Bagi nahdliyyin, sebutan warga NU, 16 Rajab 1428 H yang bertepatan dengan 31 Juli 2007
merupakan hari istimewa.Pasalnya, pada tanggal tersebut NU genap berusia 84 tahun sejak berdirinya pada 16 Rajab 1344 H bertepatan 31Januari 1926 M. Adalah KH Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, dan sederet kiai kenamaan lainnya, yang menjadi bidan kelahirannya.
Dalam catatan sejarah, NU memiliki peran strategis dalam membangun kekuatan keummatan (kerakyatan). Sayangnya,sejak tampil sebagai kekuatan politik praktis pada 1952, peran keummatan NU seamsal pencerdasan bangsa,peningkatan kesejahteraan dan perekonomian, serta sosial kemasyarakatan, menjadi terabaikan bahkan terlantarkan.
Pun, ketika berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973, agenda-agenda asasi NU (sosial kemasyarakatan dan keagamaan) menjadi teralienasi oleh agenda-agenda politik praktis yang sarat kepentingan. Beruntung, pada Muktamar NU di Situbondo (1984), para ulama dan kiai segera menyadari keluputannya yang telahabai pada persoalan-persoalan asasi nahdliyyin dan tenggelam dalam kubangan politik praktis. Dalam Muktamar itu,dirumuskan pentingnya kembali kepada agenda-agenda kultural (sosial kemasyarakatan dan keagamaan) yang dikenaldengan Khittah 1926. Dengan ruju' ila al-khiththah (kembali kepada Khittah 1926), diharapkan agenda-agenda asasi NU sebagai jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah (organisasi keagamaan dan sosial) yang menitikberatkan perannya pada pemberdayaan masyarakat di bidang sosial, dakwah, pendidikan, dan politik kebangsaan, kembali diprioritaskan.
Namun, seiring dibukanya keran reformasi 1998, harapan ini kembali termentahkan. Khittah NU diinterpretasi menurut selera masing-masing, termasuk para politisi NU untuk menyeret organisasi ini pada kepentingan politik sesaat mereka.Kita dapat menyaksikan, sejak Gus Dur maju dalam kontes perebutan kekuasaan di negeri ini hingga akhirnya dilengserkan, hampir semua kepengurusan NU tak lagi berkonsentrasi pada persoalan keumatan atau kerakyatan. Mereka lebih sibuk dengan tetek bengek politik yang tak menentu.
Pada Pemilu 2004, KH Hasyim Muzadi dan KH Salahuddin Wahid, juga ikut tersedot ke kancah politik praktis menjadi cawapres PDI-P dan Partai Golkar. Memprihatinkan, lagi-lagi agenda pemberdayaan masyarakat menjadi pudar. Semua jajaran pengurus NU kembali sibuk menjadi tim sukses capres-cawapres.
Kondisi mutakhir juga tak kalah parah. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dulu digadang-gadang sebagai partainyawong NU, juga terus mengalami keretakan akut. Diawali pemecatan Matori Abdul Djalil dan Abdulkhaliq Ahmad darikepengurusan PKB, disusul "pemecatan" Alwi Shihab dan Gus Ipul, hingga mencapai klimaks dengan hengkangnya para kiai sepuh (Forum Langitan) dari PKB Gus Dur dan mengibarkan bendera sendiri dengan juluk Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang dideklarasikan di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, 31 Maret 2007. Bahkan, isu paling gres mengabarkan adanya "gesekan" antara Cak Imim (Muhaimin Iskandar, Sekjen PKB) dengan Gus Dur selaku Ketua Dewan Syuro.
Syahwat Politik
Catatan di atas merupakan bukti bahwa, NU telah dibawa menjauh dari misi utamanya sebagai jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah. NU telah diseret ke dalam arus besar politik praktis tak terkendali, yang disadari atau tidak, arus ini telahmerubah mental nahdliyyin; dari mental nahnu (kita) ke ana (aku/ego), dari mental perjuangan ke mental proyek, dari dedikatif ke bisnis, dari keikhlasan ke pamrih, dari kerakyatan ke kekuasaan, dan seterusnya. Ini pun menjadi bukti tesisbahwa politik praktis adalah "musuh" utama NU dalam menyukseskan agenda-agenda keummatan dan kerakyatannya.
Ironisnya, politik praktis kini bukan lagi menjadi santapan khusus para jajaran NU struktural, melainkan telah merambahpula ke bilik para kiai kultural. Entah karena panggilan nurani untuk "berjuang", atau karena tak sangguplagi nderekke (mengikuti) langkah zig-zag Gus Dur, atau "marah" kepada PKB Gus Dur, atau karena kepentingan pribadi, para kiai kultural yang sebelumnya tidak mengenal politik kini pun berebut mencicipinya.
Akibatnya, masyarakat atau umat menjadi kehilangan sandaran. Agama dan politik bukan lagi menjadi pemersatu, tetapi pemecah persaudaraan. Umat dan agama akan diseret ke politisasi yang paling pragmatis. Jatuh ke jurang politik praktisyang paling nyata (real politics), yakni politik kekuasaan (power politics) atau politik rendahan (low politics).
Bahkan, Tuhan pun bisa dibawa-bawa dalam percaturan politik rendahan itu, dengan semangat yang serba sakral dan teosentrisme. Tidak tertutup kemungkinan secara politik pun akan berakhir anti-klimaks. Setelah pesta pora politik usai, umat tercerai-berai, dan ulama pun kian kehilangan pesona dan kharisma sebagai sosok pencerah.
Tapi, di balik kejadian politik yang memprihatinkan ini, setidaknya memberikan pelajaran berarti kepada masyarakat bagaimana menjadi manusia kritis dan melek politik. Khusus terhadap kiai, politik "memanusiabiasakan" atau mendesakralisasi kiai itu sendiri.
Civil Society
Meminjam analisis Laode Ida (Prisma, Mei 1995), setidaknya ada tiga faksi dominan yang muncul dalam dinamika internal NU. Pertama, faksi politik, yakni tokoh-tokoh NU yang menceburkan diri dalam politik praktis, di PKB dansebagainya, serta berebut pengaruh di kantong-kantong NU. Kelompok ini jelas tidak bisa diharapkan untuk mendukungNU sebagai civil society.
Kedua, faksi ulama atau kiai. Faksi ini, mencoba merekonstruksi peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat agar tetap setia kepada khittah 1926 dan memainkan peran-peran penting sebagai civil society. Kelompok inilah yang masih bisa diharapkan untuk meneguhkan NU sebagai civil society. Namun sayang, sebagian dari kelompok ini pun kini mulai tergoda oleh "kemolekan" politik.
Ketiga, faksi cendekia. Mereka ini adalah (1) kecuali memiliki ilmu pengetahuan agama (Islam) yang mendalam jugadisiplin atau keahlian tertentu yang diperoleh dari lembaga pendidikan umum, atau (2) mereka berasal dari lembagapendidikan pesantren dan perguruan tinggi yang secara fleksibel membuka diri mendalami ilmu selain agama, (3)mereka juga memiliki banyak gagasan yang secara terbuka dipublikasikan untuk kepentingan kalangan nahdliyinmaupun masyarakat umum, serta memiliki komitmen sosial yang tinggi. Generasi ini awalnya berada di bawah pengaruhkuat Gus Dur. Namun, setelah Gus Dur mulai berpaling ke politik, kelompok ini mulai kritis terhadap Gus Dur.
Dua faksi terakhir inilah yang masih bisa diharapkan independensi dan komitmen kerakyatannya seperti amanat Khittah1926. Dengan kukuhnya dua faksi tersebut, NU akan kian energik dalam gerakan-gerakan kulturalnya untuk memberikan pelayanan optimal tidak hanya kepada komunitasnya tetapi juga kepada bangsa ini.
-----------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di koran Surya pada Sabtu, 28 Juli 2007, dan di koran Pelita pada Senin, 30 Juli 2007.
Post a Comment