Buku Tunjukkan Karakter Bangsa


Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, dan pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, atau mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. [Barbara Tuchman, 1989]

Sementara itu, sejarawan Ceko, Milan Hubl, pernah mengatakan, langkah pertama menaklukkan sebuah bangsa adalah dengan merusak ingatannya. Musnahkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu, perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, bangsa itu pasti akan lupa pada masa kini dan masa lampaunya.

Leluhur bangsa Indonesia juga menciptakan ungkapan fantastik, ‘membaca adalah kunci ilmu, sedangkan gudangnya adalah buku’. Ungkapan ini menggambarkan betapa berartinya sebundel kertas yang bertorehkan tulisan bagi kehidupan manusia. Buku tidak hanya menjadi kekuatan yang mampu mengubah suatu bangsa menjadi lebih baik, namun buku juga bisa membuat suatu bangsa seperti dikatakan Hubl, hilang ingatan, lupa sejarah dan budayanya, bahkan kehilangan karakter dan identitas luhur bangsanya.

Rating Membaca
Data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2003 menggambarkan, penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11%. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 44,28%, dan yang membaca buku pengetahuan lainnya hanya 21,07%.

Bahkan dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat membaca bisa dibilang stagnan. Hanya naik sekitar 0,2%, jauh jika dikomparasikan dengan menonton televisi yang kenaikannya mencapai 21,1%. Sementara data BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi sebanyak 85,9%, dan mendengarkan radio sebanyak 40,3%.

Hasil statistik di atas menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum mentradisikan baca sebagai sumber utama mengais informasi. Tak perlu kita bandingkan dengan negara maju, dengan sesama negara berkembang saja minat baca masyarakat kita masih tergolong rendah. Mereka lebih doyan menonton televisi dan atau radio sebagai sumber informasi ketimbang buku atau media baca lain.

Laporan Bank Dunia No 16369-IND (Education in Indonesia from Crisis to Recovery), mengutip hasil Vincent Greannary tahun 1998, menyebutkan bahwa tingkat membaca anak-anak usia kelas VI sekolah dasar di Indonesia masih rendah, hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Lebih ironis, jangankan persoalan rating membaca, data Depdiknas tahun 2004/2005 menunjukkan sekitar 15,5 juta atau 9,2% penduduk dewasa (di atas 15 tahun) bahkan masih belum melek huruf.

Kondisi seperti inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, mengapa minat baca bangsa kita rendah, serta bagaimana strategi jitu untuk menumbuhkan minat baca mereka? Primanto Nugroho (2000) dalam penelitian kualitatifnya tentang minat baca memaparkan rendahnya minat baca disebabkan membaca merupakan kegiatan orang yang memiliki banyak waktu luang. Sementara orang Indonesia waktunya lebih banyak tersita untuk bekerja demi mempertahankan hidup dan meningkatkan kesejahteraan.

Barangkali harga buku juga ikut andil menjadi trigger factor rendahnya tingkat membaca masyarakat kita. Tampilan fisik buku yang sangat luks dan eksklusif, biasanya tidaklah murah. Harga yang relatif tinggi tentu menjadi hambatan masyarakat kelompok menengah ke bawah untuk menjangkaunya. Jika ini faktanya, tentu membaca tidak bisa lagi dianggap memecahkan persoalan tapi justru melahirkan persoalan baru.

Dari ini timbul pertanyaan, golongan masyarakat manakah yang memberi kontribusi terbesar rendahnya tingkat membaca di Indonesia, sehingga patut dipersalahkan? Apakah para workaholic yang tak pernah mau meluangkan waktu untuk membaca? Ataukah penduduk miskin yang tak pernah terbesit dalam hatinya untuk membeli buku karena disibukkan mencari makan? Ataukah lembaga penerbit yang cenderung profit oriented sehingga mengabaikan peran utamanya sebagai pencerah bangsa? Atau mungkin pemerintah yang tak banyak memberikan atensi kepada persoalan ini?

Tiga tahun yang lalu di sebuah surat kabar harian nasional, Agus M Irkham menulis artikel "Minat Baca Rendah, Siapa Salah?". Dia menuding golongan educated (pelajar, guru, mahasiswa, dosen, dan golongan mapan) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menaikkan rating membaca di Indonesia. Sebab menurutnya, golongan ini relatif mampu membeli buku dan memiliki waktu senggang untuk membaca.

Buku Sebagai Menu
Kita kurang menyadari bahwa rendahnya minat baca membawa ekses negatif yang tidak kecil. Banyak contoh akibat kurang cintanya masyarakat terhadap buku. Mereka cenderung terpesona dengan budaya pop yang kerap menjerumuskan pada tindakan-tindakan seperti vandalisme, tawuran, narkoba, dan tindakan-tindakan lain yang merusak fisik maupun jiwa.

Momentum Hari Buku Nasional 17 Mei ini, kiranya tepat kita jadikan titik tolak bangkitnya budaya baca masyarakat Indonesia agar terwujud bangsa yang berperadaban, berkarakter, dan maju, sebagaimana Hubl memberi warning betapa dahsyat pengaruh buku terhadap keberlanjutan nasib suatu bangsa. Tak berlebihan jika World Book Day (Hari Buku Sedunia) 23 April lalu mengambil tema ‘Buku untuk Perubahan’.

Buku hendaknya bisa menjadi menu, bukan hanya sekadar pengantar tidur. Untuk itu dibutuhkan kerja sama dan komitmen semua pihak; pemerintah, penerbit, dan masyarakat sebagai penikmatnya. Pemerintah harus mampu mendorong dan memfasilitasi kebutuhan buku masyarakat melalui ketersediaan pustaka di perpustakaan daerah, perpustakaan keliling, maupun saung baca atau desa buku.

Sedang bagi penerbit, hendaknya misi pencerahan lebih diutamakan daripada misi keuntungan yang melambungkan harga produknya (buku) sehingga sulit dijangkau masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Sementara itu, masyarakat juga dituntut kesadaran dan komitmennya untuk menjadikan buku sebagai menu.

Sudah masanya buku diselipkan sebagai kebutuhan primer di antara daftar-daftar belanja lain. sehingga, masing-masing keluarga nantinya memiliki koleksi buku yang tersusun rapi dalam perpustakaan pribadi atau keluarga. Komitmen Desiderius Erasmus nampaknya patut kita tiru, "Kalau ada uang sedikit, saya beli buku, kalau masih ada sisanya, saya beli makanan dan pakaian."

Di sebuah surat kabar harian lokal Yogyakarta beberapa bulan lalu, penulis menemukan artikel menarik tentang buku. Gagasannya sederhana, namun padat makna. Penulis artikel tersebut mengusulkan perubahan konsep arisan yang selama ini menggunakan uang sebagai pasokannya, beralih kepada buku sebagai pasokan (iuran) utamanya. Lagi-lagi, golongan educated-lah yang mesti menjadi pionirnya. Selamat Hari Buku Nasional!

-----------------------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Harian Suara Merdeka pada Jum'at, 18 Mei 2007.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement