Mengefektifkan Zakat Fitrah



Zakat fitrah adalah simbol kepedulian massal yang harus dimiliki oleh seluruh kaum Muslimin. Di lingkungan mana pun mereka berada, tidak boleh ada orang yang lapar, tidak boleh ada orang miskin yang dibiarkan menderita. Semua harus berbagi dalam suka dan duka.

Zakat fitrah dapat dikategorikan sebagai praktik ibadah yang bersifat nashshi (ada sumber dalilnya), namun mekanisme pendistribusiannya tidak terlepas dari peranan ijtihad untuk menuju nilai-nilai efektivitas. Hal ini tidak dapat diabaikan karena zakat fitrah adalah ibadah yang langsung berkaitan dengan persoalan kemanusiaan, khususnya fakir dan miskin.

Selama ini, zakat fitrah selalu dipandang sekadar ritual ibadah ke-Allah-an, yang hanya diukur dengan kacamata fikih antara sah dan tidak sah. Jarang sekali orang memandangnya dari sudut ibadah kemanusiaan dengan berpijak prinsip kemaslahatan atau efektivitas.

Setidaknya ada tiga hal utama yang mutlak diperhatikan untuk mewujudkan zakat fitrah agar efektif, yaitu pendistribusian, waktu, materi dan takaran. Untuk yang pertama (pendistribusian), penulis menjumpai beberapa kasus yang amat mengusik kesadaran sosial. Misalnya: di beberapa daerah zakat diserahkan kepada kiai atau ustadz dengan dalih termasuk sabilillah. Kendati memang Imam Qaffal dan beberapa kitab tafsir konservatif membolehkan itu, tetapi ini jelas tidak efektif. Sebab, kiai biasanya sudah memiliki kekayaan dan makanan pokok lebih dari cukup. Apalagi kalau kiainya kerap diundang ceramah, berapa amplop yang ia kantongi?

Hal lain yang penting diperhatikan adalah persoalan waktu pendistribusian. Sebagaimana kita ketahui ada lima waktu pendistribusian zakat, dan masing-masing memiliki konsekuenai hukum: (1) boleh (jawaz) dibayar di awal Ramadan dan sampai mendekati pungkasan Ramadan, (2) waktu wajib, maksudnya orang yang menjumpai ujung akhir Ramadan dan ujung awal Syawal dibebani kewajiban membayar zakat, (3) sunnah atau afdal , yaitu setelah shubuh hari raya sampai sebelum melaksanakan shalat 'Id, (4) makruh apabila dibayar setelah shalat 'Id sampai maghrib tanggal 1 syawal, dan (5) haram apabila dibayar setelah memasuki tanggal kedua dan seterusnya dari bulan Syawal .

Dalam konteks kekinian dan kedisinian, sebaiknya pendistribusian zakat fitrah tidak semuanya dilakukan pada pengujung Ramadan atau malam hari raya. Pasalnya, pada beberapa hari sebelum lebaran biasanya kebutuhan mereka sudah mengalami pemuncakan. Apalagi saat itu harga-harga juga membumbung tinggi.

Selain itu, jika zakat diserahkan pada malam hari raya, mereka tidak banyak menikmati hasil zakat itu, sebab besoknya toko-toko tutup. Sehingga, terpaksa mereka harus menunda membelanjakan (melalui barter, misalnya) zakat fitrah itu dengan pakaian, uang, atau kebutuhan lain.

Yang tak kalah penting adalah persoalan materi dan takaran zakat. Diriwayatkan dari jama'ah dari Abdullah bin Umar, "Bahwa Rasul SAW mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadan satu sha' (segantang) dari kurma, atau satu Sha' dari gandum, atas setiap orang yang merdeka atau hamba laki-laki atau perempuan dari kaum muslimin." Dan pada riwayat Bukhari ada tambahan, "Atas anak kecil atau orang tua."

Simpula hadis tersebut adalah bahwa zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah berupa makanan pokok, seperti kurma, gandum, beras, jagung dan lain-lain, sesuai dengan makanan pokok yang dikonsumsi di negeri tertentu. (Fiqh Zakat, al-Qardhawi 2: 945).

Membayar Zakat Fitrah berupa makanan pokok, disepakati keabsahan dan kesahihannya oleh Jumhur Fuqaha (mayoritas ulama Fikih) baik dari kalangan Malikiah, Syafiiah, maupun Hanabilah karena berdasarkan hadits di atas. Tidak dibolehkan menyalahi sunnah yang telah ditentukan oleh Rasul SAW.

Masih menurut jumhur (mayoritas) ulama, zakat fitrah sifatnya adalah ta'abbudi (totalitas penghambaan). Dan, ta'abbudi itu memiliki sifat tauqifi alias tidak boleh diganti dengan praktik yang lain. Contoh praktik tauqifi yang lain adalah ritual shalat, haji, dan sebagainya.
Berbeda dengan pendapat di atas, menurut mazhab Hanafi, Umar bin Abdul Aziz, Hasan al-Basri, Abu Ishak, Atho' dan lain-lain, zakat fitrah boleh dibayarkan dalam wujud uang. Dasar mereka adalah hadis Nabi: "Aghnuhum fi hadzal yaum (Cukupkan mereka [fakir miskin] pada hari ini, [hari raya Idul Fitri]."

Persoalannya, apakah mata uang belum ada pada masa Rasul, sehingga beliau tidak mencontohkan langsung berzakat dengan uang? Diakui, bahwa uang sudah beredar pada masa Rasul SAW dalam bentuk Dinar (emas) Dirham (perak). Meskipun kala itu mata uang tersebut bukan mata uang Arab, tapi sudah menjadi mata uang Romawi dan Parsi. Karena mata uang tersebut jarang beredar di kalangan Arab dan sulit ditemukan, maka Rasul SAW tidak menggunakan mata uang sebagai zakat fitrah. Beliau khawatir itu akan menyulitkan kaum muslimin (Fikih Zakat, Yusuf al-Qardlawi 2 : 949).

Masih menurut Almarhum Prof. Dr. Yuruf al-Qardlawi, bahwa Rasul SAW tidak mencontohkan berzakat dengan uang karena nilai mata uang kerap mengalami fluktuasi sesuai dengan perubahan masa. Lain halnya berzakat dengan takaran satu sha' (gantang) makanan pokok tidak akan berubah untuk selama-lamanya.

Perbedaan lainnya menyangkut ukuran satu sha' (gantang) yang diterapkan pada masa Rasul SAW, yang bila ditakar dengan takaran internasional saat ini adalah kilogram.

Menurut pendapat jumhur ulama (Malikiah, Syafi'iyah, Hanabilan) 1 sha' (gantang) = 2751 gram atau 2,75 Kg. Berdasarkan riwayat Abi Said al-Khudry dan hadis riwayat Daruquthni dari Malik bin Anas.

Dalam Syafi'iyah, ada pula yang menakar 1 sha’ dengan takaran 2176 gram atau 2,2 kg makanan pokok (beras, misalnya). Dalam prakteknya jumlah ini digenapkan menjadi 2,5 kg, karena untuk kehati-hatian (ihtiyath). Bahkan takaran inilah yang banyak berlaku di negara kita.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, 1 sha' sama dengan 3800 gram atau 3,8 kg. Berdasarkan penafsiran hadis Tsa'labah bin Shair al-Uzry, dan mengikuti sha' (gantang) yang dimiliki oleh Umar ra. (Fiqh Islam wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaily 2 : 909).

Perbedaan pendapat antara jumhur dan Hanafiah baik dari jenis yang dizakati atau nilainya, ataupun ukurannya, tidak dapat dihindari karena sulitnya mencari ukuran sha' yang dipakai oleh Rasul SAW. Pada persoalan makanan pokok pun kita masih dalam penafsiran kontekstual terhadap hadis di atas. Sebab pada masa Nabi, beliau berzakat sepenuhnya dengan kurma, gandum, dan susu kering.

Dalam hal ini dibutuhkan konsistensi dalam menggunakan dua pendapat tersebut. Jika pendapat Abu Hanifah yang diambil, maka jumlah uang yang harus diserahkan seharga 3.8 kg. Sebaliknya, jika menggunakan pendapat Imam Syafi'i, maka pengalihan dalam bentuk uang tidak boleh sama sekali. Tidak boleh kita mengambil pendapat Hanafi yang membolehkan pengalihan uang tetapi ukuran yang digunakan adalah ketentuan Imam Syafi'i. Inilah yang dalam istilah fikih disebut talfiq.



----------------------------------------
Opini saya ini dipublikasikan di Harian Umum Pelita pada Jum'at, 12 September 2008.


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement