Media massa adalah sarana yang sangat potensial memproduksi dan menyebarluaskan makna sosial, atau dengan kata lain, media berperan besar dalam menentukan makna dari kejadian-kejadian yang terjadi di dunia untuk budaya, masyarakat atau kelompok sosial tertentu.
Didukung oleh kekuatan bahasa, media dapat menjadi agen perubahan wacana, termasuk persoalan gender. Sebagai agent of change, media dituntut kontribusinya dalam mengarusutamakan gender (gender mainstreaming). Usulan yang banyak beredar mutakhir ini adalah agar media tidak menggunakan bahasa yang seksis, yaitu bahasa yang merepresentasikan laki-laki dan perempuan secara tidak setara di mana anggota kelompok seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hak-haknya daripada anggota kelompok seks yang lain. (Linda Thomas and Shan Wareing: 1999)
Mempertautkan perempuan dengan media massa merupakan satu hal yang menarik, sebab kedua entitas itu memiliki posisi eksistensial yang berbeda, tetapi senyatanya saling membutuhkan. Berbeda karena perempuan lebih banyak terposisikan sebagai entitas yang dikonstruksi, sedangkan media massa lebih banyak mengkonstruksi kehidupan, termasuk dunia perempuan.
Dikatakan saling membutuhkan, karena perempuan bisa terbantu oleh media untuk mendapatkan hak-hak mereka untuk mengetahui (the right to know) dan hak-hak untuk mengekspresikan (the right to expression) segala hal yang hendak mereka bentuk. Begitu pula sebaliknya, media massa membutuhkan keterlibatan perempuan untuk memproduksi dan mereproduksi informasi yang akan ditebar ke tengah publik.
Sebagai produsen teks dan informasi, media bebas menentukan apa pun yang ingin diinjeksikan kepada masyarakat, sehingga sistem pengetahuan mereka dapat dikonstruk sebagaimana preferensi nilai dan "ideologi" media itu sendiri. Secara ekstrim dapat dimetaforkan, bahwa darah itu faktanya adalah merah, akan tetapi media massa dengan posisinya yang otoritatif dapat saja mengkonstruk darah itu putih atau hitam.
Di sinilah media dihadapkan pada dua pilihan; menyerah dan pasrah pada tekanan eksternal (kekuatan politik, pemilik modal, pemasang iklan, dan kekuatan eksternal lain), atau tetap mempertahankan independensi dan otonominya untuk mengarusutamakan gender.
Memilih yang pertama jelas tidak mungkin, sebab media juga ingin menjadi dirinya sendiri yang otonom dan independen. Mengabaikan yang pertama pun juga tidak mungkin, sebab demi eksistensi dan keberlanjutan media harus mempertimbangkan pula imaji, mitos, kepentingan, tuntutan masyarakat dan tekanan pihak lain. Akibatnya, tidak sedikit media yang bermuka dua. Satu sisi berusaha otonom, namun di sisi lain juga mempertimbangkan desakan dan tuntutan publik.
Banyak sebetulnya keluhan dilontarkan perempuan mengenai penggambaran sosok perempuan di media massa. Salah satunya digambarkan oleh hasil kampanye Campaign for Real Beauty yang diadakan Dove. Perempuan Indonesia yang disurvei dalam kampanye internasional tersebut menginginkan penggambaran yang lebih mendekati realitas dibandingkan dengan penggambaran saat ini, yaitu mencitrakan perempuan berkulit putih, langsing, sensual, dan cantik dalam arti sempit.
Di media, perempuan lebih dimunculkan sebagai obyek seksual laki-laki yang berarti perempuan dikonstruksikan sebagai korban dan sebagai obyek yang dikasihani. Hak dan perlindungan bagi perempuan diabaikan, sementara pemberitaan lebih bersifat sensasi dan mengkriminalkan perempuan. (Ninuk MP: 2005)
Kita masih ingat betul tragedi seorang paman yang ‘burungnya’ dipenggal habis oleh ‘pacarnya’ yang tak lain adalah keponakan sendiri di daerah Klaten, Jawa Tengah. Berita tentang kasus ini jelas marketable bahkan laris manis. Dengan otoritas yang digenggamnya, media berkuasa menyajikan realitas itu dari perspektif mana pun yang mereka mau; apakah menyuguhkan berita yang cenderung advokatif terhadap perempuan yang tengah kalut dan putus asa karena sang paman tak bertanggung jawab atas benih yang disemaikan ke rahimnya, atau justru mengkriminalkan perempuan tersebut yang telah memotong alat vital pamannya.
Ironisnya, dalam kasus ini, media lebih bersemangat mengekspos tragedi tersebut sebagai sesuatu yang sensasional dan cenderung mengkriminalkan perempuan ketimbang mencerahkannya supaya tahu hak-hak advokatifnya ketika menjadi korban seksual laki-laki. Karena ketersudutan dan ketidaktahuan perempuan atas hak-hak advokatifnya, akibatnya mereka memilih bungkam bahkan pasrah dan menyerah dengan posisinya yang selalu dijadikan objek penderita atau korban.
Dengan kemampuan media seperti itu, maka dapat dinyatakan bahwa pemahaman masyarakat tentang perempuan sebagian di antaranya adalah produksi dan reproduksi media massa. Karena itu, media harus turut bertanggung jawab dengan semakin kukuh dan lestarinya bangunan mitos gender yang mendudukkan perempuan di sudut-sudut sosial sebagai konco wingking sekaligus penanggung jawab utama wilayah dapur, sumur, dan kasur. Sementara laki-laki didudukkan sebagai penguasa yang bebas berbuat dan memberi titah apa pun kepada objek kekuasaannya, yaitu perempuan.
Dengan kata lain, cita-cita emansipatoris dan gender mainstreaming akan mencapai hasil gemilang jika media massa secara bersama-sama dan sungguh-sungguh ikut serta membangun citra perempuan yang berkesetaraan dan berkesejajaran. Namun demikian, tidak fair kalau perjuangan kesetaraan gender ini hanya dipikulkan kepada media massa. Sebab, masih banyak institusi lain yang dituntut juga bertanggung jawab memperjuangan emansipasi ini semisal pemerintah, partai politik, agama, dan kaum perempuan sendiri.
Sumber Gambar
Post a Comment