Resensi : Tumbal Itu Bernama Rakyat


Judul : Rakyat (Bukan) Tumbal (Kekerasan dan Kekuasaan)
Penulis : Aloys Budi Purnomo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xii + 152 halaman

"Rakyat bukanlah benda, melainkan manusia. Rakyat memiliki pesona. Sayang, pesona rakyat kerapkali dirusak oleh kekuatan kekuasaan dan kekerasan yang tidak berpihak pada rakyat," rintihan Aloys Budi Purnomo dalam epilognya.

Fenomena paling memilukan dalam kehidupan berbangsa di Republik Indonesia adalah fakta bahwa rakyat dari masa ke masa, juga saat republik ini memasuki Era Reformasi, dengan mudah menjadi objek kekuasaan dan kekerasan yang ujung-ujungnya menjadikan mereka sebagai tumbal. Bukan dientaskan dari keterpurukan, justru rakyat semakin ditenggelamkan dalam kenelangsaan.

Kenaikan harga kebutuhan pokok semisal beras, gula, minyak goreng, dan juga BBM, menjadi bukti bahwa kekayaan yang meruah di Tanah Air ini tak pernah tercerap secara sempurna oleh rakyat. Kebijakan pembangunan pun kerap tidak berpihak kepada rakyat.

Tidak beda dengan Orde Baru, Era Reformasi telah menampakkan wajah brutal penguasa yang sewenang-wenang melukai hati rakyatnya sendiri yang miskin dan menderita. Rakyat menjadi "tumbal" pembangunan. Itulah salah satu aspek mengerikan yang diwariskan rezim Orde Baru dan disempurnakan Era Reformasi secara lebih sadis dan ironis.

Di bumi pertiwi ini, komitmen untuk memihak kaum miskin (preferential option for and with the poor) tampaknya menjadi sesuatu yang impossible dan unrealistic. Meski demikian, adalah imperatif bahwa kita sebagai bangsa yang melandaskan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial memandang seluruh proses reformasi yang dicita-citakan sejak 1998 dari sudut orang miskin.

Melalui buku ini, Aloys mengetuk nurani penguasa dan siapa pun yang merasa berkuasa agar menegakkan kembali komitmen reformasi atas nama rakyat tertindas, korban penggusuran, korban perang, korban bencana, korban ketidakadilan, maupun korban korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Dari perspektif rakyat yang selalu menjadi tumbal, mereka bagai jatuh tertimpa tangga. Betapa tidak, di saat penguasa dan elit politik tidak peka terhadap penderitaan rakyat, mereka masih juga menjadi korban kekerasan. Aksi teror yang tidak mengenal kata henti membuat bulu rakyat semakin bergidik. Dalam arti tertentu, rakyat yang tanpa kesalahan dan dosa politik harus menanggung derita akibat ulah terorisme.

Pelaku teror tidak lebih dari seonggok hantu gentayangan, tidak berderajat manusia dan bermartabat manusiawi. Kalau pun tindakannya sebagai teroris bermotif keagamaan, agama yang diusungnya adalah kesesatan. Bila motifnya politik, maka visi politiknya kasar dan brutal. (halaman 96)

Bagaimana pun, aksi violensianisme dan terorisme, meminjam gagasan R. Ardrey (The Sosial Contract, New York, 1970: 22), merupakan pelanggaran atas social contract menuju hidup lebih damai, rukun, dan adil. Jika demikian, tanpa pandang bulu, siapa pun pelakunya harus ditindak tegas. Kalau tidak, cepat atau lambat kedahsyatan bom yang meledak dan membawa korban pasti terjadi lagi.

Menyaksikan kesewenang-wenangan penguasa dan aksi violensianisme yang menempatkan rakyat sebagai tumbalnya menambah tumpukan keprihatinan Aloys. Keprihatinan inilah yang hendak diserukannya melalui buku ini. Meski buku ini merpukan hasil daur ulang beberapa artikel Aloys di berbagai media massa sejak 2003-2005, namun ulasan kritisnya di bidang sosial, ekonomi, dan politik, tetap layak menjadi titik tolak refleksi: bahwa rakyat selalu menjadi tumbal kekerasan dan kekuasaan di negeri ini.

-----------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di harian Suara Merdeka pada Ahad, 1 Juli 2007.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement