Esensi Peringatan Maulid Nabi

Pengujung Maret 2007 ini bertepatan 12 Rabi’ul Awwal 1428 dalam penanggalan Islam (Hijriah).
Pada tanggal tersebut Nabi Agung Muhammad SAW dilahirkan. Kendati sejatinya terdapat pula beragam pendapat berbeda menyangkut kelahiran Nabi, namun 12 Rabi’ul Awwal itulah yang paling umum dan masyhur.

Setiap memasuki bulan tersebut, umat Islam di seluruh dunia bersiap memperingati kelahirannya yang kerap disebut Maulid Nabi atau orang Jawa menyebutnya Muludan. Di Indonesia, peringatan ini sudah melembaga, bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Di beberapa masjid, mushalla, institusi pemerintah dan pendidikan serta majelis taklim, Maulid diperingati dengan beragam bentuknya; ada yang sekadar perenungan, menggelar haflah (perayaan) kecil-kecilan hingga yang akbar, ceramah agama, diskusi dan seminar, atau bakti sosial. Bahkan tidak sedikit yang mengemasnya dengan tradisi lokal semisal Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta, atau Panjang Jimat di Kasultanan Cirebon, atau Gerebeg Maulud di Demak.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan pun kembali digelar bak jamur di musim penghujan; umat Muslim berkumpul untuk mendengarkan pembacaan Alquran, membaca kembali kisah-kisah Rasulullah SAW mulai dari kelahirannya, perjuanganya, mukjizatnya, dan akhlaknya yang mulia. Lalu diakhiri dengan doa dan makan bersama.

Berbagai keteladanan Rasulullah pun disampaikan dalam setiap kesempatan ceramah atau khuthbah. Syair puji-pujian dan salam kesejahteraan pun digemakan. Menambah kerinduan dan mengembalikan ingatan pada sosok ‘manusia biasa yang luar biasa’, seorang Nabi pilihan yang berjuang siang malam mengemban amanah kerasulan, menyeru manusia kepada kebenaran, keimanan dan ketakwaan di tengah berbagai rintangan dan tantangan yang silih berganti datang menghantam.

Sampai di sini, sudah selesaikah peringatan kita? Belum! Karena sejatinya, peringatan Maulid Nabi memang bukan sekadar kegiatan seremonial rutinitas tahunan yang akan berlalu begitu saja tanpa menorehkan makna, perubahan (transformation), dan pencerahan (enlightment) terhadap pola pikir, sikap, dan akhlak umat untuk meneladani figur Muhammad. Momentum Maulid Nabi haruslah membekas secara nyata dalam memperbaiki horison akhlak masyarakat menuju umat yang terbaik dan terpuji (khaira ummah).

Nabi sendiri pun telah menegaskan bahwa dia diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (li utammima makarimal akhlaq). Muhammad memang teladan sejati bagi kita semua, karena keagungan pekertinya. Firman Allah SWT, "Dan sesungguh kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (Q.S. Al-Qalam [68]: 4)

Di tengah kondisi krisis keteladanan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sekarang, potret kehidupan Rasulullah memang patut dibumikan. Karena beliau adalah uswah hasanah (teladan yang baik), sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. Al-Ahzab [33]: 21, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." Tepat kiranya jika peringatan Maulid ini kita jadikan momentum dan starting point untuk memperbaiki diri, keluarga, dan membangun bangsa.

Sebagaimana kaum Syi’ah Fatimiyah (909-117 M) di Mesir dan Shalahuddin Al-Ayyubi (1099 M) , the great warrior of the Crusade (Perang Salib), memiliki tujuan dalam menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, saat ini dan di sini pun kelahiran Nabi diperingati bukan tanpa tujuan. Jika peringatan di Dinasti Fatimiyah cenderung bermuatan politis dan Shalahuddin membidik dimensi psikis-spiritual (yaitu memotivasi pasukan), maka di antara maksud dan tujuan Maulid sekarang adalah:

Pertama, menanamkan, memupuk, dan meningkatkan rasa mahabbah (kecintaan) kepada Rasulullah. Sebab, Rasulullah adalah junjungan (sayyid al-anam) dan panutan (qudwah) kita, serta rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin).

Kedua, menyegarkan kembali memori kita tentang Rasulullah SAW untuk diteladani, diikuti dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui peringatan Maulid Nabi, kita dapat mengingat, mengungkap dan memaknai kembali sebagian mutiara hidupnya untuk kita jadikan pelita dan kompas perjalanan dalam kehidupan; kini, besok, dan akan datang.

Ketiga, mewariskan mutiara sejarah hidup Rasul dan keteladanan beliau kepada anak cucu (generasi sekarang dan akan datang) untuk menjadi inspirator dan motivator mereka dalam menapaki kehidupan, merenda masa depan.

Keempat, sebagai salah satu media syiar dan dakwah Islam yang diyakini memberikan dampak positif terhadap keberagamaan masyarakat. Juga sebagai media peningkatan pengetahuan agama, keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Pada pokoknya, Maulid Nabi jangan hanya berhenti pada kegiatan-kegiatan seremonial semata. Namun, perlu ada upaya untuk menggali kembali sisi spiritual peristiwa tersebut untuk selanjutnya dimaknai secara kontekstual. Yaitu meng-up date kembali pemahaman kita tentang Rasulullah, dan yang terpenting adalah bagaimana kita meneladani sifat-sifat terpujinya dan mengonkritkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semoga.

Tulisan ini dipublikasikan di Harian Bernas Jogja, Jum'at 30 Mei 2007.




Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement