Namun, ironisnya, setiap tahun dan setiap berganti rezim, rakyat selalu dihadapkan pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan rupa-rupa kebutuhan pokok. Seakan menjadi ritual tahunan dan tumbal setiap rezim.Selepas dari jeratan harga beras yang melambung tinggi, kini giliran harga minyak goreng yang naik dengan amat liar. Di negeri yang memiliki produksi minyak sawit mentah (crude palm oil=CPO) terbesar dunia, rakyatnya justru teraniaya.
Perlu diketahui, pada 2006 produksi CPO Indonesia mencapai 16 juta ton. Kemudian disusul Malaysia dengan 15 juta ton. Hampir dua bulan krisis minyak goreng ini terjadi. Rakyat menjerit, terlebih pedagang kecil yang menyandarkan usahanya pada barang pokok ini. Minyak goreng yang biasanya diecer Rp 6.500 per kilogram sampai Rp 6.800 per kilogram, tiba-tiba melangit menjadi Rp 8.000-an per kilogram. Itu terjadi di hampir semua daerah, termasuk luar Jawa yang menjadi penghasil kelapa sawit.Pendewaan terhadap pasar bebas disebut-sebut sebagai penyebab melambungnya harga minyak goreng di dalam negeri. Dalam jumlah besar CPO dilarikan ke pasar internasional (ekspor), karena harga di pasar dunia saat ini lebih menggiurkan. Akibatnya, pasokan CPO di pasar domestik menipis, dan dampak yang paling terasa adalah harga minyak goreng meroket tak terkendali.
Pemerintah tak berdaya
Lebih ironis, pemerintah kita tidak punya cukup wibawa untuk mengendalikan berbagai harga komoditas yang kita produksi sendiri. Pemerintah tidak punya strategi menyejahterakan rakyat dengan kekuatan yang dimiliki. Selama hampir dua bulan, pemerintah seperti kehilangan taring. Pemerintah seolah tak berdaya menghadapi tekanan mekanisme pasar. Pertemuan SBY dengan para pengusaha beberapa waktu lalu tak banyak berarti. Operasi pasar (OP) pun tak banyak memperbaiki keadaan. Meski sudah digelar selama hampir satu bulan, harga minyak goreng tetap saja menggila di kisaran Rp 8.000-an per kilogram. Bahkan di beberapa daerah, seperti Palu, Sulteng, harga minyak goreng curah semakin ekstrem di kisaran Rp 9.000 sampai Rp 10.000 per kilogram.
Wajah ironi semakin bertambah manakala PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang notabene merupakan BUMN pun terkesan kurang memiliki geliat untuk membantu secara serius memperbaiki keadaan. Pada saat inilah, pengusaha dan produsen CPO dituntut memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat atau saudara se-Tanah Air. Bukan justru mencekik saudara demi menangguk keuntungan berlipat ganda.
Apabila sampai akhir bulan ini harga minyak goreng masih liar, pemerintah telah menyiapkan instrumen fiskal lain yang diharapkan dapat menurunkan harga minyak goreng di pasar domestik. Instrumen fiskal tersebut adalah menaikkan pajak ekspor (PE) CPO dari 1,5% menjadi 6,5%. Namun, pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengeluarkan instrumen ini. Sebab, tidak menutup kemungkinan akan memunculkan masalah baru yang tak kalah pelik. Kenaikan PE justru akan menurunkan harga buah segar dari petani. Akhirnya, petani pula yang akan menanggung beban berat kalau PE dinaikkan. Atau, bisa juga, PE dibebankan kepada konsumen dengan menaikkan harga minyak goreng lebih tinggi lagi.
Alternatif jitu
Ketika OP tak banyak membantu, dan menaikkan PE justru membebani konsumen dan petani, subsidi minyak goreng sebetulnya dapat menjadi alternatif jitu. Tapi, yang disebut terakhir ini tampaknya mustahil dilakukan, sebab terkait dengan kemampuan dan kemauan pemerintah (political will) untuk mengeluarkan anggaran superbesar.Sering berulangnya kemelut kebutuhan pokok hendaknya menjadi pelajaran, bahwa Indonesia butuh sebuah sistem baku dan tegas yang mengatur ekonomi pasar agar pro rakyat. Sistem atau aturan ini bukan berarti pembelengguan terhadap kebebasan pengusaha untuk memasuki pasar global.
Barangkali ada baiknya pemerintah dan DPR membuat undang-undang pengendalian Sembako. UU itu berlaku mengikat untuk produsen, distributor dan pihak-pihak lain yang terkait. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan pasokan dalam negeri dengan harga yang relatif stabil. Lebih kukuh lagi jika UU tersebut disertai sanksi berat bagi para pembangkang.Kasus saat ini, yakni kemelut minyak goreng, tidak cukup diatasi dengan OP atau menaikkan PE, tetapi harus diikuti dengan pembatasan jumlah barang yang boleh diekspor oleh para pengusaha atau produsen CPO. Dinaikkannya PE tidak akan memalingkan pengusaha dan produsen CPO ke dalam negeri jika pasar internasional tetap lebih menguntungkan. Dengan membebankan PE kepada petani atau konsumen, mereka tetap akan lenggang kangkung di pasar dunia.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah tidak boleh bertekuk lutut pada mekanisme pasar. Pemerintah memang harus berani mengintervensi pasar untuk menstabilkan harga kebutuhan pokok. UU Pengendalian Sembako, di antaranya dengan pembatasan jumlah barang yang boleh diekspor, merupakan konkretisasi campur tangan pemerintah dalam upaya stabilisasi harga di pasar dalam negeri.Tidak ada yang keliru dengan UU tersebut, sebab tujuannya untuk menyelamatkan konsumen domestik dari belitan harga yang mencekik. Mungkin giliran pengusaha yang akan menjerit jika UU tersebut benar-benar ada. Sebab, sebagai unit bisnis, orientasi mereka adalah keuntungan. Padahal peluang keuntungan terbesar saat ini ada di pasar internasional.
Ketika seluruh upaya stabilisasi tidak membuahkan hasil memuaskan, pemerintah semestinya bisa lebih keras. Tidak hanya membatasi jumlah ekspor, melainkan jika mereka tetap membangkang, pemerintah berhak tidak mengeluarkan izin ekspor sebelum eksportir memastikan pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga lebih murah.Ini adalah alternatif jangka panjang.
Sementara dalam keadaan genting seperti saat ini, pemerintah harus melakukan tindakan cepat dan tepat menstabilkan harga di pasar lokal. Caranya, dengan memonitor langsung efektivitas OP; sudah membawa perubahan yang positif atau belum. Selain itu, dalam waktu dekat pemerintah juga harus bisa menekan PTPN agar menggelontorkan minyak goreng dengan harga lebih murah ke pasar rakyat. Ironis sekali jika PTPN yang notabene milik negara justru ikut terlibat dalam permainan pasar demi meraup keuntungan besar.
Pemerintah harus tegas dan berani menggiring semua yang terlibat dalam bisnis minyak goreng agar memprioritaskan kepentingan rakyat.Selain itu, terembus wacana pemerintah akan meluncurkan kebijakan alokasi wajib domestik (domestic market obligation). Para produsen CPO wajib menyisihkan 4 juta - 5 juta ton dari total produksi CPO nasional sebagai bahan baku minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri. Tapi, apakah kebijakan ini bisa menjamin para produsen patuh? Belum tentu!
----------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di harian Suara Karya (Jakarta) pada Jum'at, 15 Juni 2007.
Sumber Gambar
Post a Comment