Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru//Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku//Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku//S’bagai prasasti trima kasihku ‘tuk pengabdianmu//Engkau bagai pelita dalam kegelapan//Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan//Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa//
Bait yang indah dan selalu dikenang, terlebih setiap 25 Nopember dalam rangkaian peringatan Hari Guru Nasional. Tak ada yang menampik bahwa lagu ini memang indah. Sayang, keindahannya tidak berjalan linier dengan nasib penciptanya, Sartono, guru kesenian di SLTP Kristen Santo Bernandus Madiun, Jawa Timur. Juga nasib mayoritas guru di Indonesia.
27 tahun sudah usia hymne ini. Selama itu pula gelar ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ selalu disandangkan kepada guru. Di satu sisi gelar ini amat menyanjung, namun di sisi yang lain justru kurang menguntungkan bagi profesi guru. Pasalnya, seringkali penghargaan yang mereka terima tak lebih dari sekadar pemanis bibir, sloganistis, dan bernuansa verbalisme.
Akibat verbalisme dan sloganisme inilah dunia pendidikan di Indonesia tak kunjung membaik, bahkan terpuruk. Termasuk di dalamnya adalah keterpurukan nasib mayoritas guru itu sendiri. Guru dikesankan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan “tulus” tanpa boleh menuntut hak dan kesejahteraan yang semestinya.Kesejahteraan dalam arti luas bukan hanya persoalan gaji, melainkan lebih dari itu juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesinya, kepastian karier, hubungan antarpribadi, dan perlindungan hukum.
Terkait rasa aman dan perlindungan hukum, kisah Komunitas Air Mata Guru dapat kita jadikan contoh betapa profesi guru belum sepenuhnya dilindungi dan diberkati rasa aman. Para guru yang tergabung dalam komunitas tersebut semestinya menerima kalungan medali karena telah berjasa mengungkap banyak kekurangan dan kecurangan UN 2007 kemarin. Namun, apa yang terjadi? Mereka justru diintimidasi, diisolasi, bahkan diberi sanksi administratif oleh pihak sekolah dan juga dinas pendidikan setempat.
Sementara terkait rasa nyaman dan perlakuan humanis, “tragedi insentif di Diknas Sleman” dapat kita jadikan amsal. Dua hari menjelang Idul Fitri 1428 H, para guru membanjiri Kantor Diknas Sleman untuk mengambil insentif tambahan. Mereka dipaksa menunggu berdesak-desakan selama berjam-jam (karena jadwal pembagian molor lebih dari dua jam). Saat itulah pemandangan ironis dipertontonkan. Ada yang bersimpuh (klesotan, klekaran) di lantai sambil menggendong bayinya, ada pula yang berebut posisi antrian. Sontak suasana menjadi gaduh. Seorang petugas pembagi insentif berusaha mengondisikan massa (para guru). Dengan nada kelakar sang petugas berteriak, “Ayo, adik-adik, tenang! Antri yang rapi ya!”
Bagi masyarakat non-Jawa, kalimat ini barangkali tidak begitu mengusik. Namun, bagi masyarakat Jawa yang memang sensitif, kalimat itu sungguh menyakitkan, merendahkan martabat.Sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional sesuai hak-hak profesinya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian, sebagai sebuah profesi, guru juga harus menepati kewajiban-kewajibannya secara baik, penuh tanggung jawab, dan profesional.
Guru Inspiratif
Pendidikan dan guru laksana dua sisi mata uang, sama-sama penting dan saling bergantung. Pendidikan yang baik hanya dapat terwujud manakala dilengkapi dengan guru-guru yang berkualitas, kreatif, berwatak pembebas, berintegritas tinggi, demokratis, dan tidak tertelikung oleh birokrasi pemerintahan maupun politik.
Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan, namun tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan. Perubahan kurikulum dengan beragam julukannya —CBSA, KBK, KTSP, atau apa pun sebutannya— tidak akan membawa perbaikan yang signifikan manakala manusia dewasa yang bernama guru itu tidak memahami dan menjalankan profesinya secara kreatif dan bertanggung jawab.
Guru adalah ujung tombak pendidikan, sementara birokrasi pendidikan hanyalah motivator untuk melejitkan kecerdasan dan kreatifitas mereka. Guru yang cerdas dan kreatif tentu paham tentang hak kebebasannya berekspresi, sehingga ia tidak selalu dalam bayang-bayang kekhawatiran “salah prosedur” atau menyalahi standar birokrasi.
Dalam meneropong persoalan ini, Ketua Program Magister Manajemen Uinversitas Indonesia Rhenald Kasali mengklasifikasi guru dalam dua tipe: guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Yang ia ajarkan hanyalah sesuatu yang standar (habitual thinking). Sementara tipe kedua bukanlah guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengelola dan meramunya di dalam, lalu membawa kembali keluar untuk masyarakat luas.
Jika tipe pertama menghasilkan manajer-manajer yang andal, maka tipe kedua melahirkan pemimpin-pemimpin yang berani merobohkan kebiasaan lama yang kontraproduktif. Kedua tipe ini sama-sama dibutuhkan, karena saling melengkapi. Tetapi ironisnya, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Padahal guru inspiratif amat menentukan masa depan bangsa agar keluar dari krisis. Ketika guru inspiratif kian dibelenggu dan dikerangkeng, maka semakin sulit bangsa ini keluar dari krisisnya.
Semula kita amat berharap kepada kurikulum muda yang bernama KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yang kemudian berganti baju menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pada dasarnya kurikulum ini menuntut guru bertindak aktif-kreatif, bukan sekadar menjadi robot-robot birokrasi. Guru dituntut bisa mendorong peserta didik untuk sadar akan potensi yang dibawanya, kemudian menemukan pengetahuan dan menguasai kompetensi-kompetensi tertentu sesuai potensi-potensi tersebut baik di ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Namun, idealisme ini tampaknya hanya ada di angan. Guru tetap saja pasif dan cenderung taken for granted terhadap pernak-pernik kurikulum yang dititahkan oleh birokrasi pendidikan. Entah guru yang salah ataukah memang demikian skenario buruk yang dirancang birokrat untuk mengegolkan “proyek-proyeknya”? Wallahu a’lam.
Lantas, kreativitas apa yang sudah dimainkan guru selama ini? Tak lain sekadar melakukan transfer pengetahuan dari dalam buku pelajaran, kemudian menyimpannya di dalam otak peserta didik, lalu mengeluarkannya manakala ujian digelar. Hasil pungkasannya adalah angka-angka fantastis di atas selembar ijazah.
Semoga momentum 25 Nopember menjadi tonggak kebangkitan dunia pendidikan kita, sekaligus perbaikan nasib para Oemar Bakrie yang selalu dikebiri. Di samping juga kebangkitan para guru dalam meningkatkan profesionalismenya.
--------------------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di Duta Masyarakat pada 27 November 2007.
Post a Comment