Kyai dan Godaan Politik Praktis

Dideklarasikannya PKNU pada 31 Maret 2007 di Ponpes Langitan Tuban menambah kesibukan baru
para kyai dan politisi di hampir seluruh wilayah (propinsi) dan cabang (kabupaten). Saat ini mereka tengah beramai-ramai mendeklarasikan PKNU di wilayah dan cabang masing-masing. Mereka adalah kyai-kyai ‘alumnus PKB’ yang nderekke (mengikuti langkah) kyai-kyai sepuh kubu Langitan. Namun, tidak sedikit pula kyai-kyai atau gus-gus baru yang selama ini belum pernah mencicipi ‘kue politik’, ikut terlibat di dalamnya.

Fenomena keterlibatan kyai dan para gus dalam politik praktis ini sebetulnya telah lama menjadi sorotan publik. Ada yang mendukung, ada pula yang mengecam. Bagi penulis, membincangkan kyai berpolitik dengan perspektif ‘boleh atau tidak’ tidak lagi relevan. Sebab, dalam sejarah NU kyai sudah sering berkiprah bahkan intens di perpolitikan Indonesia. Karenanya, dengan segala rasionalitas yang diusungnya, biarlah mereka ‘berdakwah’ dengan jalur yang dipilihnya, termasuk politik.

Kita percaya dan husnuzhan (positive thinking), keterpanggilan kyai ke politik adalah bertendensi pada rasionalitas logis teologis. Bukan karena ambisi materi, hegemoni massa, atau kemaruk kekuasaan. KH. Ma’ruf Amin, salah seorang Rais Syuriah PBNU sekaligus bidan PKNU pernah menyatakan, Ulama dan politik tak bisa dipisahkan, seperti ikan dengan air. Karena ulama tidak hanya bertanggungjawab secara keagamaan, namun juga keumatan dan kebangsaan.

Apa yang disampaikan kyai Ma’ruf ini tidaklah salah. Hanya saja, ada beberapa prasyarat penting yang harus dipenuhi oleh para santri dan kyai sebelum memutuskan ‘berselingkuh’ dengan politik (dengan basis partai apa pun):

Pertama, kompetensi personal, yakni integritas moral dan kemampuan untuk memainkan teater ungguh di panggung politik secara santun dan baik. Sebagai renungan, mampukah mereka (menjaga diri) dalam berkompetisi di dunia politik praktis yang profan, korup, arogan, oportunis, dan penuh muslihat serta agitatif itu?

Terkait hal ini, nampaknya kita perlu merefleksikan apa yang pernah disampaikan Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) dalam sebuah mauizah hasanah. Kyai yang terlibat dalam politik praktis sekalipun memiliki niat baik-bersih akan menghadapi situasi “betapa brengseknya politik di Indonesia”. Begitu kotornya politik di Indonesia sehingga sulit dibersihkan hanya dengan seperangkat niat dan teori untuk membuat politik Indonesia lebih bermoral dan mengarahkan orientasinya untuk kepentingan kesejahteraan secara luas (Koirudin: 2005).

Hancurnya kredibilitas lembaga kyai karena terlilit stigma negatif politik praktis, menurut kyai Ma’ruf, karena yang terjadi selama ini adalah ‘kyai politik’ (kyai yang mengikuti kehendak partai atau politisi), bukan ‘politik kyai’ (partai dan politisi yang nderekke bimbingan kyai). Pernyataan kyai Ma’ruf ini tidak serta merta tak menyisakan kontroversi. Sebab, beberapa partai Islam lain juga masih kukuh ngugemi (mentaati dan memosisikan tinggi) para kyai sepuh mereka. Sebut saja PPP yang memiliki KH. Maimoen Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amwar Karangmangu Sarang Rembang. Beliaulah acuan dan panutan langkah partai. Jadi, pernyataan kyai Ma'ruf Amin tidak bisa digeneralisasi untuk semua partai Islam, tetapi cenderung sentimental kepada 'rumah lamanya', PKB.

Kedua, perlu dipertimbangkan pula stabilitas dan konsistensi kyai sebagai cultural broker (makelar budaya) dan pencerah umat. Apakah keterlibatannya dalam politik akan membawa transformasi yang berarti bagi kesejahteraan dan kedamaian umat, atau malah sebaliknya menyeret umat ke dalam kegersangan dan ketegangan yang berkelanjutan?

Sebagai teladan umat (uswah hasanah), kehadiran kyai tentu sangat diharapkan dapat memberikan belaian damai dan siraman sejuk bagi kehidupan. Namun, fakta empiris seringkali menunjukkan pemandangan berbeda. Politik praktis acapkali membuahkan konflik atau ketegangan antarpartai bahkan juga antarkyai.

Rivalitas para kyai ini, disadari atau tidak, sebetulnya sangat tidak menguntungkan bagi masa depan NU sebagai jam’iyah, jama’ah, maupun nahdlah. Sebab, umat pula yang akan menjadi korban. Seperti ayam kehilangan induknya, mereka pun akan bingung dan sedih karena kehilangan kesejukan dan kedamaian. Kyai yang diharapkan menjadi makelar budaya dan penyemai kedamaian ternyata malah terbuai dengan game-game politik yang cenderung bersifat arogan dan agitatif.

Sementara itu keterlibatan pengurus NU dalam politik juga memunculkan pertanyaan, apakah perselingkuhannya dengan gadis cantik yang bernama politik akan meningkatkan peran dan kontribusinya kepada NU, atau malah sebaliknya?

Sayangnya, realitas sejarah per-NU-an mengindikasikan adanya ketercerabutan intensitas pengabdian pengurus NU yang berpolitik. Bisa jadi institusi NU dijadikan sekadar kendaraan yang menghantarnya ke arena yang lebih mengasyikkan, yaitu politik kekuasaan. Akibatnya, NU mandul. Politiklah yang akan mewarnai NU, bukan NU yang diperjuangkan dalam berpolitik. Relasi antarpengurus tak lagi bisa dijamin kesolidannya. Eksesnya, tidak sedikit program-program sosial keagamaan NU yang termentahkan.

Terkait hal ini, perlu kiranya ditegaskan kembali (reafirmasi) independensi NU dalam berpolitik sebagaimana amanat Khittah 1926. Dengan demikian partai apa pun hendaknya mandiri, tidak meminjam atau menyeret nama besar NU untuk memobilisasi massa. Penulis yakin, saat ini rakyat lebih rasional dalam menentukan pilihan, bukan lagi terikat budaya patron-klien antara kyai dan masyarakat santri.

Ketiga, kompetensi profesional. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “jika suatu perkara ditimpakan (dibebankan) kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancuran.” Pun demikian dalam berpolitik, hadis Nabi ini perlu juga dipertimbangkan oleh siapa saja termasuk para gus dan kyai.

Tiga prasyarat ini akhirnya akan bermuara pada pemulangan kembali para kyai dan gus ke pangkuan umat sebagai cultural broker, penyemai kedamaian, dan pengawal moral masyarakat. Ironis sekali jika sampai muncul ungkapan, “Pak kyaiku kini lebih betah di kantor partai dan gedung dewan ketimbang di rumah membimbing anak istri, atau di pesantren membangkitkan potensi keilmuan para santri, atau di masjid menyejukkan umat dengan rutinitas jamaah dan penyelesaian problem-problem sosial keumatan.”

Karenanya, tanggung jawab keagamaan, keumatan, dan kebangsaan, sebagaimana dituturkan KH. Ma’ruf Amin, haruslah berjalan integral dan komprehensif, tidak separatis apalagi lebih berpihak ke ‘tanggung jawab’ politik.

Sumber Gambar

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement