Penculikan Raisya Ali beberapa waktu yang lalu menyita perhatian nasional. Tidak kurang Presiden
dan Wakil Presiden turut mencurahkan perhatiannya secara spesial terhadap kasus ini. Yang patut disyukuri, klimaks penculikan itu berakhir dengan menggembirakan, Raisya dibebaskan. Seluruh keluarga dan boleh jadi sebagian besar rakyat Indonesia yang mengikuti drama penculikan 9 hari itu turut lega.
Apa yang dapat kita petik dari kejadian "menyeramkan" ini? Penculikan anak telah menjadi teror baru yang mencekam, tak hanya bagi anak namun juga orangtua. Pesan Bang Napi nampaknya tidak bisa kita abaikan begitu saja saat ini: Waspadalah! Waspadalah!
Siapa yang mesti waspada? Ya kita semua: anak, orangtua, aparat keamanan, dan juga pemerintah. Semua harus bahu-membahu bekerja ekstra dalam menanggulangi merebaknya tindak kejahatan tersebut. Terlebih aparat keamanan, mereka dituntut mampu menuntaskan kasus itu bahkan memutus mata rantai persoalan serupa. Jangan sampai apa yang terjadi di Jakarta dan kota besar lainnya itu merambah pula ke pelosok-pelosok desa.
Penculikan anak tidak bisa kita artikan sekadar tindak kejahatan biasa, namun lebih jauh merupakan pembunuhan masa depan generasi bangsa secara sadis dan biadab. Pasalnya, di pihak korban trauma karena penculikan bisa membekas seumur hidup. Apalagi jika selama dalam bekapan penculik korban diintimidasi dengan bentakan dan kekerasan yang menyebabkan stres.
Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut (Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Edisi Kelima. Erlangga:Jakarta). Sementara itu, Daniel Chrysller (1997) menandaskan bahwa, anak korban penculikan cenderung mengasingkan diri dalam pergaulan. Mereka tidak mudah menerima kehadiran orang lain. Akibatnya, perkembangan psikososial anak akan terganggu. Ia cederung menutup diri dari lingkungannya dan mencurigai siapa pun yang ada di dekatnya.
Berangkat dan pulang sekolah merupakan masa-masa rawan terjadinya penculikan. Beberapa sekolah memang sudah membuat langkah antisipasi seperti mengunci gerbang sekolah atau menambah sekuriti di lingkungan sekolah. Namun, hal itu tidak berarti persoalan sudah selesai: anak akan aman. Sebab, sebagaimana dikatakaan Bang Napi, kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan. Sekali lagi, Waspadalah! Waspadalah!
Beberapa upaya pencegahan bisa kita lakukan agar drama penculikan tak lagi menghiasi berita televisi, majalah, atau koran. Pertama, melakukan simulasi mengenai kejadian penculikan. Simulasi ini dimaksudkan agar anak waspada, mengenal kondisi dan perilaku para penculik.
Dengan mengenal gerak-gerik yang mencurigakan diharapkan anak tidak mudah terperangkap dalam jebakan tangan penculik. Simulasi juga dimaksudkan agar calon korban bisa mewaspadai orang-orang yang belum dikenalnya. Kalau pun pelakunya orang yang sudah dikenal dekat, biasanya polisi tidak akan kesulitan melakukan penyelidikan.
Kedua, meningkatkan keamanan di dalam sekolah dan lingkungan sekitar sekolah. Pihak sekolah mesti ekstra waspada dan "ketat" dalam melakukan prosedur pengamanan siswa. Jangan biarkan anak berbaur secara bebas dengan orang di luar sivitas sekolah pada jam-jam sekolah. Jangan biarkan pula anak nongkrong atau menunggu terlalu lama di tempat-tempat umum seperti terminal dan sebagainya.
Ketiga, biasakan anak mengenali orang-orang di sekelilingnya dan mencatat (mengingat atau menghafal) ciri-ciri khusus orang-orang di sekitarnya. Misalnya, ciri-ciri badani (tato, bentuk wajah, perawakan, dan sebagainya) atau ciri-ciri di luar badan seperti merk motor atau mobil serta nomor polisi kendaraan yang dikendarai orang-orang di sekitarnya.
Keempat, membiasakan anak menghafal nomor telepon keluarga, alamat rumah, dan kalau perlu nomor telepon kantor polisi, akan sangat membantu anak dalam upaya menyelamatkan diri dari ancaman penculikan.
Setiap musibah tentulah menyimpan hikmah, termasuk dalam kasus penculikan ini. Teror penculikan dapat diambil hikmahnya agar orang tua semakin dekat dengan anaknya dalam arti sesungguhnya. Selama ini orang tua cenderung menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah, dan kepengasuhan kepada pembantu atau baby sitter.
Relasi anak-orangtua-sekolah hanya kita dapati pada saat kenaikan kelas. Selebihnya, orangtua lebih asyik dengan urusan karier dan seabrek ambisi pribadi di sektor bisnis, politik, dan sektor-sektor lainnya. Angka-angka di atas raport maupun ijazah sudah mereka anggap cukup untuk mengukur perkembangan anak.
Hikmah lain yang tak kalah penting adalah adanya "intervensi" positif Presiden dan Wapres. Intervensi (baca: kepedulian dan perhatian khusus) Presiden dan Wapres ini bisa dijadikan bagian dari penanda bahwa pemerintah masih menyimpan nurani dan rasa tanggung jawab terhadap nasib seorang anak bangsa. Itu menunjukkan bahwa Presiden dan Wapres masih bisa 'mengendalikan' kesibukan kenegaraan, dan bukan 'dikendalikan' oleh kesibukan itu sendiri.
Rakyat tentu amat berharap, kepekaan (sensivity) dan kepedulian Presiden dan Wapres tidak berhenti sampai di situ. Andai semua persoalan bangsa, utamanya persoalan kawulo alit (masyarakat bawah) dan sekecil apa pun persoalan itu, mendapat perhatian serius dan istimewa dari Presiden dan Wapres tentulah bangsa ini akan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang diidamkan. Persoalan Lapindo, korupsi pejabat, hingga persoalan penggusuran, tidak akan lagi menjadi headline di media massa.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita camkan dengan sungguh-sungguh pesan Bang Napi: Waspadalah! Waspadalah!
--------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran Bernas Jogja pada Rabu, 5 September 2007.
Sumber Gambar
Post a Comment