Judul: Gema Syahadat di Negeri Paman Sam
Penulis: Nuh Ha Mim Keller
Penyusun dan Alih Bahasa: Irham Sya’roni
Penerbit: Citra Risalah, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Aku (Nuh Ha Mim Keller) dilahirkan pada tahun 1945, di salah satu kota yang terletak di sebelah barat laut Amerika Serikat. Aku dibesarkan dalam sebuah keluarga agamais sebagai penganut Katolik yang taat. Semenjak kecil, aku telah diajarkan ilmu agama oleh salah satu gereja kota itu. Saat itu, tidak sulit bagiku untuk menjawab setiap permasalahan ataupun pertanyaan logika. Karena, aku dapat menjawabnya dengan jawaban yang tepat dan sama sekali tidak meragukan.
Namun, saat aku memasuki masa remaja, terlebih saat aku melanjutkan kuliah di sebuah universitas Katolik dan semakin banyak buku yang aku baca, maka seiring itu pula keimananku mulai goyah. Aku ragu, baik dalam hal akidah maupun ritual sehari-hari.
Salah satu yang membuat aku ragu adalah seringnya terjadi perubahan dalam liturgi dan tata upacara keagamaan serta lagu-lagu yang dilantunkan, terutama sejak Konsili Vatikan II pada tahun 1963. Konsili Vatikan ini menggambarkan bahwa gereja tidak mempunyai konsistensi dan pedoman baku yang harus dikukuhi.
Kalangan gereja berapologi bahwa hal ini menunjukkan kelenturan dan relevansi liturgikal. Tetapi bagi kalangan kaum Katolik awam, pernyataan gereja ini tidak dapat diterima akal.
Secara prinsipil semua orang sepakat bahwa Tuhan tidak berubah, demikian pula kebutuhan jiwa manusia, dan wahyu dari langit tidak lagi turun ke bumi. Namun demikian, tata cara tersebut terus dijalankan tanpa henti, minggu berganti minggu dan tahun berganti tahun, perubahan demi perubahan yang menyentuh dasar pemikiran akidah pun dilakukan, baik dengan membuang atau merubahnya dari bahasa latin menjadi bahasa Inggris, sampai akhirnya menggunakan gitar dan alat-alat musik sebagai sarana dalam melakukan upacara keagamaan.
Saat para pendeta memberikan ceramah dan tuntunan, serta berusaha membuat alasan-alasan dengan segala cara untuk mencari tujuan baru agama tersebut.. dan tampak para jama’ah –hampir seluruh mayoritas orang-orang Katolik– menunjukkan rasa kagum mereka dengan menggelengkan kepala, namun tidak sedikit di antara mereka yang benar-benar meragukan keberadaan tujuan tersebut.
Adapun alasan kedua adalah karena aku dibesarkan di lingkungan gereja, sehingga aku menemukan banyak sekali keganjilan dalam hal akidah. Trinitas merupakan keganjilan yang paling sulit aku terima, sebab selama ini tiada orang yang mampu menjelaskan secara rasional hingga dapat diterima akal, baik pendeta orang biasa atau bahkan para pendeta sekalipun.
Keyakinan para pemeluk agama Kristen menganggap hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesatuan tuhan, yang terdiri dari tuhan ayah, yaitu tuhan yang mengatur alam semesta dari atas langit; tuhan anak, yaitu tuhan yang berwujud manusia sebagai penebus bagi umatnya; dan tuhan roh kudus, yaitu yang selalu diilustrasikan --dalam setiap doa dan gambar-gambar keagamaan-- dengan titisan berupa seekor merpati putih yang memiliki tugas di bawah keduanya.
Aku ingin mengenang kembali cita-citaku yang polos sewaktu masih kecil. Dulu aku ingin mengokohkan hubungan dengan ketiga tuhan tersebut, dengan harapan dapat mengabulkan permintaanku. Untuk beberapa waktu aku memohon kepada salah satunya dengan sungguh-sungguh dan tulus, dan beberapa waktu berikutnya aku beralih kepada yang lain, begitu seterusnya. Tetapi, keduanya tetap menggantungkan permohonannya di angkasa. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mengabulkannya. Akhirnya, aku merasa bahwa tuhan bapa adalah tuhan yang layak dimintai daripada dua tuhan yang lainnya. Karena itulah, dalam keyakinan agama Katolikku, ketuhanan Al-Masih (Yesus) merupakan persoalan sangat besar.
Setelah berpikir lebih jauh, perenunganku menyimpulkan bahwa sifat manusia sangatlah berbeda dengan sifat Tuhan dalam segala hal. Manusia bersifat terbatas, sedangkan Tuhan bersifat mutlak dan tidak berbatas. Aku tidak ingat, baik pada masa kecilku maupun sesudahnya, apakah aku pernah meyakini dengan sungguh-sungguh ataukah tidak bahwa Yesus adalah tuhan.
Hal lain yang membuatku ragu adalah adanya “surat penebusan dosa” yang dijual oleh gereja dan wajib dibeli oleh siapa pun yang ingin diringankan atau bahkan dihapuskan dosanya. Dengan beberapa lembar uang yang engkau berikan kepada pendeta, maka dosa-dosamu akan berkurang saat mempertanggungjawabkannya di depan “api suci”. Kebohongan ini sebenarnya telah dikuak oleh Martin Luther di awal masa reformasi Protestan terhadap gereja.
Aku ingat bahwa aku dulu sangat suka terhadap ayat-ayat tuhan (Injil) yang diturunkan untuk menunjukkan kepada manusia agar mereka lebih baik. Pada satu hari perayaan Natal, aku pernah diberi hadiah dua Injil: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Saat mencoba membacanya, aku mendapatkan banyak sekali ketidaksesuaian antara keduanya yang secara logis tidak dapat disatukan, sehingga aku merasa putus asa untuk berusaha mengambil hukum-hukum dari keduanya dan menjadikannya landasan hidup.
Seiring berjalannya waktu, dan karena semakin banyak pengetahuan yang aku peroleh, maka aku dapat mengetahui bahwa orang-orang Kristen telah merekayasa masalah itu dan menyebarkannya di muka bumi. Kelompok Protestan membuat ajaran-ajaran baru khusus untuk yang mereka yakini. Mereka menggunakan ayat-ayat untuk menguatkan ajaran mereka dan membuang ayat-ayat yang lain. Demikian halnya dengan orang-orang Katolik, mereka membuang seluruh ayat-ayat yang tidak termasuk dalam upacara keagamaan (liturgi) mereka.
Semuanya telah jelas menunjukkan kepadaku bahwa dalam kitab suci itu terdapat banyak pengurangan, penambahaan, ataupun perubahan yang mengakibatkan melenceng dari kitab aslinya.
Saat aku melanjutkan studi ke Universitas Katolik Gonzaga di daerah Washington, di musim gugur tahun 1972, aku mengetahui bahwa kitab suciku, terlebih Perjanjian Baru, telah direkayasa oleh banyak orang Kristen sebagain produk kajian hermeunetik modern kaum Kristen sendiri.
Untuk mengkaji teologi modern, aku baca terjemahan Norman Perrin, seorang berkebangsaan Inggris, atas buku The Problem of the Historical Yesus yang ditulis oleh Joachim Jeremias, seorang ahli Perjanjian Bama abad ke-20, yaitu abad ketika para tokoh agama menghabiskan waktu mereka untuk mengkaji ayat-ayat secara tajam, dengan alat bantu bahasa asli Injil. Pada akhir kajiannya, Jeremias menyatakan sependapat dengan seorang tokoh teologi Jerman, Rudolph Bultmann, yang dengan pasti mengatakan bahwa keinginan untuk menuliskan sejarah perjalanan hidup seseorang secara pasti tidak akan mungkin. Dengan demikian, kehidupan Yesus --yang memang benar-benar pernah hidup-- tidak mungkin dapat diungkapkan kembali secara meyakinkan hanya dengan mengacu pada kitab Perjanjian Baru.
Dengan menggunakan nalar yang sehat, hati kecilku mengatakan bahwa jika pendapat ini diakui sendiri oleh penganut Kristen dan salah seorang ahli analisisnya, maka apa yang akan dikatakan oleh para penentang kitab suci tersebut?
Yang ada saat ini adalah bahwa kitab tersebut hanyalah pengungkapan beberapa kebenaran yang bercampur dengan rekaan yang dinisbahkan kepada Kristus oleh para pengikutnya, yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Misalnya, siapa sebenarnya Yesus dan apa ajarannya.
Para tokoh teologi Kristen, seperti Jeremias, dengan susah payah dapat memastikan diri mereka sendiri dengan adanya “sejarah Yesus” dan risalahnya yang mendapat banyak penentangan dalam Perjanjian Baru.
Aku telah mempelajari filsafat di universitas. Dari pelajaran yang aku terima, aku mendapat dua pertanyaan untuk dapat mengetahui kebenaran tersebut. Pertama; apakah sebenarnya kebenaran itu? Dan yang terakhir; bagaimana kita bisa mengetahuinya?
Saat aku melontarkan dua pertanyaan tersebut kepada diri sendiri, sebagai seorang yang beragama, aku tidak dapat menjawabnya.. Saat itulah aku tahu bahwa agama Kristen tidak dapat lagi aku terima. Aku pun kemudian mulai melakukan pencarian kebenaran dengan cara yang mungkin tidak popular di kalangan kebanyakan anak muda Barat, yaitu mencari makna di balik dunia tak bermakna.
Post a Comment