Cerpen: Sorban Sunan Kalijaga


Semburat fajar tersenyum di ufuk timur. Suara azan menembus atap. Mendayu dan berirama. Menuju lembah, sawah, menyeruak rumah-rumah, membelah sunyi, membangkitkan jiwa yang dibuai mimpi.

Pak Afjar melompat dari tempat tidurnya. Melempar selimut sekenanya. Lalu, menyambar kopiah putih, sarung putih, tasbih dan selembar sorban hijau bergaris kuning keemasan.

”Ustad Humaidi belum kelihatan ya, Kang?” tanya Arjo Sumelo, sang muazin, kepada Kang Sugeng yang duduk di shaf paling belakang.

”Mungkin sakit,” jawab Kang Sugeng singkat.

Arjo Sumelo semakin gusar. Mondar-mandir. Ustad Humaidi yang biasanya menjadi imam belum juga hadir.

”Qamat, Jo! Biar saya yang ngimami,” suara Pak Afjar yang mendadak menyembul dari balik pintu. Arjo Sumelo dan Kang Sugeng beradu pandang. Tanda ragu. Tapi apa boleh buat, Pak Afjar sudah menerobos ke tempat imam. Terpaksa, qamat dikumandangkan.

”Jamaah yang dimuliakan Allah, panjenengan tahu Sunan Kalijaga?” Pak Afjar mengawali ceramahnya setamat mengimami salat.

”Inggih,” jawab jamaah serentak.

”Sorban ini adalah peninggalan Beliau, yang diwariskan turun-temurun kepada kiai-kiai linuwih di Tanah Jawa,” ujarnya sambil memamerkan sorbannya.”Siapa pun yang mengenakan sorban ini, dialah yang pantas disebut kiai,” tandasnya.

Jamaah manggut-manggut.”Sorban ini adalah simbol kewibawaan dan kedalaman ilmu seseorang. Yang memiliki sorban ini, dia berilmu tinggi. Sementara yang tidak, ilmunya rendah.”

Jamaah yang kebanyakan masyarakat awam itu sekali lagi hanya manggut-manggut. Berdecak kagum. Takjub.

”Jadi, selama ini kita keliru memilih kiai ya, Dri,” bisik Pakde Ngarso kepada Kang Sodri yang duduk di sebelahnya.

”Nggih, Pakde. Ustad Humaidi ternyata kurang pas jadi kiai. Beliau tidak pernah bersorban. Sarungnya pun hanya merk rendahan. Bajunya kadang batik biasa. Dan, kopiahnya juga hitam sama punya kita,” jawab Kang Sodri membenarkan omongan Pakdhe Ngarso.

Bisik-bisik tidak berlangsung lama. Mereka kembali fokus ke mimbar.

”Siapa pun yang mencium sorban ini, dia akan mendapat berkah. Hidupnya akan bahagia. Rezekinya akan mengalir bak samudera. Dan bagi yang belum berjodoh, akan segera mendapat pasangan hidup yang sempurna,” lanjut Pak Afjar meyakinkan.

Ceramah selesai. Jamaah berebut menyalami Pak Afjar dan mencium sorbannya. Wangi. Hanya Arjo Sumelo dan Kang Sugeng yang tidak ikut. Sepengetahuan mereka berdua, ilmu dan amal merupakan dua entitas yang mesti dipadukan. Seseorang pantas disebut tokoh panutan jika ilmunya diamalkan.

”Hanya satu cara yang bisa kita lakukan untuk membuka pikiran jamaah, Kang,” kata Arjo Sumelo.

Kang Sugeng yang diajak bicara mafhum.”Baiklah, malam ini kita bergerak,” sahutnya.

Malam itu juga, mereka menelusup ke rumah Pak Afjar. Didapatinya si empu rumah tengah asyik menghitung rupiah. Sementara kedua orangtuanya yang sudah renta diperlakukan nista seperti babu dan jongos. Diperintah dan dipekerjakan.

”Masya Allah, durhaka sekali manusia itu,” bisik Kang Sugeng.

Arjo Sumelo mendesah panjang sembari mengelus dada. Sesekali geleng kepala.

Subuh kembali menjelang. Masyarakat berduyun-duyun ke masjid. Seperti biasa, setelah berjamaah, sang imam memberi tausiah. Tapi, kali ini bukan Pak Afjar yang berdiri di mimbar, melainkan Arjo Sumelo.

Tiba-tiba, sekelebat bayangan tegap menerobos membelah barisan jamaah. Ternyata Pak Afjar.”Turun, kamu! Hanya aku yang layak berdiri di mimbar itu,” hujatnya lantang menantang Arjo Sumelo.

Arjo Sumelo tersenyum, sambil membetulkan letak sorban di lehernya. Diam sejenak, lalu bersuara,”Bapak-bapak, Ibu-ibu masih ingat, Pak Afjar pernah berujar: Siapa pun yang memakai sorban yang katanya warisan Sunan Kalijaga ini, maka dialah yang pantas dikiaikan?”

”Inggih,” jawab jamaah serentak.

”Mulai tadi malam, sorban ini sudah jadi milik saya. Jadi, siapakah yang pantas menjadi kiai sekarang?”

”Panjenengan,” jamaah menjawab bersama bak paduan suara.

Arjo Sumelo tersenyum menang. Dia berhasil memberi pelajaran Pak Afjar dan membuka pikiran jamaah tentang kesejatian seorang kiai.

”Jamaah yang saya hormati, panjenengan harus mangertos bahwa kiai sejati selalu sepi dari pamrih dan ambisi. Ilmu dan amalnya selalu sejoli. Tak pernah pongah dan angkuh dengan kelebihan yang dimiliki. Dia tidak diukur dengan gemerlapnya pakaian, kopiah khusus, maupun sorban. Intinya, konsistensi antara ilmu dan amal itulah yang jadi ukuran,” Arjo Sumelo menggulirkan wacana pencerahan. ”Dan itu tidak kita temukan pada diri Pak Afjar yang durhaka, takabur, ambisius dan penuh pamrih.”

Seketika jamaah menangis. Menangisi kekhilafannya sendiri, karena salah mengukur kekiaian seseorang hanya dengan selembar sorban.

Sejurus kemudian, bayangan Ustad Humaidi yang bersahaja, tawaduk, ikhlas, istiqamah dan suka dermawan berkelebatan di dalam pikiran mereka. Mereka segera menghambur memburu pemilik bayangan itu, yang entah di mana sekarang. Meninggalkan Pak Afjar sendiri terpaku bersama sorbannya di dalam mesjid. 



----------------------------

Tulisan ini dipublikasikan di koran Solopos pada Ahad, 5 Agustus 2007.

Sumber Gambar


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement