Sejarah mencatat, kiprah Nahdlatul Ulama (NU) dalam perpolitikan bangsa cukup diperhitungkan
dan disegani karena kekuatannya yang sangat besar, terlebih ketika NU tampil sebagai partai politik yang berdiri sendiri pada tahun 1952-1973.
Persoalan muncul ketika Pemilu 1971. Golkar menang mutlak dengan perolehan suara 62,80% atau 236 kursi DPR ditambah kursi Karya ABRI dan non-ABRI yang diangkat. Dengan mengantongi 336 kursi dari keseluruhan kursi yang berjumlah 460 di DPR, maka Golkar memiliki suara mayoritas mutlak. Sedangkan suara partai-partai Islam (kalaupun digabung) hanya mencapai 20,3% atau 94 kursi. Dari 94 kursi tersebut, 58 kursi (61,7%) adalah milik NU (M. Ali Haidar: 1994).
Kondisi ini mengakibatkan posisi tawar kelompok Islam dalam DPR sangat lemah. Sampai akhirnya, pada 5 Januari 1973 keempat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) sepakat melakukan fusi. Maka lahirlah partai politik baru yang menyatukan keempat partai Islam tersebut, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Keterlibatan NU dalam kancah politik yang dirasa sudah terlalu jauh, ditambah lagi munculnya konfrontasi antara NU dengan kelompok lain di PPP, membuat NU harus introspeksi diri. Puncaknya, pada Muktamar XXVII tahun 1984 di Situbondo NU memutuskan kembali ke Khittah 1926, sebagai organisasi sosial keagamaan.
Di tahun 1998, ketika lahir era reformasi, naluri tokoh-tokoh NU untuk berpolitik praktis kembali bangkit. Tetapi karena ada rambu “Kembali ke Khittah”, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kawan-kawan mengambil jalan keluar dengan mendeklarasikan partai baru yang secara organisatoris terlepas dari NU, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
PKB yang lahir atas restu dan fasilitas dari Pengurus Besar NU ternyata tidak serta merta di-makmum-i oleh seluruh nahdliyyin. Nyatanya, tokoh-tokoh yang berseberangan dengan Gus Dur lebih memilih bergabung dengan partai lain atau mendirikan partai baru yang mereka klaim pula sebagai partainya wong NU. Antara lain, PKU-nya K.H. Yusuf Hasyim (alm), PNUI-nya K.H. Syukron Ma’mun, dan Partai SUNI-nya Abu Hasan.
Sejak kelahirannya pada 23 Juli 1998, ternyata PKB belum mampu secara maksimal menjadi rumah politik yang nyaman bagi warga NU. Indikasi ini bisa dilihat dari realitas internal partai yang selalu memunculkan konflik bahkan sampai pada fase pertentangan yang akut, yaitu perpecahan. Diawali dipecatnya Matori Abdul Djalil dari kepengurusan PKB, yang akhirnya membentuk partai sendiri dengan nama Partai Kejayaan Demokrasi (PKD).
Kemudian, di pengujung 2006, sejumlah kyai PKB pun mengambil sikap mufaraqah (memisahkan diri/keluar) dan membentuk partai baru: Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang berasaskan Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Di antaranya adalah K.H. Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), K.H. Abdurrahman Chudlori (Tegalrejo, Magelang), K.H. Idris Marzuki (Lirboyo, Kediri), K.H. Nurul Huda Djazuli (Ploso, Kediri), K.H. Ma'ruf Amin (Jakarta), K.H. Warsun Munawwir (Krapyak, Yogyakarta), K.H. Muhaiminan Gunardo (Parakan, Temanggung), dan K.H. Dimyati Rois (Kendal).
Konflik internal ini pun membawa Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), Mantan Sekjen DPP PKB yang juga “pendekar” GP. Ansor, untuk mencari “solusi” dengan kembali ke “rumah” lama (PPP). Resminya, pada 20 Januari 2007, 29 eksponen NU (termasuk Gus Ipul) menyatakan bai’at (ikrar setia) kepada partai yang berlambang Ka’bah.
Rivalitas Kyai
Kondisi demikian memaksa politisi NU --yang sebagian besar adalah kyai -- untuk saling berseteru secara berkelanjutan. Rivalitas para kyai ini, disadari atau tidak, sebetulnya sangat tidak menguntungkan bagi masa depan NU sebagai jam’iyah, jama’ah, maupun nahdlah.
Memang, “konflik” adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam politik, bahkan bisa disebut esensi politik. Memang, konflik dapat juga berfungsi sebagai pengintegrasi masyarakat dan sumber transfromasi. Namun, sebagaimana kita lihat, konflik dalam tubuh NU (tepatnya politisi NU) cenderung mengarah pada terciptanya kubu-kubu yang terlibat pada ketegangan yang tentunya potensial melahirkan perpecahan.
Ironisnya, “ketegangan” antarpribadi kyai (politisi NU) ini memaksa umat untuk terlibat lebih dalam. Sampai akhirnya, umat pulalah yang diseret ke gelanggang ketegangan yang lebih panas semisal saling mendiskreditkan, mengisolasi kelompok yang berseberangan, bahkan lebih memprihatinkan jika sampai terjadi benturan fisik antarkubu. Kasus Jepara dan Pekalongan menjelang Pemilu 1999 yang menjatuhkan banyak korban dapat kita jadikan sebagai salah satu contohnya. Betapa bahasa agama yang digunakan para politisi dan kyai politisi dapat merubah konflik pribadi menjadi konflik massa .
Fenomena inilah yang kemudian melahirkan pertanyaan besar, sejatinya untuk siapa politik yang mereka mainkan? Rakyatkah (nahdliyyin) atau interes politik pribadi? Apakah mereka benar-benar masuk ke dalam ruang politik dengan membawa misi ke-NU-an, amar ma’ruf nahi munkar? Atau ada “misi lain”? wallahu a’lam
Yang jelas, di tengah rivalitas para tokoh NU, umatlah yang menjadi korban (fisik maupun psikis). Secara fisik, kasus Jepara dan Pekalongan adalah salah satu contohnya. Sedang secara psikis, misalnya, semakin suburnya mentalitas berseteru (jauh dari mentalitas bersaudara) dan fanatisme berlebihan kepada tokoh idola serta menganggap tokoh lain sebagai kyai mambu (kyai busuk) yang tidak layak dihormati apalagi di-ugemi. Jika mentalitas telah menjelma demikian, dimanakah peran kyai sebagai pengawal moral umat?
RenunganPertama, esensi Khittah 1926 adalah perjuangan untuk rakyat (utamanya nahdliyyin); menyejahterakan, mengangkat derajat, memperbaiki mutu pendidikan, dan sebagainya. Penuntasan program-program sosial keagamaan inilah yang mendesak diprioritaskan ketimbang agenda-agenda politik (kekuasaan) yang (hanya) menguntungkan segelintir orang.
Pascakembali ke Khittah, NU tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana. NU bukan PKB, bukan PKNU, bukan PPP, dan bukan pula lainnya. NU adalah surga bagi siapa saja yang berkomitmen pada persoalan keagamaan dan kemasyarakatan tanpa tendensi materi maupun kekuasaan. NU adalah rumah yang menyejukkan dan peduli pada persoalan keumatan.
Kedua, di tengah konflik intern, masyarakat NU tentulah sangat mengidamkan kesejukan. Dan itu hanya mereka dapati pada figur teduk yang berjuluk kyai. Sayangnya, fakta memperlihatkan betapa kyai sendiri pun tak bias menjamin lahirnya kesejukan. Pasalnya, kelembutan dan kesejukan telah tergadaikan dengan dunia politik yang sarat tendensi dan “kekerasan”.
Pada 31 Januari 2008, NU genap berusia 82 tahun. Dan, Januari 2008 ini ditetapkan sebagai “bulan”-nya NU atau one month action (aksi satu bulan penuh). Ini merupakan momentum yang tepat untuk merenungkan beberapa persoalan di atas dalam kerangka mencari solusi terbaik bagi masa depan NU yang membawa kesejukan dan kesejahteraan bagi warganya.
-------------------------------------
Tulisan/opini ini dipublikasikan di harian Solo Pos pada Jum'at, 25 Januari 2008.
Post a Comment