Ramadan, Bulan Toleransi dan Persaudaraan

Ramadan telah tiba. Beragam persiapan baik fisik maupun mental sedemikian rupa tentu telah kita tata. Bahkan, tidak sedikit dari kita yang memfokuskan persiapannya lebih pada persoalan logistik atau kuliner, dengan aneka menu istimewa khas Ramadan, seperti kolak, dawet, kurma, dan sebagainya. Atau, mereka justru disibukkan dengan agenda buka bersama yang bersifat seremonial.

Dari semua persiapan yang tercatat di atas, ada satu hal yang tak kalah penting bahkan bisa menjadi hal terpenting untuk konteks ukhuwah (persaudaraan) dan tasamuh (toleransi), yakni penyamuderaan wawasan keislaman, utamanya tentang seluk-beluk Ramadan dengan segala pasal-pasalnya yang lintas mazhab.

Hanya dengan penyamuderaan inilah, antarmazhab atau antar-Ormas (organisasi kemasyarakatan) tidak akan terjadi kerenggangan, hanya karena masalah sepele (ikhtilaf furu’i) semisal jumlah rakaat Tarawih, pelaksanaan salat witir, penetapan awal puasa maupun Lebaran dan sebagainya.

Saat menjelang Ramadan, Imam Hasan Al Banna, masuk ke dalam satu mesjid di Mesir. Pendiri Ikhwanul Muslimin ini melihat dua kelompok yang sedang berdebat dengan suara keras. Satu kelompok menjelaskan bahwa Tarawih yang sesuai tuntunan Rasulullah SAW adalah sebelas rakaat. Sedangkan kelompok kedua berpendapat, dengan merujuk pada sebuah hadis, bahwa Tarawih yang dua puluh tiga rakaat adalah lebih utama.

Hasan Al-Banna bertanya, ”Apa hukumnya salat Tarawih?” Kedua kelompok itu menjawab serentak: ”Sunnah!” Beliau bertanya lagi: ”Apa hukumnya bertengkar di rumah Allah dengan suara keras?” Mereka menjawab: ”Haram”. Lalu dengan suara lembut, Hasan Al Banna berkata: ”Sebaiknya kalian tidak melakukan yang haram untuk mempertahankan yang sunnah.”

Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT justru untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia. Simak dalam satu hadis, Rasulullah SAW bersabda, ”Kemuliaan seorang mukmin terletak pada penghayatan agamanya, harga dirinya tergantung pada kecerdasan akal pikirannya, dan kehormatannya terletak pada kebaikan budi pekertinya” (HR Hakim).



Moderat
Cerita lain yang dapat kita jadikan pelajaran luhur adalah tentang dua mantan tokoh jam’iyyah islamiyyah (organisasi Islam) terbesar di negeri ini: NU dan Muhammadiyah. Ceritanya, sekitar tahun 1970-an almarhum Buya Hamka berkunjung ke Kota Banjarmasin. Oleh pengurus Mesjid Jamik Banjarmasin, tokoh Muhammadiyah ini diminta untuk menyampaikan khotbah Jumat.

Bagaimana reaksi mantan ketua MUI pusat pertama ini? Beliau bertanya kepada pengurus mesjid, ”Apakah khatibnya di sini harus memegang tongkat?” Secara serentak, jemaah menjawab, ”Ya”. Buya Hamka melanjutkan pertanyaannya lagi, ”Apakah khatibnya memakai baju jubah dan sorban?” Lagi-lagi bak paduan suara jemaah menjawab, ”Ya”.

Apa maksud pertanyaan-pertanyaan Hamka itu? Ternyata menjadi sandaran untuk beradaptasi dan bersikap moderat dengan komunitas yang dihadapinya. Akhirnya, Buya Hamka bersedia tampil sebagai khatib dengan menyesuaikan kebiasaan di Mesjid Jami’ tersebut. Masyarakat terpukau mendengar khotbah Hamka. Ketika itu tidak dipersoalkan lagi bahwa Hamka adalah orang Muhammadiyah.

Kejadian kedua, pada waktu itu Buya Hamka naik haji dengan menggunakan kapal laut Gunung Jati bersama KH Idham Khalid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Suatu Subuh, jemaah meminta Buya Hamka menjadi imam salat Subuh. Kiai Idham Khalid menjadi salah seorang makmumnya. Jemaah tercekat, pada rakaat kedua Buya Hamka membaca doa qunut. Padahal biasanya beliau tidak berqunut sebagaimana yang dilakukan jemaah Muhammadiyah.

Seusai salat, di antara jemaah ada yang bertanya, ”Maaf, Buya. Biasanya orang Muhammadiyah pada salat Subuh tidak membaca doa qunut. Tapi, kenapa Buya pada Subuh ini pakai qunut?” Buya Hamka tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dengan santun dan sejuk beliau menjawab, ”Ya, karena di antara makmumnya ada Pak Idham Khalid. Beliau selalu berqunut setiap salat Subuh. Jadi saya menghargai beliaulah,” jawab Buya Hamka diplomatis.

Esok harinya giliran Idham Khalid yang menjadi imam salat Subuh. Ternyata beliau tidak membaca doa qunut pada rekaat kedua. Ketika ada yang bertanya sebabnya, tokoh kelahiran Amuntai Kalimantan Selatan ini menjawab, ”Ya, karena di belakang saya ada Hamka yang tidak membaca doa qunut setiap salat Subuh. Jadi saya menghargai beliau.”

Beragam reaksi pun tentu bersembulan. Ada yang salut (angkat topi) dengan kearifan akhlak mereka yang amat toleran dan mengedepankan ukhuwah. Namun, ada pula yang berkomentar pedas, mereka tidak konsisten dengan ke-NU-an dan ke-Muhammadiyah-annya. Benarkah mereka tidak konsisten? Kedua tokoh ini menjawab, ”Kami mendahulukan akhlak daripada fikih, apalagi yang bersifat furu’iyyah bukan ushuliyah (hal prinsipil dan fundamental).”

Muhammad Abdul Wahhab Fayid, seorang dosen Al Azhar, Kairo, bercerita. (Singkatnya) Beliau pernah diprotes oleh salah seorang ulama di Besjid Besar Al-Aryaf dengan cara menyuruh seluruh jemaah mesjid tersebut mengulangi salat Magrib, hanya karena ketika menjadi imam, Al Fayid tidak mengeraskan bacaan bismillah dalam Al-Fatihah. Oleh si ulama tadi, salat Magrib yang diimami oleh sang dosen dinyatakan batal. Padahal sang dosen sudah beragumentasi, dia telah membaca bismillah secara sirr.

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, ”Yang disebut dengan adab adalah menggunakan perkataan atau perbuatan yang terpuji. Inilah yang disebut dengan akhlak yang mulia (makarimul-akhlaq). Sedangkan Al Junaid menegaskan bahwa adab itu ialah pergaulan yang baik. Karena itu di antara sikap terpuji beliau dalam kehidupan beragama, beliau tidak pernah mempersoalkan adanya perbedaan fikih dan mazhab di antara sesama saudaranya. Karena beliau tahu persis bahwa perdebatan itu tidak akan membawa manfaat bagi dirinya maupun bagi umat. Ia lebih senang memperbaiki akhlaknya, terutama jika bertemu dengan orang lain.



Fikih dan Akhlak

Orang yang berakhlak adalah orang yang tidak akan pernah menganggap remeh sesama muslim apalagi mengkafirkannya. Orang yang berakhlak tidak akan pernah melaknat orang lain. Sebaliknya, kehadirannya selalu membawa kenyamanan dan ketenangan bagi orang, tatapan matanya penuh rahmat dan tutur katanya santun.

Meski demikian, bukan berarti arah tulisan ini adalah menidakpentingkan fikih sebagai panduan praktis dalam menjalankan ibadah. Orang yang jahil (bodoh atau tidak tahu) tentang ilmu beribadah justru diancam tertolak amalnya. Karena, tidak didasari ilmu dalam menjalankannya. Sementara orang berilmu tanpa dilapisi akhlak juga akan terperangkap dalam kepongahan serta tindakan-tindakan yang menegasikan nilai etik.

Perbedaan pandangan merupakan bagian dari rahmat Tuhan, serta sudah menjadi ketetapan Tuhan yang tak terelakkan sejak mula manusia ada di jagat ini. Namun, perbedaan tidak lantas menyeret pihak-pihak itu dalam ketegangan emosional seperti yang terjadi pada kedua putera Adam: Qabil dan Habil.

Marhaban ya Ramadan! 

--------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Solopos pada Jum'at, 14 September 2007.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement