SETIAP peringatan malam Nuzulul Quran sering muncul pertanyaan,
kapan tepatnya Alquran diturunkan? Apakah pada malam 17 Ramadhan seperti yang
selalu diperingati, atau pada malam Lailatul Qadar di sepertiga terakhir
Ramadhan? Prof Dr H Muhibbin Noor MAg, guru besar ilmu hadis Fakultas Syariah
IAIN Walisongo Semarang, pernah berujar: “Padahal tidak ada satu pun keterangan
yang dengan jelas memberikan informasi tentang tanggal 17 itu sebagai hari
diturunkannya Alquran, melainkan hanya perkiraan penafsiran yang kurang tepat.”
(Suara Merdeka, 21 Oktober 2005).
Tafsir Konservatif
Menurut al-Imam Imaduddin al-Fida ibn Katsir al-Quraysyi (774 H),
dalam Tafsir Ibnu
Katsir (4/529 dan 1/216),
sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Alquran mengalami tiga fase penurunan
(nuzul):
Pertama, secara utuh sekaligus (jumlah wahidah) diturunkan
Allah SWT ke Lauh Mahfuzh. Yang menjadi pijakan adalah firman Allah SWT pada
QS. Al-Buruuj [85]: 21-22. Untuk fase ini tidak ada keterangan yang jelas (sharih)
tentang waktu turunnya.
Kedua, juga dalam jumlah wahidah, dari Lauh Mahfuzh diturunkan ke
sebuah tempat di sama al-dunya (langit dunia) yang bernama Bait
al-‘Izzah. Untuk fase ini pun tidak disebutkan secara tegas waktu turunnya.
Hanya diungkap, pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadan. Dasarnya adalah
firman Allah SWT QS Al-Qadr (97): 1 dan QS Al-Baqarah (2): 185.
Ketiga, dari Bait al-‘Izzah kepada Muhammad melalui perantara
Malaikat Jibril. Berbeda dengan dua fase sebelumnya yang sarat misteri, fase
ini diduga kuat terjadi pada 17 Ramadan.
Penurunannya tidak sekaligus, melainkan berangsur-angsur selama 23
tahun. Tahapan inilah yang diidentikkan dengan malam Nuzulul Quran sebagaimana
diperingati setiap tahun di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Allah SWT berfirman: “Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu hari
bertemunya dua pasukan.” (QS.
Al Anfal (8): 41).
Para mufassir dan sebagian besar ulama konservatif memaknai ’hari
Furqan‘ sebagai hari pecahnya
Perang Badar pada 17 Ramadan. Selain itu, acapkali mereka pun melontarkan
kaidah sederhana untuk membedakan ketiga fase nuzul tersebut. Untuk
mengungkapkan fase pertama dan kedua digunakan kata ’anzala-yunzilu-inzal‘,
yang berarti turun sekaligus. Sementara untuk fase terakhir digunakan diksi
’nazzala-yunazzilu-tanzil‘, yang berarti turun secara berangsur-angsur.
Telaah Kritis
Menurut al-Nasafi, penulis kitab Madarik
al-Tanzil wa Haqa‘iq al-Ta‘wil, penggunaan
diksi yang berbeda itu menunjukkan dengan jelas bahwa Alquran diturunkan
melalui tahapan yang berbeda: sekaligus dan berangsur-angsur.
Simpulan al-Nasafi itu ditarik dari kata inzal yang mengindikasikan utuh sekaligus,
dan itu hanya tepat jika dikaitkan dengan dua tahapan yang pertama. Sementara
kata tanzil yang mengindikasikan bertahap, memang
ada fakta sejarah bahwa Jibril menurunkan wahyu kepada Muhammad secara
gradual/bertahap. Pendapat serupa dikemukakan pula oleh penulis Tafsir al-Jalalain dan Muhammad Khudlari Bik penulis Tarikh Tasyri‘ al-Islami.
Klasifikasi al-Nasafi perihal diksi inzal dan tanzil ternyata masih memunculkan persoalan,
mengingat QS Al-Anfal (8): 41 ––yang oleh ulama dijadikan landasan penentuan 17
Ramadan sebagai malam Nuzulul Quran–– juga mengunakan kata inzal. Jika analisis diksi kebahasaan lebih
dijadikan acuan, tentu akan lahir sebuah pertanyaan penting: Mengapa ayat
tersebut tidak menggunakan kata tanzil (bertahap). Padahal tanggal itu
diyakini sebagai awal proses penurunan ayat secara bertahap.
Sementara Muhammad Asad dan sejumlah ulama kontemporer berpendapat
bahwa Nuzulul Quran bersamaan waktunya dengan Lailatul Qadar dan itu semestinya
diperingati pada malam-malam ganjil dari sepuluh terakhir Ramadan, bukan 17
Ramadan. Bahkan, Imam Hanafi secara tegas pernah menunjuk malam ke-27 sebagai
Lailatul Qadar sekaligus Nuzulul Quran.
Namun, pendapat ini pun tidak absen dari pertanyaan. Di antaranya,
jika Nuzulul Quran diidentikkan dengan Lailatul Qadar, bukankah justru
meruntuhkan kemisterian Lailatul Qadar yang memang tidak pernah diketahui
secara pasti waktunya, kecuali Allah menyebutnya pada bulan Ramadhan.
Sementara Muhibbin Noor, dengan berpijak pada beberapa hadis Nabi,
secara tegas dan berani menyebut 24 Ramadan sebagai tanggal yang layak
ditahbiskan sebagai peringatan Nuzulul Quran, bukan 17 Ramadan.
Hadis-hadis yang dimaksud di antaranya termaktub dalam: kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz VI halaman 144, kitab Musnad Ahmad bin Hanbal juz IV halaman 107, kitab Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi juz IX halaman 188, kitab Al-Ausath Al-Tabrani juz IV halaman 111, kitab Majma‘
Al-Zawaid Al-Haitsami juz I
halaman 97, dan Al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’bul
Iman juz II halaman 414.
Dalam beberapa hadis di atas, tidak hanya menyebut Alquran namun
juga berkisah tentang turunnya kitab-kitab suci lain. Shuhuf (lembaran-lembaran suci) Ibrahim
diturunkan pada awal Ramadhan, Taurat pada 6 Ramadan, Injil 13 Ramadan, Zabur
18 Ramadhan dan Alquran pada malam ke-24 Ramadhan.
Terlepas dari kontroversi di atas, almarhum Nurcholish Madjid
pernah berujar, penetapan 17 Ramadan sebagai malam Nuzulul Quran mempunyai
sejarah yang tidak terpisahkan dari proses dekolonialisasi di Indonesia. Adalah
Haji Agus Salim, menurutnya, yang telah mengusulkan kepada Presiden Soekarno
agar menggelar peringatan Nuzulul Quran pada tanggal itu, supaya angka itu
ketika disebut senantiasa mengingatkan bangsa Indonesia, utamanya umat Islam,
pada kelahiran negara tercinta pada tanggal 17 (Agustus 1945) yang secara
kebetulan proklamasinya juga digaungkan pada bulan Ramadhan. Wallahu a‘lam. (*)
----------------------------
Artikel ini ditulis oleh Irham Sya'roni dan dipublikasikan di koran Bangka Pos pada Kamis, 27 September 2007.
Sumber Gambar
----------------------------
Artikel ini ditulis oleh Irham Sya'roni dan dipublikasikan di koran Bangka Pos pada Kamis, 27 September 2007.
Sumber Gambar
Post a Comment