Resensi: Gerakan Nasionalis-Agamais di Pentas Sejarah

Judul : Manusia di Panggung Sejarah;
Pemikiran dan Gerakan Tokoh-tokoh Islam
Penulis : Kholid O. Santosa
Penerbit : Sega Arsy, Bandung
Cetakan : Pertama, Juni 2007
Tebal : xii + 216 halaman

Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu, tentang apa saja yang sudah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa kehadiran sejarah bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri. Sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan, bahkan, untuk masa yang akan datang.

Sejarawan Ceko, Milan Hubl, pernah mengatakan, langkah pertama menaklukkan suatu bangsa adalah dengan merusak ingatannya. Musnahkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu, perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tinggal menggantang waktu, bangsa itu akan lupa pada masa kini dan lampaunya.

Ini pula yang mendasari Kholid O. Santosa untuk mendedah fakta sejarah perjuangan tokoh-tokoh Islam yang mulai “dibengkokkan” bahkan disingkirkan secara perlahan. Banyak murid sekolah yang tidak tahu siapa tokoh-tokoh Islam di pentas sejarah pergerakan nasional dalam rangka melahirkan bangsa ini. Bahkan para guru dan mahasiswa juga cenderung enggan mengetahui.

Kondisi ini semakin diperparah oleh minimnya buku-buku sejarah yang mengupas tuntas kesejatian tokoh-tokoh (muslim agamis) tersebut, berikut langkah-langkah perjuangan, pemikiran, dan karya intelektualnya di jagat patriotisme dan nasionalisme.

Senafas dengan Milan Hubl, pembengkokan sejarah telah mengakibatkan manipulasi pemahaman sosial-politik masyarakat tentang perjalanan dan lahirnya bangsa Indonesia dalam perspektif sejarah. Untuk itu, bangsa ini membutuhkan para pelurus sejarah yang memiliki daya gugah tinggi menuju perubahan.

Saat ini, manusia di negeri ini telah miskin bahkan kehilangan nasionalisme. Bak oase di tengah kegersangan masyarakat akan nasionalisme dan patriotisme, buku ini hadir menginjeksikan spirit nasionalisme dan pandangan lurus terhadap para tokoh sejarah, tanpa dicederai oleh pembengkokan dan manipulasi sejarah di setiap generasi.Data-data sejarah telah banyak menunjukkan bahwa sejak awal perkembangannya, Islam telah menanamkan akar perjuangan yang dalam.

Diawali Kerajaan Samudera Pasai di Sumatera yang menjadi ikon “Serambi Mekah”, kemudian Kerajaan Ternate dan Tidore di Sulawesi, lalu diteruskan kerajaan-kerajaan kecil lain yang tidak atau belum sempat menancapkan tonggaknya, menjadi bukti pemahaman bahwa perlawanan rakyat terhadap kolonial baik Spanyol, Portugis, maupun Belanda, adalah perlawanan di atas ruh dan semangat Islam.

Sepanjang sejarah, para tokoh itu (ulama dan kiai) selalu tampil memegang kendali dan menjadi pemimpin nonformal yang didukung di atas keterikatan batin rakyat. Suara agama yang diusung mereka amat mujarab untuk memantik dukungan rakyat melabeli perlawanan-perlawanan itu dengan perang suci dalam rangka membela kebenaran dan mengenyahkan kebatilan.

Semangat nasionalisme, cita-cita, dan pemikiran para tokoh semisal Ahmad Dahlan (1868), Hasjim Asj’ari (1871), Abdul Karim Amrullah (1879), hingga Jenderal Soedirman (1916) dan Kahar Muzakar (1921), ditutur secara detail dan mencerahkan. Sehingga, mampu menggugah kesadaran bahwa pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh Islam tersebut selalu dilandasi semangat kebangsaan. Pun, berdirinya ormas-ormas Islam seamsal Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, NU, dan sebagainya, di antaranya dilatari semangat nasionalisme para founding fathers-nya.

Barangkali kita sedikit tercekat dengan dimasukkannya nama terakhir (Kahar Muzakar) dalam deretan tokoh-tokoh Islam yang menorehkan sejarah perjuangan di Tanah Air ini. Ini merupakan keberanian tersendiri penulis buku ini dibanding penulis-penulis lainnya.

Selama ini, tidak banyak yang diungkap oleh buku sejarah tentang Kahar Muzakar, kecuali pemberontakannya terhadap RI. Namun, melalui buku ini, Kholid memperlihatkan objektivitasnya dalam memandang tokoh tersebut sebagai “patriot yang gugur sebagai pemberontak”.

Nasionalisme dan patriotisme tokoh-tokoh itulah yang hendak disemaikan penulis agar menjadi acuan generasi bangsa dalam mewujudkan negara yang adil, makmur, demokratis, dan bersemangat juang.

------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di Media Indonesia (Sabtu, 28 Juli 2007) dan Batam Pos (Ahad, 2 September 2007).

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement