Menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) memiliki risiko tinggi, sebab hampir selalu karib dengan kekerasan, pelecehan seksual, penindasan, dan penganiayaan yang dilakukan majikan. Tak cukup itu, bahkan ketika masih di Tanah Air (sebelum berangkat ke luar negeri) atau sekembali dari luar negeri mereka dihadapkan pula dengan beragam pemerasan yang mewujud dalam pungutan liar.
Mereka bukan tidak tahu
dengan risiko itu. Tapi, karena desakan ekonomi dan tuntutan hidup, maka
menjadi TKI adalah solusi instan sekaligus tawaran menggiurkan, setelah negara
mereka sendiri (Indonesia) tidak lagi mempesona karena tak bisa menyejahterakan
hidup mereka.
Derita TKI seakan tak
pernah menemukan titik henti. Di setiap tahun bahkan di setiap putaran waktu,
bangsa Indonesia selalu disuguhi berita penganiayaan, pemerkosaan, gaji yang
tak terbayarkan, bahkan juga kematian misterius warga negaranya yang tengah
mengais rizki menjadi TKI.
Tragedi Ceriyati binti
Dapin, pembantu rumah tangga (PRT) asal Brebes Jawa Tengah, adalah kasus yang
tengah menghangat saat ini. Ia nekat kabur dari kondominium Tamarind Lantai 15,
Sentul, Kuala Lumpur karena tidak tahan dipukuli majikannya, dan selama lima
bulan bekerja ia juga tidak pernah mencerap nikmatnya gaji.
Belum surut kasus Ceriyati,
kita dikejutkan lagi dengan kepulangan Atikah Manaf, TKI asal Bogor Jawa Barat,
dari negeri jiran Malaysia. Atikah pulang dalam keadaan tak lagi bernyawa.
Kematian yang misterius! Tapi anehnya, pemerintah terkesan tutup mata dengan
kematian warganya ini; tidak ada perlindungan, bantuan, atau juga pembelaan.
Begitu pula sang majikan, gampang sekali cuci tangan. Lebih menyedihkan, sisa
gaji sebesar Rp 10 juta juga tidak diberikan. (Fokus Pagi Indosiar, 20/6)
Sebelumnya, dua TKI di
Amerika juga kabur dari tempat kerjanya setelah dikurung dan disiksa selama
lima tahun di Long Island, New York. Cerita mengenaskan juga dialami Yamariah,
TKI asal Purworejo, Jawa Tengah. Setelah satu tahun bekerja ia hanya dibayar 6
bulan, dengan nilai 300 dolar Singapura per bulan. Tak hanya itu, Yamariah juga
kerap diperlakukan kasar oleh sang majikan.
Sungguh ironis, bukan hanya
kekayaan alam kita yang dikuras habis oleh pihak asing, tapi manusianya juga
diperlakukan secara aniaya. Entah sudah berapa deret nama anak bangsa yang
menjadi korban kekerasan dan ekploitasi di mancanegara.
Pertanyaan bernada kesal
pun muncul; mana perhatian, kepedulian, dan tanggung jawab pemerintah terhadap
nasib TKI? Bukankah selama ini mereka nyata-nyata telah membantu negara
(pemerintah), bukan hanya sebagai ‘pahlawan devisa’ tapi juga mengurangi
pengangguran di negeri ini yang semestinya menjadi tanggung jawab negara.
Data Depnakertrans tahun
2006 menyebutkan, perolehan devisa dari pengiriman TKI mencapai tak kurang dari
Rp 364.044.194.696 dengan jumlah TKI sebanyak 100.224. Jika pada masa-masa
mendatang pemerintah bisa “mengekspor” TKI dengan jumlah lebih besar, maka
negara akan menangguk devisa lebih besar pula. Beginilah ironi sebuah negeri
“pengekspor TKI”.
Hentikan Ekspor TKI
Ironis
memang, meski negara telah mengeluarkan banyak peraturan berkait dengan TKI,
semisal Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja No 02/Men/1994, Keputusan
Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No 44/Men/1994, dan Kepmenaker No
204/Men/1999, tapi nyatanya persoalan TKI terus terjadi.
Wajah oportunis negara
(pemerintah) jelas terlihat manakala mereka disuguhi deretan angka devisa buah
keringat TKI di luar negeri. Pemerintah bangga dan menyanjung TKI sebagai
“pahlawan devisa”. Tapi, pemerintah abai dengan hal terpenting yang lebih
dibutuhkan TKI dari sekadar sanjungan, yaitu perlindungan kenyamanan kerja.
Anehnya, masalah proteksi
atau perlindungan justru diserahkan kepada individu TKI. Pemerintah baru akan
bertindak dan sibuk menjadi ‘pahlawan kesiangan’ ketika persoalan TKI sudah
mencuat ke tengah publik menjadi kasus yang serius.
Pemerintah semestinya
sadar, setiap kasus yang selalu menjadikan TKI sebagai tumbalnya sebenarnya
merupakan pameran kemiskinan bangsa ini. Juga sebuah pertunjukan
ketidakberdayaan pemerintah melindungi rakyatnya. Pemerintah selalu terlambat
bertindak dan lalai mengantisipasi. Pun agen-agen tenaga kerja, ibarat pepatah
habis manis sepah dibuang, mereka selalu cuci tangan setelah menerima uang
jasa.
Masih ingat Nirmala Bonat?
Hampir tiga tahun kasusnya teronggok sia-sia di pengadilan Malaysia. Sampai
detik ini pengadilan Malaysia belum mengetukkan palu vonisnya untuk pelaku. Ini
menjadi bukti bahwa kondisi kerja dan perlindungan terhadap TKI benar-benar
sangat buruk.
Ketua BNP2TKI (Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Jumhur Hidayat
mengancam akan menghentikan pengiriman TKI jika tragedi serupa masih terjadi.
Seriuskah ancaman Jumhur ini? Belum tentu, sebab sebelumnya Jumhur juga pernah
berjanji melindungi bahkan menaikkan gaji TKI, tapi janji itu bombastis alias
bualan yang tidak pernah terbukti.
Mengapa harus menunggu
jatuh korban lagi untuk menghentikan pengiriman TKI? Belum cukupkah tragedi
Ceriyati, Atikah, dan sederet kasus serupa yang mendahului, dijadikan pelajaran
untuk introspeksi bahwa pemerintah benar-benar telah gagal memproteksi dan
memberi advokasi TKI?
Jika masih mempunyai rasa
malu, semestinya pemerintah tak perlu lagi mengirim TKI ke luar negeri. Dengan
konsekuensi, pemerintah harus berani menjamin kesejahteraan rakyat dengan
membuka lapangan kerja seluas-luasnya di dalam negeri, didukung gaji yang sama
pantasnya seperti di luar negeri.
--------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Koran Merapi pada, Sabtu 23 Juni 2007.
--------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Koran Merapi pada, Sabtu 23 Juni 2007.
Post a Comment