Masalah lingkungan hidup nampaknya masih menjadi isu sentral dalam beberapa dekade terakhir. Di Indonesia masalah ini juga mengemuka bahkan kian pelik. Di antaranya menyangkut rendahnya kesehatan lingkungan (environmental health), lemahnya pelestarian lingkungan (environmental conservation), dan isu-isu pengelolaan lingkungan (environmental sustainability) yang berkesinambungan.
Meski usia bumi masih tergolong muda untuk sebuah planet --kebanyakan ilmuwan mengestimasikannya enam miliar tahun--, planet hijau ini sudah tampak ringkih, penyakitan, dan tidak nyaman lagi untuk dihuni. Penyebabnya, beragam polutan telah mencemarinya sehingga tanah kehilangan kesuburan, udara kehilangan kesegaran, dan air tak lagi menunjukkan kejernihan. Apalagi pemanasan global juga menjadi ancaman.
Keadaan serupa tak terkecuali juga terjadi di Indonesia. Kondisi lingkungan terutama kualitas air dan udaranya juga semakin mengkhawatirkan. Manusia, hewan, dan tumbuhan jelas akan terganggu kehidupannya jika air dan udara tak lagi sehat (tercemar), bahkan akan mati jika keduanya tiada.
Secara umum, ketidaksehatan atau ketercemaran lingkungan disebabkan oleh dua sumber utama, yaitu alamiah dan insaniah. Yang pertama tentu tidak dapat kita kendalikan, sebab merupakan bagian dari otoritas Tuhan. Sementara yang kedua dapat kita kendalikan, karena melibatkan aktivitas dan kesadaran manusia.
Faktor kedua inilah yang menjadi penyebab utama degradasi kualitas air kita saat ini. Misalnya, perusakan hutan, pembalakan liar, dan pembuangan limbah rumah tangga maupun industri tanpa pengolahan terlebih dahulu. Sementara dalam pencemaran udara, penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, kurang lebih 70% disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor, yaitu zat-zat berbahaya semisal oksida nitrogen, hidrokarbon, karbon monoksida, dan oksida fotokimia.
Kontribusi negatif sektor industri, transportasi, dan rumah tangga, juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Tengok saja beberapa usaha industri di negeri ini yang menuai gugatan, kecaman, dan aksi unjuk rasa masyarakat akibat pencemaran yang dilakukan. PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), PT. Kelian Equatorial Mining (KEM), dan PT. Freeport Indonesia (FI), misalnya.
Kenyataan inilah yang menuntun kita pada sebuah kesimpulan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia cenderung mengarah kepada industrialisasi yang mengabaikan eksistensi dan keberlangsungan lingkungan. Akibatnya, komunitas-komunitas yang tinggal di sekitar kawasan industri selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Mereka dipaksa hidup dengan air, udara, dan tanah yang telah tercemar akibat pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Sebenarnya yang bisa kita andalkan untuk mengatasi problem-problem tersebut adalah hutan. Sayangnya, hutan yang diharapkan dapat menjadi paru-paru dunia dan penyedia sumber air yang andal juga mengalami kondisi sakit akibat oportunitas dan arogansi manusia yang cenderung destruktif. Hijau hutan menjadi pudar. Penggundulan (deforestasi) pun terus terjadi, bahkan dengan kecepatan yang luar biasa.
Data yang dilansir kementerian kehutanan menyebutkan, kerusakan hutan di Indonesia saat ini telah mencapai 55 juta hektare atau hampir 50% dari total hutan di Indonesia. Jika ini dibiarkan, bukan mustahil sembilan atau sepuluh tahun ke depan hutan Indonesia akan habis. Dampaknya, secara ekonomis kita akan kehilangan kekayaan yang luar biasa. Dampak lain yang tak kalah mengerikan adalah bencana alam semisal banjir bandang dan tanah longsor.
Kesadaran Lingkungan
Konferensi PBB di Stockholm Swedia 5 Juni 1972, merumuskan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Indonesia yang diwakili Prof. Emil Salim --saat itu Kepala Bappenas-- turut menyepakati dan berkomitmen mewujudkan rumusan tersebut. Komitmen ini kini semakin kukuh dengan adanya kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs), yakni butir ketujuh tentang usaha menjaga dan melestarikan lingkungan.
Sayangnya, kedua komitmen tersebut baru sebatas simbolik atau komitmen semu yang tidak disertai kesadaran hakiki untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Kesadaran merupakan kunci utama penanganan persoalan-persoalan lingkungan. Karenanya, harus ditumbuhkembangkan dan diteguhkan dalam diri setiap manusia. Tanpa kesadaran, peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia setiap 5 Juni hanya akan menjadi seremoni tanpa arti.
Kesadaran individu akan memaklumkan manusia tentang relasinya dengan alam dalam bingkai etika, yakni etika lingkungan. Sementara kesadaran pemerintah akan melahirkan keteguhan tekad dan kemauan (political will) untuk menyelamatkan lingkungan.
Ada beberapa penyebab yang menjadikan manusia kurang memahami etika lingkungan. Di antaranya, karena keserakahan menguasai sektor-sektor ekonomi, ketidaktahuan bahwa lingkungan membutuhkan keselarasan dengan semua kehidupan dan materi yang ada disekitarnya, atau karena telah terjadi transaksi jiwa antara manusia dengan Mephistopheles. Ketiadaan kesadaran ini membawa manusia ke puncak-puncak nafsu untuk memperlakukan lingkungan secara arogan dan menguasainya secara bebas tanpa batas.
Etika lingkungan hidup menekankan bahwa, manusia bukanlah pusat alam semesta (antroposentris), melainkan bagian dari alam (antropocosmic). Sebagai bagian dari alam, manusia mesti membangun harmoni dan menyadari bahwa kerusakan lingkungan akan berakibat pula pada terganggunya kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Terkait political will, kita berharap dana Rp 4,2 triliun yang dianggarkan pemerintah untuk rehabilitasi hutan tahun ini benar-benar digunakan untuk merealisasikan target kerjanya, yaitu merehabilitasi minimal 2 juta hekatare hutan per tahun. Jika harapan itu terwujud, tanpa dinodai korupsi dan perilaku-perilaku yang tidak profesional, maka dalam tempo 27 tahun program rehabilitasi tentu akan terselesaikan.
-------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Koran Merapi (Jogja) pada Selasa, 5 Juni 2007.
Sumber Gambar
Post a Comment