aktivitas penafsiran. Bisa jadi, hakikat bidadari memang begitu sensual dan menggairahkan.
Tetapi, pemahaman manusia yang terlalu cepat membuat sketsa dan memaknai keindahan bidadari disamakan dengan perempuan bumi yang sensual, cantik, dan mempesona, harus dirubah atau didekonstruksi. Sebab, generalisasi seperti ini justru mengaburkan hakikat bidadari yang semestinya tak terperikan.
Selain itu, generalisasi seperti tersebut di atas akan memantik persoalan baru. Di antaranya, bagaimana hak perempuan bumi yang suaminya menjadi penghuni surga? Bagaimana pula jika perempuan bumi itu menjadi ahli surga, apakah di surga akan dipertemukan dengan bidadari yang berjenis kelamin sama dengan mereka, yaitu perempuan, ataukah Tuhan menyediakan juga ‘bidadara-bidadara’ yang tampan dan perkasa?Dalam buku ini, Nurul Mubin menjawab permasalahan ini secara rinci dan gamblang, yang pada muaranya Mubin menghendaki dekonstruksi penafsiran yang sempit, picik, dan bias gender terhadap sosok bidadari surga.
Dengan menafsir kembali ayat bidadari, prinsip egalitarianisme Islam, rasionalitas dan relevansi Al-Qur’an, tidak terkoyak oleh interpretasi sempit yang cenderung imajiner dan patriarkal.
Namun demikian, apa yang dipaparkan Mubin juga para penafsir lain bukanlah kebenaran hakiki di balik teks-teks suci. Sebab, hanya Allahlah Sang Penggenggam kebenaran absolut atas seluruh pesan suci di balik firman-Nya.****
-------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di Batam Pos pada Ahad, 26 Agustus 2007.
Post a Comment