Nafsu seksual adalah salah satu hal yang dilatih
agar bisa dikendalikan melalui puasa Ramadhan. Islam sesungguhnya telah
memudahkan, karena pelarangannya hanya pada siang hari sejak terbit fajar
hingga tenggelamnya matahari. Selain di waktu itu, diperbolehkan. Tapi
nyatanya, tidak semua orang dapat mengendalikan diri. Bahkan pernah terjadi di
zaman Nabi.
Suatu hari, para sahabat sedang duduk-duduk di
dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba datanglah seorang
laki-laki menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Wahai Rasulullah, celaka aku,” kata orang itu
dengan suara yang cukup keras hingga didengar para sahabat.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Aku menjima’ istriku di siang hari, padahal aku
sedang puasa” tuturnya dengan nada takut.
“Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat
kau merdekakan?” tanya Rasulullah. Memerdekakan budak merupakan kafarah bagi
orang yang berhubungan suami istri di siang hari pada bulan Ramadhan.
“Kami tidak punya ya Rasulullah”
“Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan
berturut-turut?” Ini merupakan kafarah level kedua. Jika orang yang berhubungan
di siang hari pada bulan Ramadhan tidak mampu memerdekakan budak, maka ia
diwajibkan puasa dua bulan berturut-turut.
“Tidak,” jawab orang tersebut. Logikanya, untuk
Ramadhan yang hanya satu bulan saja ia tidak kuat menahan syahwat, bagaimana
jadinya jika ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ia keberatan dan
yakin tidak dapat menunaikannya.
“Apakah engkau bisa memberi makan kepada 60 orang
miskin?” Ini merupakan kafarah level ketiga. Jika orang yang berhubungan di
siang hari pada bulan Ramadhan tidak mampu memerdekakan budak, juga tidak mampu
menunaikan puasa selama dua bulan berturut-turut, maka ia diwajibkan memberi
makan 60 fakir miskin. Mirip seperti fidyah pengganti atas puasa dua bulan
berturut-turut tersebut.
“Tidak mampu ya Rasulullah,” lagi-lagi demikian
jawaban laki-laki itu. Ketika mengisahkan kisah yang diriwayatkan Imam Bukhari
dalam kitab Shahih-nya ini, KH Zainuddin MZ berkomentar: rupanya laki-laki ini
miskin, tapi ia ‘belagu’. Berani melanggar larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang kafaratnya sangat berat.
Mendengar jawaban tidak tidak tidak itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam diam sejenak. Dalam kondisi itu, datanglah
seseorang yang memberi hadiah kepada Rasulullah berupa satu wadah kurma.
“Di mana orang yang bertanya tadi?” tanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Ya, aku ya Rasulullah,” jawab laki-laki itu yang
masih menunggu keputusan Rasulullah.
“Ambillah kurma ini dan bersedekahlah dengannya”
sabda Nabi sambil menyerahkan kurma tersebut.
“Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih
miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di
ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.” Benar kata KH
Zainuddin MZ, ternyata laki-laki tersebut paling miskin di daerahnya.
Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tertawa hingga gigi taring beliau kelihatan. “Kalau begitu, berikanlah
kurma ini pada keluargamu.”
Masya Allah… Demikianlah keadilan Islam,
demikianlah kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah
tidak serta merta memerintahkan laki-laki tersebut memerdekakan budak, tetapi
bertanya dulu untuk mengetahui kemampuannya. Rasulullah juga tidak marah
meskipun laki-laki tersebut melanggar larangan Allah. Islam benar-benar indah.
“Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa”
Siapa yang mengatakan Islam itu sulit, sesungguhnya
ia telah keliru. Siapa yang mengatakan syariat Islam itu keras dan kejam,
sungguh ia telah keliru.
Laki-laki tersebut juga menjadi contoh salah satu
kemuliaan zaman sahabat. Ia menghadap Rasulullah untuk meminta solusi atas
masalahnya. Ia tahu ia bersalah, namun ketakutannya akan kesalahan dan harapannya
atas taubat menjadikan ia begitu mulia.
Sungguh indah kalimat Yahya bin Mu’adz Ar Razi
rahimahullah: “Dosa yang aku pinta ampunan-Nya lebih aku sukai daripada
ketaatan yang aku bangga-banggakan”
Wallahu a’lam bish shawab.
Post a Comment