16 Rajab 1428 Hijriyah yang bertepatan dengan 31 Juli 2007 merupakan hari istimewa bagi
nahdliyyin, sebutan untuk warga NU. Pasalnya, pada 16 Rajab 84 tahun silam (tepatnya 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M), NU didirikan. Adalah KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisyri Syamsuri, dan sederet kiai kenamaan lainnya, menjadi bidan kelahirannya.
nahdliyyin, sebutan untuk warga NU. Pasalnya, pada 16 Rajab 84 tahun silam (tepatnya 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M), NU didirikan. Adalah KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisyri Syamsuri, dan sederet kiai kenamaan lainnya, menjadi bidan kelahirannya.
Peringatan hari lahir (Harlah) NU dengan pijakan almanak Islam (Hijriyah) memang tidak semeriah peringatannya di setiap 31 Januari. Tidak banyak kegiatan seremonial yang digelar, kecuali kegiatan-kegiatan kecil semisal pengajian, tahlil dan doa untuk founding fathers NU, serta halqah-halqah.
Selama 84 tahun (dalam hitungan Hijriyah) —atau 81 tahun dalam penanggalan Masehi— NU telah mencerap pengalaman kesejarahan yang amat kaya. Proses kristalisasi sejarah pun semakin mengukuhkan ormas terbesar ini sebagai sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani.
Dalam hal kebangsaan (wathaniyah), NU menaruh kepedulian dan komitmen yang tinggi. Komitmen itu ditunjukkan (di antaranya) melalui Muktamar NU di Banjarmasin 1936, Resolusi Jihad 1945, pengukuhan Kepala Negara RI sebagai waliyyul amri adl-dlaruri bi asy-syaukah (pemegang pemerintahan dlaruri dengan kekuatan dan kekuasaan), hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat Islam.
Sejarah emas yang ditorehkan NU patut menjadi acuan untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi NU di masa depan. Sayangnya, sejarah emas NU di bidang keumatan dan kerakyatan mulai memudar. Pengalaman buruk berpolitik sejak 1952-1984 kembali diulang. Persisnya, pascakeruntuhan Soeharto pada 1998, hampir seluruh pengurus NU (dari pusat sampai ranting) kembali berkubang ke ranah politik praktis, politik kekuasaan (power politics). Persoalan pendidikan, ekonomi, sosial, moral, kesejahteraan, dan sebagainya, terlantarkan. Kalaupun masih diperhatikan, itu hanya semu.
Peran Keulamaan
Secara linguistik, NU berarti kebangkitan ulama (nahdhatul ulama). Kebangkitan ulama tidak menunjuk individu dan institusi ulama, tapi kepada sistem dan orientasi keulamaan. Artinya, kebangkitan ulama harus sejalan kebangkitan masyarakat (nahdhatul ummah). Secara simplistik, NU didirikan untuk memberdayakan umat melalui tangan-tangan arif dan bijak para ulama.
Rais Am, Dr KH MA Sahal Mahfuzh, dalam pidato iftitahnya pada Munas dan Konbes NU 27 Juli 2006 di Surabaya, menegaskan, ulama adalah faqih fi mashalihil khalqi (memahami dan mengenal dengan baik kemashlahatan mahluk termasuk manusia). Mereka berfungsi sebagai motivator dan pemberi inspirasi terwujudnya kedamaian dan kemashlahatan.
Selain itu, ulama memengaruhi masyarakat untuk menumbuhkan dinamika yang tinggi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, di bidang material maupun spiritual. Dengan peran ulama inilah, NU berupaya sekuat tenaga menjaga kehormatan dan kemandirian bangsanya.
Karenanya, kemampuan dan kekompakan para ulama sebagai pendamping dan pembimbing umat betul-betul diperlukan. Para ulama diharapkan tidak menyeret atau melibatkan atribut-atribut NU ke dalam ranah politik praktis. Jika hal itu dilakukan, akibatnya bukan hanya akan mencabik-cabik sesama warga NU tetapi juga wibawa organisasi akan kehilangan pamor.
Lebih lanjut, Rais Am membeberkan, corak keagamaan dan watak kebangsaan NU belakangan ini mulai terganggu dengan banyaknya ulama NU terlibat dalam politik praktis, di tingkat nasional maupun regional. Padahal, peran ulama sebagai faqih fi mashalihil khalqi seharusnya menjadi pendorong dan pemberi arah dinamika politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ulama semestinya menjadi sumber inspirasi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.
Solid dan utuhnya bangsa ini ditandai dari solid dan bersatunya para ulama. Soliditas ulama ditandai solid dan utuhnya NU sebagai jam’iyah diniyyah ijtima’iyah (organisasi sosial keagamaan). Kehancuran bangsa ini pun dimulai ketika para ulama bercerai-berai dan sibuk memikirkan dirinya masing-masing. Akibatnya, umat menjadi kehilangan panutan, pedoman, dan uswah hasanah (teladan). Pada puncaknya, bangsa ini pun akan mengalami krisis orientasi nilai dan moralitas di berbagai bidang.
Penjarakan PolitikMeminjam istilah Azyumardi Azra, "penjarakan politik" (political disengagement) mutlak dilakukan untuk mensterilkan NU dari politik praktis, agar lembaga ini kembali kepada misi sentralnya sebagai jam’iyah diniyyah ijtima’iyyah. Ini tidak berarti NU harus tidak peduli dengan politik, apalagi "buta politik". Secara sederhana, penjarakan politik berarti menjaga jarak dengan politik kekuasaan (power politics), dan tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan politik kekuasaan dan day-today politics.
Political disengagement adalah pekerjaan yang tidak mudah, sebab sebagian besar elite NU di tingkat pusat sampai ranting masih memiliki syahwat politik yang amat besar. Ini dibuktikan adanya pertentangan pelik antara kubu kultural dan kubu politik di tubuh NU. Kubu politik berpandangan kemajuan atau kebangkitan NU tidak akan mungkin terwujud, kecuali melalui jalur politik (kekuasaan). Sementara kubu kultural tak kalah kukuh. Kubu ini berpendapat, NU akan bisa bangkit hanya bila mampu menjaga jarak dengan kekuasaan serta memprioritaskan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.
Alih-alih mereda, konflik antara dua kubu tersebut justru semakin tajam. Terlebih saat ini, kemunculan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) yang dikomandani para kiai sepuh (kiai khas, Forum Langitan) yang kecewa dengan PKB Gus Dur, semakin menyeret kubu kultural dan kubu politik dalam perseteruan yang tak berujung.
Sungguh memprihatinkan, jika NU terus berkutat di "mazhab politik" dan menomersekiankan "mazhab kultural", tidak mustahil agenda pemberdayaan civil society akan patah di tengah jalan.
Persoalan umat yang paling findamental dan substansial semisal peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan, kenyamanan hidup yang penuh kerukunan, dan sebagainya, hanya akan menjadi wacana.
Inilah pentingnya penjarakan politik bagi NU. Tanpa penjarakan politik, sekali lagi, NU tetap akan menjadi objek politisasi dan manipulasi politik, yang sangat divisif.
-----------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Banjarmasin Pos pada Selasa, 31 Juli 2007.
Post a Comment