MEMBERDAYAKAN UMAT DENGAN ZAKAT
Oleh: Irham Sya'roni
Oleh: Irham Sya'roni
Selama ini, anak-anak kita dibangku sekolah selalu diajari bahwa zakat merupakan rukun Islam yang keempat setelah syahadat, shalat, dan puasa. Padahal, senyatanya tidak demikian. Beberapa hadis Nabi menyebutkan bahwa zakat (wa iitaaiz zakat) adalah pilar Islam ketiga setelah shalat. Bahkan, Alquran pun banyak (kurang lebih 82 kali) menyebutnya bergandengan dengan perintah shalat.
Ini menjadi penanda bahwa zakat menduduki posisi terpenting setelah mendirikan shalat. Keduanya memiliki dimensi yang berkaitan erat. Bila shalat menimbulkan rasa kesetaraan kelas sosial (egalitarianisme, equality), maka zakat menimbulkan rasa persaudaraan kelas sosial di antara masyarakat, dengan tindakan nyata pihak berkecukupan untuk menyantuni kaum tak punya.
Dari situlah terlihat jelas bahwa maksud diajarkan zakat kepada umat Islam sebagai ibadah yang tidak hanya berdimensi ritual (pribadi), namun juga sosial. Meskipun perintah zakat (Q.S. At-Taubah [9]: 60) secara utuh baru diberlakukan pada tahun ke-9 H, tapi sejatinya jauh sebelum itu dan sebelum hijrah ke Madinah Rasulullah sudah mengeluarkan zakat. Hanya, saat itu belum ada definisi dan ketentuan yang jelas serta tegas seperti saat ini.
Setidaknya, dari riwayat inilah kita temukan esensi zakat yang memiliki kaitan erat dengan persoalan sosial dan ekonomi umat. Berpijak pada esensi itu, pesan-pesan zakat bukan sekadar menggugurkan kewajiban dari Tuhan, melainkan mengukuhkan semangat kebersamaan untuk saling membantu dan menolong meningkatkan derajat dan martabat sesama umat Islam.
Media Purifikasi
Secara epistemologis, zakat adalah penyucian diri dan harta. Dalam Alquran disebutkan, zakat berfungsi sebagai media penyucian diri dari harta (tuthahhirukum wa tuzakkiihim bihaa).
Misi penyucian ini memiliki dimensi ganda: sebagai sarana pembersihan jiwa dari sifat serakah bagi penunainya dan sebagai penebar kasih sayang kepada kaum tak beruntung sekaligus penghalang tumbuhnya benih kebencian dari si miskin terhadap kaum kaya. Dengan demikian, zakat dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya kepada penerimanya, tetapi juga kepada pemberinya.
Allah SWT berfirman, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (At-Taubah [9]: 103).
Kata tuthahhiruhum dalam ayat itu bermakna membersihkan jiwa, sedangkan tuzakkihim bermakna mengembangkan harta. Karena itu, dengan ajaran zakat, ada dua manfaat yang diperoleh: jiwa menjadi suci dan harta makin berkembang, bukan terkurangi.
Makna zakat sebagai media penyucian jiwa ini pernah dibuktikan dalam sejarah Islam masa Nabi Muhammad SAW. Dikisahkan dalam riwayat Ibnu Jarir, tiga dari enam sahabat Nabi Muhammad SAW tidak ikut Perang Tabuk karena takut mati.
Mereka adalah Abu Lubabah, Aus Ibnu Khazzam, dan Tas'labah. Mereka menghadap Rasul untuk bertobat dengan membawa harta bendanya dan diserahkan kepada Rasul, sambil mengikatkan diri di tiang masjid. Mereka yakin hanya Rasul yang dapat melepaskan tali ikatan mereka di tiang masjid.
Semula Rasul menolak karena belum mendapat petunjuk Allah. Baru setelah turun ayat zakat itu, Rasul membuka ikatan mereka dan menerima harta mereka. Inilah kisah zakat sebagai sarana penyucian jiwa dari segala perbuatan kemaksiatan.
Visi transformatif
Dalam tuturan Roger Geraudy, zakat merupakan bentuk keadilan internal yang terlembaga sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu, orang dapat menaklukan egoisme dan kerakusan diri.
Ia tidak sekadar menjangkau hubungan teologis dengan Tuhan, tetapi juga merefleksikan kehidupan sosial. Parameternya adalah, orang yang memiliki kesadaran hidup transendental (dekat dengan Tuhan) seharusnya merefleksi ke dalam kesadaran horizontal, seperti peduli terhadap masyarakat sekitar.
Di tengah situasi bangsa yang masih terpuruk saat ini dengan kehidupan masyarakat yang amat menyedihkan secara ekonomi, zakat menjadi dimensi ibadah yang penting. Zakat dapat diberdayakan untuk mendorong perbaikan kehidupan masyarakat.
Itu sebabnya, bukan persoalan zakat dikelola negara atau tidak, tetapi bagaimana zakat itu bisa bermakna ''transformatif'', menjangkau seluruh kehidupan masyarakat fakir-miskin, bukan menjadi perebutan para pengelola. Harus diingat, prioritas zakat diberikan kepada fakir-miskin bukan para pengelolanya (amil zakat). Inilah yang kita khawatirkan, dana zakat yang begitu besar hanya dimanfaatkan oleh mereka yang secara agama tidak berhak menerimanya.
Oleh karena itu, zakat harus bisa dijadikan sarana transformasi masyarakat menuju kehidupan yang berkeadilan dan seimbang secara ekonomi. Sebab, zakat dapat dijadikan modal untuk memperkuat civil service, yang salah satu cirinya adalah independensi. Artinya, suatu gerakan (institusi) yang tidak tergantung kepada negara/pemerintah.
Post a Comment