Judul Buku : Meneropong Fenomena Kemiskina; Telaah Perspektif
Al-Qur’an
Penulis : Dr. M. Hamdar Arraiyyah, MA
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : ix + 149 halaman
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : ix + 149 halaman
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di
Indonesia hingga Maret 2007 mengalami penurunan 2,13 juta menjadi 37,17 juta
orang. Dengan penurunan itu, jumlah penduduk miskin menjadi 16,58% dari total
penduduk Indonesia yang mencapai 224,177 juta orang.Angka ini sedikit turun
dari jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 yang mencapai 17,75% atau sebanyak
39,30 juta orang dari total penduduk saat itu sebesar 221,328 juta orang.
Terlepas dari kontroversi dan kevalidan data BPS, serta dengan meminggirkan
perasaan bangga atas “keberhasilan” yang dicapai, data tersebut hendaknya
menjadi pemacu untuk menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan.
Mengentaskan kemiskinan bukan hanya tugas pemerintah. Tapi, menjadi national
effort yang harus berangkat dari diri setiap individu di negeri ini.Untuk
menanggulanginya, permasalahan yang harus dipecahkan tidak hanya terbatas pada
hal-hal yang menyangkut pemahaman sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan
juga melibatkan preferensi, nilai, dan politik.
Sebagai salah satu sumber nilai yang dijunjung tinggi, agama
mempunyai ruang hegemonik untuk meneropong dan menyadarkan manusia akan adanya
kemiskinan yang sesungguhnya tidak sejalan dengan kondisi ideal yang diharapkan
oleh syari’at Islam, yaitu manusia sejahtera lahir dan batin, di dunia dan
akhirat.Sebagai kitab suci, Al-Qur’an memuat sejumlah ayat yang menguliti
secara sempurna fenomena dan problematika kemiskinan. Nasr Hamid Abu Zaid,
pemikir Islam Liberal asal Mesir, dengan mengutip statement Sayyidina Ali RA
pernah menandaskan bahwa Al-Qur’an adalah teks yang diam, hanya manusialah yang
membuatnya hidup dan berbicara.Karena itu, tak mengejutkan beragam interpresi
bersembulan. Pun terhadap ayat-ayat tentang kemiskinan.
Kebanyakan interpreter memandang kemiskinan sebagai kodrat hidup (sunnatullah)
yang bersifat langgeng dan selalu ada di setiap generasi manusia. Kemiskinan
adalah cobaan yang harus dijalani dengan sabar dan nerimo (diterima dengan senang hati).
Disadari atau tidak, interpretasi asketis ini justru melahirkan sikap pasif
bagi penyandang kemiskinan sehingga mereka tidak menganggapnya sebagai masalah
dalam kehidupan.
Yusuf al-Qardlawiy, dalam Musykilat
al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam (Problem
Kemiskinan dan Bagaimana Islam Menanggulangi), mengatakan bahwa tak ada satu
pun ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang memuji kemiskinan. Sebaliknya,
kemiskinan adalah masalah yang harus diselesaikan dan ditanggulangi.
Yang menjadi keprihatinan saat ini bukan pada agama atau
skriptural Islam, melainkan interpreter dan penganut agama itu sendiri. Tidak
kurang teks-teks suci itu menyuarakan pentingnya jiwa sosial dan rasa
solidaritas, bahkan dengan gamblang memberikan tuntunan pengentasan kemiskinan
baik yang bersifat wajib semisal zakat, infak wajib, dan kewajiban menolong
orang miskin, atau yang bersifat anjuran seamsal sedekah, infak, ihsan dan
kurba.
Tapi, kewajiban dan anjuran itu menjadi tak berarti manakala
sampai ke tangan manusia-manusia pongah, arogan, dan oportunis. Bahkan dalam
pembangunan nasional pun, masyarakat miskin bukan menjadi fokus yang harus
dientaskan tapi justru ditumbalkan. Inilah pentingnya manusia (individu dan
pemerintah) kembali merujuk kepada wahyu untuk mengentaskan kemiskinan dengan
membuka kesadaran sosial dan solidaritas. Mustahil angka kemiskinan bisa terus
ditekan jika kesadaran, komitmen dan political
will tidak menjadi bagian
yang utuh dan integral dalam diri setiap individu-individu kaya dan pemangku
kekuasaan pada suatu negara yang notabene semua beragama. ***
----------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di Batam Pos pada Minggu, 12 Agustus
2007.
Post a Comment