Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book, Yogayakarta
Cetakan : Pertama, September 2007
Tebal : 133 halaman
Tak ada satu pun yang menyangkal bahwa pendidikan kerapkali melahirkan orang pintar. Sayangnya, orang pintar itu bukan yang berjiwa pendekar, melainkan orang pintar yang miskin nyali untuk menyuarakan kebenaran dan merubah ketidakadilan secara mendasar.
Kobaran radikalisme yang mereka pupuk ketika menjadi mahasiswa tak lagi mempunyai lahan untuk tumbuh: ingin berkiprah di partai politik mereka harus berhadapan dengan politisi culas; mau berada di lingkungan LSM mereka akan menjumpai logika proyek; sedangkan jika hidup terus dalam dunia pergerakan mereka didesak oleh kebutuhan-kebutuhan konkrit.
Kapitalisme benar-benar telah menjarah dunia yang paling dekat dengan hidup mereka. Inilah yang membuat militansi mereka tidak berumur panjang. (hal. 7) Para intelektual telah menjadi budak kekuasaan dan kekuatan modal. Sehingga, dengan terperosoknya para intelektual, penindasan jadi terasa beraroma ilmiah.
Ali Syari’ati pernah berkata, "…seorang intelektual bagaikan direktur film. Ia harus mengetahui, memahami dan mengenal baik masyarakatnya. Apa yang ia katakan ada sangkut pautnya dengan massa masyarakat…dengan demikian tanggung jawab pokok cendekiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat…bila masyarakat dibangunkan secara benar, dia akan dapat melahirkan pahlawan-pahlawan yang cukup tangguh untuk memerintah dan membimbing masyarakat…tanggung jawab pokok cendekiawan adalah menanamkan dalam alam berpikir publik semua konflik, pertentangan dan antagonisme yang ada dalam masyarakat."
Syari’ati memang memuja tipe intelektual yang berani melawan segala bentuk kezaliman. Baginya, kehebatan Al-Ghazali maupun Ibnu Sina tak terlalu memesona karena tidak mampu menumbangkan dinasti Ghaznavis dan Seljug yang pada masa itu sangat kejam dan feodal.Sebaliknya, tokoh militan dan progresif seperti Abu Dzar Al-Ghifari disebutnya sebagai intelektual sejati.
Untuk konteks Indonesia, nama Tan Malaka adalah satu dari sedikit intelektual progresif yang berani mempertaruhkan hidupnya untuk memberangus kezaliman. Pandangan-pandangannya yang terekam dalam sejumlah karya telah membuktikan, bukan hanya, orisinalitas buah pemikiran tapi juga keberpihakan yang nyata. Kritikannya yang tajam pada kaum borjuis yang memadati parlemen Belanda kala itu kian relevan dan tepat untuk "membaca" kesuraman yang tumbuh di seputar kehidupan partai saat ini. (hal. 9)
Moralitas yang selalu ingin menumpuk-numpuk kekayaan telah menjangkiti hampir semua pejabat, sehingga tak ada lagi yang namanya tanggung jawab. Jabatan berubah menjadi ladang kenikmatan. Amanat bukan lagi dimaknai sebagai tanggung jawab, melainkan sekadar gincu pemanis dari sebuah pengkhianatan.
Tengok saja berapa banyak penderitaan rakyat jelata. Siapa yang bertanggung jawab ketika luapan lumpur Lapindo mengganas dan menenggelamkan rumah-rumah warga? Siapa yang bertanggung jawab ketika harga sembako meroket tak terkendali dan biaya pendidikan tak terjangkau lagi?
Sederet pertanyaan lain tentang "siapa" semestinya dialamatkan kepada pemerintah atau negara. Tapi, ironisnya, peran pemerintah justru semakin mandul. Bahkan mereka yang kebagian "amanat" lebih senang menjadi oportunis ketimbang menjadi pejuang yang populis.
Pertanyaannya, di manakah para cendekiawan berada? Ke mana gerakan militansi yang dulu kerap mereka gelorakan kala menjadi mahasiswa? Ironisnya, kalau toh mereka meluncurkan kritik, tak pernah berujung pada tuntutan perubahan mendasar. Kritik hanyalah pemanis komentar.
Kemunculan buku ini bertitik tolak dari berubahnya wajah cendekiawan yang cenderung tergerogoti oleh kepentingan kapitalis dan mereka sendiri cenderung bersikap elitis. Kecendekiawanan mereka bukan dimaksudkan untuk melayani rakyat, namun justru untuk mendudukkan mereka di puncak menara gading sebagai raja-raja kecil yang haus pelayanan rakyat.
Tidak salah, kehadiran buku ini menjadi amat urgen untuk "memprovokasi" kaum cendekiawan agar mereka kembali kepada peran sejatinya sebagai intelektual yang militan dan bernyali besar mengentaskan rakyat dari kezaliman dan ketidakadilan. Saat ini, rakyat bukan sekadar membutuhkan orang pintar. Tapi, orang pintar yang berani menderita dan bersama-sama rakyat bertempur melawan penindasan.
---------------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di harian Suara Merdeka pada Ahad, 30 Desember 2007.
Post a Comment