Salah satu kemuliaan dan keistimewaan yang terkandung di dalam bulan suci Ramadan adalah adanya satu malam yang disebut Lailatul Qadar. Malam istimewa yang dirahasiakan Allah SWT. Tidak banyak yang Allah terangkan tentang malam itu, kecuali Dia hanya menyebutnya malam yang lebih baik daripada seribu bulan. (Q.S. Al-Qadr: 3)
Dari situlah muncul beragam pendapat untuk mendefinisikannya. Setidaknya ada empat yang ditemukan; Pertama, al-Qadr bermakna al-hukm yang artinya "penetapan". Karena malam tersebut merupakan penetapan Allah atas perjalanan makhluk selama setahun, menyangkut rezeki, umur, dan sebagainya.
Kedua, bermakna "pengaturan". Di sini dipahami bahwa pada malam turunnya Alquran, Allah SWT mengatur khittah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad SAW guna mengajak manusia kepada agama yang hanif (lurus). Tujuannya untuk menyelematkan mereka dari azab Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Ketiga, bermakna "kemuliaan". Di sini dipahami bahwa Allah SWT telah menurunkan Alquran pada malam yang mulia. Dan, keempat, al-Qadr bermakna "sempit". Pengertian ini dipahami karena pada malam itu begitu banyaknya malaikat turun ke bumi, maka bumi menjadi sesak dan sempit. (M.Quraish Shihab, dalam Tafsir Juz Amma, hlm. 721-723).
Lailatul Qadar adalah malam penuh berkah, lebih baik dari seribu bulan. Karena; pertama, pada malam tersebut para malaikat turun ke bumi untuk memberi salam (kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan) kepada umat Muhammad hingga terbit fajar (hatta mathla'il fajr). Kedua, Allah mengevaluasi ketetapannya terhadap manusia. Setidaknya untuk setahun ke depan, Allah akan mengoreksi ketetapan-Nya menjadi lebih baik atau buruk, bergantung bagaimana manusia memanfaatkan malam itu secara optimal dan bermakna.
Ketiga, diturunkannya Alquran, menjadi pedoman hidup bagi manusia dan mensekatnya untuk tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari ketentuan Allah SWT. Keempat, sebagai kado istimewa dari Tuhan khusus untuk umat Muhammad, sebagaimana sabdanya; "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada umatku malam al-qadr dan itu tidak diberikan kepada umat sebelumnya." (HR, Addailamy)
Misteri Besar
Sampai detik ini, belum ada satu pun jawaban yang disepakati oleh para ulama, cendekiawan, maupun ilmuwan muslim. Malam seribu bulan memang misteri, apakah ia berupa bentuk, aktivitas, atau kondisi.
Meski amat misterius, ia bukanlah mitos atau sekadar dongeng nenek moyang. Lailatul Qadar pasti ada, dan ini mesti diimani oleh setiap muslim. Karena, informasi mengenai malam istimewa itu bukan rekaan manusia yang bernama Muhammad atau bahkan rekaan ulama-ulama yang jauh setelah Muhammad. Lailatul Qadar secara jelas termaktub dalam kitab suci Alquran, yang bersih dari kesalahan apalagi bualan.
Hanya, persoalan yang kerap menyembul dan menjadi perdebatan yang tak berkesudahan adalah: kapan terjadinya dan siapa yang berhak merengkuhnya? Lalu apa indikatornya? Setidaknya, tiga pertanyaan kunci inilah yang selalu muncul menjelang Ramadan tiba, terlebih di paruh terakhir dari bulan tersebut.
Lailatul Qadar adalah sesuatu yang harus dikejar, bukan hanya ditunggu atau dinanti-nanti kedatangannya. Sehingga untuk mendapatnya manusia harus melakukan berbagai usaha sesuai kapasitas pengetahuannya dan kadar kemampuannya. Ada yang menghabiskan malam di sudut masjid bersama seuntai tasbih. Ada yang tak henti-hentinya bersujud kepada Sang Khaliq.
Namun, ada pula yang berkeyakinan bahwa ia tidak harus digapai dengan ledakan ritual sesaat melalui seuntai tasbih atau selembar sajadah, melainkan bisa diraih dengan segala macam aktivitas baik "duniawi" maupun "ukhrawi", asal didasari kebeningan dan keikhlasan hati dalam mengamalkannya. Sehingga, bisa saja seseorang memperoleh malam al-Qadar ketika ia mengayuh becak atau menjadi Satpam malam demi menafkahi keluarganya.
Lailatul Qadar hanya akan mampir dan pasti jatuh pada orang yang bertakwa. Dan ketakwaan tidak hanya diukur dengan aktivitas menyendiri di dalam masjid atau kamar pribadi yang gelap. "Letak takwa adalah di sini," kata Rasulullah sembari menunjuk ke arah hati. Namun, juga tidak berarti Lailatul Qadar akan jatuh kepada sembarang orang --orang yang tidak berpuasa, misalnya--, karena akan bertentangan dengan firman Allah sendiri.
Menurut satu riwayat disebutkan bahwa pada mulanya Rasulullah SAW ingat benar tanggal dan hari al-Qadr itu, tetapi karena suatu hikmah yang tersembunyi di balik semua itu, maka akhimya Rasulullah SAW lupa kembali. Menurut riwayat yang lain, Rasulullah bermaksud menemui umatnya untuk memberitahukan datangnya malam al-Qadar, namun karena di tengah umatnya saat itu ada dua orang yang sedang bertikai maka beliau mengurungkan niatnya itu. Lalu menyuruh umatnya untuk mengintip (iltamisuha) dan memburu malam kemuliaan itu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu-waktu malam al-Qadr itu ada dua; Pertama, malam 17 Ramadan, karena pada malam itulah Alquran diturunkan. Kedua, malam yang ganjil yaitu malam 21, 23, 25, 27, atau 29. Dalam satu hadis dijelaskan; bahwa Rasulullah saw. bersabda; "Carilah malam qadr itu yang akhir dan ganjil yaitu malam 21, 23, 25, 27 dan 29 atau pada malam terakhir yaitu pada malam ketiga puluh." (HR, Tabrani).
Mengapa Allah merahasiakan malam tersebut? Karena ada hikmah di baliknya, yaitu agar kita terus mengintip, mencari, dan memburu tanpa henti di setiap saat dengan menghidupkan seluruh malam di bulan Ramadan dengan amal shalih, tilawah, i‘tikaf, doa serta ibadah lainnya, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, diiringi permohonan maghfirah (ampunan).
Di antara doa yang diajarkan Rasulullah SAW adalah; "Allahuma innaka ’afuwwun tuhibbu al-‘afwa fa‘fu 'anni (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Maha Memaafkan, maka maafkanlah aku." (HR. an-Nasai).
Pungkasan
Sebaiknya kita tidak bertindak diskriminatif terhadap hari-hari di bulan suci. Sehingga, dengan dalih hendak merengkuh Lailatul Qadar, kita hanya memanjakan dan mencumbui sepuluh hari terakhir. Atau bahkan hanya di malam-malam ganjilnya. Inilah, yang oleh penulis, disebut over acting Ramadan.
Sebagaimana ditutur dalam Tafsir al-Shawiy pada akhir tafsiran surat Al-Qadar, seyogyanya kita mencumbui seluruh hari dan malam di bulan Ramadan. Karena, hanya dengan begitulah kita membuktikan loyalitas kepada Tuhan yang berkuasa menurunkan al-Qadar di waktu kapan saja yang Ia suka.
Semoga kita dapat menikmati malam kemuliaan itu dengan setumpuk ibadah dan amal shalih sesuai tuntunan Rasulullah. Sehingga, kesalehan kita tidak akan berhenti seiring berlalunya Ramadan, melainkan terus dijiwai hingga Ramadan tahun mendatang. Serta senantiasa mengaktualisasikan nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan terbentuk sosok yang shalih secara individual maupun sosial, sabar, inklusif, pluralis, humanis, dan demokratis.
Sumber Gambar
--------------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Surya pada Rabu, 3 Oktober 2007.
Dari situlah muncul beragam pendapat untuk mendefinisikannya. Setidaknya ada empat yang ditemukan; Pertama, al-Qadr bermakna al-hukm yang artinya "penetapan". Karena malam tersebut merupakan penetapan Allah atas perjalanan makhluk selama setahun, menyangkut rezeki, umur, dan sebagainya.
Kedua, bermakna "pengaturan". Di sini dipahami bahwa pada malam turunnya Alquran, Allah SWT mengatur khittah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad SAW guna mengajak manusia kepada agama yang hanif (lurus). Tujuannya untuk menyelematkan mereka dari azab Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Ketiga, bermakna "kemuliaan". Di sini dipahami bahwa Allah SWT telah menurunkan Alquran pada malam yang mulia. Dan, keempat, al-Qadr bermakna "sempit". Pengertian ini dipahami karena pada malam itu begitu banyaknya malaikat turun ke bumi, maka bumi menjadi sesak dan sempit. (M.Quraish Shihab, dalam Tafsir Juz Amma, hlm. 721-723).
Lailatul Qadar adalah malam penuh berkah, lebih baik dari seribu bulan. Karena; pertama, pada malam tersebut para malaikat turun ke bumi untuk memberi salam (kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan) kepada umat Muhammad hingga terbit fajar (hatta mathla'il fajr). Kedua, Allah mengevaluasi ketetapannya terhadap manusia. Setidaknya untuk setahun ke depan, Allah akan mengoreksi ketetapan-Nya menjadi lebih baik atau buruk, bergantung bagaimana manusia memanfaatkan malam itu secara optimal dan bermakna.
Ketiga, diturunkannya Alquran, menjadi pedoman hidup bagi manusia dan mensekatnya untuk tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari ketentuan Allah SWT. Keempat, sebagai kado istimewa dari Tuhan khusus untuk umat Muhammad, sebagaimana sabdanya; "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada umatku malam al-qadr dan itu tidak diberikan kepada umat sebelumnya." (HR, Addailamy)
Misteri Besar
Sampai detik ini, belum ada satu pun jawaban yang disepakati oleh para ulama, cendekiawan, maupun ilmuwan muslim. Malam seribu bulan memang misteri, apakah ia berupa bentuk, aktivitas, atau kondisi.
Meski amat misterius, ia bukanlah mitos atau sekadar dongeng nenek moyang. Lailatul Qadar pasti ada, dan ini mesti diimani oleh setiap muslim. Karena, informasi mengenai malam istimewa itu bukan rekaan manusia yang bernama Muhammad atau bahkan rekaan ulama-ulama yang jauh setelah Muhammad. Lailatul Qadar secara jelas termaktub dalam kitab suci Alquran, yang bersih dari kesalahan apalagi bualan.
Hanya, persoalan yang kerap menyembul dan menjadi perdebatan yang tak berkesudahan adalah: kapan terjadinya dan siapa yang berhak merengkuhnya? Lalu apa indikatornya? Setidaknya, tiga pertanyaan kunci inilah yang selalu muncul menjelang Ramadan tiba, terlebih di paruh terakhir dari bulan tersebut.
Lailatul Qadar adalah sesuatu yang harus dikejar, bukan hanya ditunggu atau dinanti-nanti kedatangannya. Sehingga untuk mendapatnya manusia harus melakukan berbagai usaha sesuai kapasitas pengetahuannya dan kadar kemampuannya. Ada yang menghabiskan malam di sudut masjid bersama seuntai tasbih. Ada yang tak henti-hentinya bersujud kepada Sang Khaliq.
Namun, ada pula yang berkeyakinan bahwa ia tidak harus digapai dengan ledakan ritual sesaat melalui seuntai tasbih atau selembar sajadah, melainkan bisa diraih dengan segala macam aktivitas baik "duniawi" maupun "ukhrawi", asal didasari kebeningan dan keikhlasan hati dalam mengamalkannya. Sehingga, bisa saja seseorang memperoleh malam al-Qadar ketika ia mengayuh becak atau menjadi Satpam malam demi menafkahi keluarganya.
Lailatul Qadar hanya akan mampir dan pasti jatuh pada orang yang bertakwa. Dan ketakwaan tidak hanya diukur dengan aktivitas menyendiri di dalam masjid atau kamar pribadi yang gelap. "Letak takwa adalah di sini," kata Rasulullah sembari menunjuk ke arah hati. Namun, juga tidak berarti Lailatul Qadar akan jatuh kepada sembarang orang --orang yang tidak berpuasa, misalnya--, karena akan bertentangan dengan firman Allah sendiri.
Menurut satu riwayat disebutkan bahwa pada mulanya Rasulullah SAW ingat benar tanggal dan hari al-Qadr itu, tetapi karena suatu hikmah yang tersembunyi di balik semua itu, maka akhimya Rasulullah SAW lupa kembali. Menurut riwayat yang lain, Rasulullah bermaksud menemui umatnya untuk memberitahukan datangnya malam al-Qadar, namun karena di tengah umatnya saat itu ada dua orang yang sedang bertikai maka beliau mengurungkan niatnya itu. Lalu menyuruh umatnya untuk mengintip (iltamisuha) dan memburu malam kemuliaan itu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu-waktu malam al-Qadr itu ada dua; Pertama, malam 17 Ramadan, karena pada malam itulah Alquran diturunkan. Kedua, malam yang ganjil yaitu malam 21, 23, 25, 27, atau 29. Dalam satu hadis dijelaskan; bahwa Rasulullah saw. bersabda; "Carilah malam qadr itu yang akhir dan ganjil yaitu malam 21, 23, 25, 27 dan 29 atau pada malam terakhir yaitu pada malam ketiga puluh." (HR, Tabrani).
Mengapa Allah merahasiakan malam tersebut? Karena ada hikmah di baliknya, yaitu agar kita terus mengintip, mencari, dan memburu tanpa henti di setiap saat dengan menghidupkan seluruh malam di bulan Ramadan dengan amal shalih, tilawah, i‘tikaf, doa serta ibadah lainnya, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, diiringi permohonan maghfirah (ampunan).
Di antara doa yang diajarkan Rasulullah SAW adalah; "Allahuma innaka ’afuwwun tuhibbu al-‘afwa fa‘fu 'anni (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Maha Memaafkan, maka maafkanlah aku." (HR. an-Nasai).
Pungkasan
Sebaiknya kita tidak bertindak diskriminatif terhadap hari-hari di bulan suci. Sehingga, dengan dalih hendak merengkuh Lailatul Qadar, kita hanya memanjakan dan mencumbui sepuluh hari terakhir. Atau bahkan hanya di malam-malam ganjilnya. Inilah, yang oleh penulis, disebut over acting Ramadan.
Sebagaimana ditutur dalam Tafsir al-Shawiy pada akhir tafsiran surat Al-Qadar, seyogyanya kita mencumbui seluruh hari dan malam di bulan Ramadan. Karena, hanya dengan begitulah kita membuktikan loyalitas kepada Tuhan yang berkuasa menurunkan al-Qadar di waktu kapan saja yang Ia suka.
Semoga kita dapat menikmati malam kemuliaan itu dengan setumpuk ibadah dan amal shalih sesuai tuntunan Rasulullah. Sehingga, kesalehan kita tidak akan berhenti seiring berlalunya Ramadan, melainkan terus dijiwai hingga Ramadan tahun mendatang. Serta senantiasa mengaktualisasikan nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan terbentuk sosok yang shalih secara individual maupun sosial, sabar, inklusif, pluralis, humanis, dan demokratis.
Sumber Gambar
--------------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Surya pada Rabu, 3 Oktober 2007.
Post a Comment