Judul buku : Pengalaman Shalat Pertamaku Sehingga Ia Menjadi Candu Bagiku
Ketika Rasulullah memerintah umatnya agar mengikuti shalat seperti yang beliau lakukan, itu artinya kita diperintah mengikutinya secara sempurna baik ritual maupun spiritual. Ritual artinya menegakkan secara benar syarat dan rukunnya, serta meninggalkan hal-hal yang membatalkannya. Sedangkan spiritual berarti melaksanakannya dengan penuh keikhlasan, ketundukan, dan kekhusyukan.
Kedua dimensi ini merupakan bagian integral yang tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka shalat menjadi tidak sempurna. Bila hanya mengutamakan spiritual --dengan mengabaikan yang ritual—, maka tidak sah. Pun sebaliknya, bila ritual saja yang diutamakan --dengan mengabaikan yang spiritual--, boleh jadi shalat itu sekadar rutinitas yang hampa makna; tidak berdampak apa pun pada diri pelakunya.
Shalat bukanlah urusan fikih semata. Sebagai sebuah aktivitas ubudiyah, shalat lebih dekat dengan tasawuf yang lebih menekankan dimensi spiritual atau dimensi esoteris manusia. Inti shalat tidak terletak pada bilangan (menjadi dua, tiga, atau empat rakaat) dan tidak pula waktu (menjadi subuh, zuhur, ashar, dan seterusnya). Inti shalat adalah mengintimkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yaitu Zat yang menciptakannya. Bahkan Nabi pernah bersabda bahwa shalat yang hanya diperhitungkan bilangannya adalah shalat seorang pedagang.
Penulis buku ini sangat khawatir jika kelak para pelaku shalat tidak mencerap dimensi ternikmat dari shalat ini. Kekhawatiran ini semakin meletup manakala penulis teringat dengan perkataan sahabat Nabi, Umar bin Khattab, “Orang yang benar-benar berhaji itu sedikit, tetapi yang menaiki kendaraan untuk menunaikan haji sangat banyak jumlahnya.” Mungkinkah pernyataan itu juga berlaku untuk aktivitas ubudiyah bernama shalat? Bisa saja, jika orang yang melakukan shalat tidak berhasil menyentuh ranah spiritual dan hanya bermental ‘pedagang’.
Buku ini akan menjadi pembimbing spiritual yang dengan hangat mengajak pembaca untuk secara langsung merasakan ‘alam shalat’ baru yang sarat dengan kekayaan rohani. Dalam proses membaca buku ini, secara perlahan-lahan pembaca dituntun untuk melakukan perubahan spiritual, perbaikan diri, dan menembus dinding tebal yang memenjarakan jiwa serta memburamkan hati.
Buku ini membimbing kita menelusuri sisi-sisi tersembunyi dari shalat yang kerap tak tersentuh oleh pelakunya. Setiap tahapan, gerakan, dan ucapan dalam shalat yang tak tersentuh itu didedah secara detil dan mencerahkan oleh buku ini, dengan harapan bisa mengantarkan manusia untuk mereguk kemesraan kasih ilahi yang terpancar dari cahaya shalat. Sehingga shalat benar-benar terasa nikmat dan menjadi candu bagi pelakunya.
Penulis : Dr. Khalid Abu Syady
Penerjemah : Irham Sya’roni
Penerbit : Citra Risalah, Yogyakarta
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : 195 halaman
Shalat adalah ibadah terpenting dan utama dalam Islam. Dalam deretan rukun Islam, Rasulullah menyebutnya sebagai yang kedua setelah mengucap dua kalimat syahadat (syahadatain). Bahkan Nabi saw. pernah bersabda bahwa batas antara keimanan dan kekufuran seseorang hanya terhalang oleh selembar tirai tipis bernama shalat.
Ketika Rasulullah memerintah umatnya agar mengikuti shalat seperti yang beliau lakukan, itu artinya kita diperintah mengikutinya secara sempurna baik ritual maupun spiritual. Ritual artinya menegakkan secara benar syarat dan rukunnya, serta meninggalkan hal-hal yang membatalkannya. Sedangkan spiritual berarti melaksanakannya dengan penuh keikhlasan, ketundukan, dan kekhusyukan.
Kedua dimensi ini merupakan bagian integral yang tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka shalat menjadi tidak sempurna. Bila hanya mengutamakan spiritual --dengan mengabaikan yang ritual—, maka tidak sah. Pun sebaliknya, bila ritual saja yang diutamakan --dengan mengabaikan yang spiritual--, boleh jadi shalat itu sekadar rutinitas yang hampa makna; tidak berdampak apa pun pada diri pelakunya.
Shalat bukanlah urusan fikih semata. Sebagai sebuah aktivitas ubudiyah, shalat lebih dekat dengan tasawuf yang lebih menekankan dimensi spiritual atau dimensi esoteris manusia. Inti shalat tidak terletak pada bilangan (menjadi dua, tiga, atau empat rakaat) dan tidak pula waktu (menjadi subuh, zuhur, ashar, dan seterusnya). Inti shalat adalah mengintimkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yaitu Zat yang menciptakannya. Bahkan Nabi pernah bersabda bahwa shalat yang hanya diperhitungkan bilangannya adalah shalat seorang pedagang.
Muhammad Iqbal, seorang sufi yang juga penyair, pernah menulis sebuah artikel berjudul “Konsep tentang Tuhan dan Makna Shalat” (The Conception of God and the Meaning of Prayer). Dalam artikel tersebut, Iqbal berpendpat bahwa shalat pada dasarnya merupakan “alat bantu” (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Sebagai sebuah alat bantu, shalat memiliki keterbatasan-keterbatasan. Setiap orang, kata Iqbal, mendapatkan efek kesadaran yang berbeda-beda dari shalat yang dijalankannya. Yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir.
Buku ini tampaknya tak jauh substansinya dengan artikel Iqbal tersebut. Buku ini merupakan pengalaman spiritual seorang Doktor yang menemukan pencerahan jiwa dalam shalatnya. Dalam satu kesempatan shalat di hadapan Ka’bah, penulis terhenyak, “Ternyata shalat yang aku lakukan selama ini hanyalah rutinitas dan ritual yang tidak membawa perubahan.” Sejak itulah penulis memandang ada dimensi terpenting yang kerap terlupakan oleh dirinya, bahkan oleh kebanyakan orang, yaitu dimensi spiritual. Dimensi inilah, yang dalam firman Allah disebut tanha ’an al-fahsya’ wa al-munkar, dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (Q.s. Al-’Ankabut [29]: 45).
Buku ini bukan sekadar paparan filosofis-mistis yang kerap terkesan kering. Buku ini justru dipadati dengan berbagai ungkapan hangat, menyentuh, dan menggugah. Pembaca yang mau merenung dengan pikiran terbuka pasti akan menemukan perbendaharaan spiritual yang menakjubkan.
Penulis buku ini sangat khawatir jika kelak para pelaku shalat tidak mencerap dimensi ternikmat dari shalat ini. Kekhawatiran ini semakin meletup manakala penulis teringat dengan perkataan sahabat Nabi, Umar bin Khattab, “Orang yang benar-benar berhaji itu sedikit, tetapi yang menaiki kendaraan untuk menunaikan haji sangat banyak jumlahnya.” Mungkinkah pernyataan itu juga berlaku untuk aktivitas ubudiyah bernama shalat? Bisa saja, jika orang yang melakukan shalat tidak berhasil menyentuh ranah spiritual dan hanya bermental ‘pedagang’.
Buku ini akan menjadi pembimbing spiritual yang dengan hangat mengajak pembaca untuk secara langsung merasakan ‘alam shalat’ baru yang sarat dengan kekayaan rohani. Dalam proses membaca buku ini, secara perlahan-lahan pembaca dituntun untuk melakukan perubahan spiritual, perbaikan diri, dan menembus dinding tebal yang memenjarakan jiwa serta memburamkan hati.
Buku ini membimbing kita menelusuri sisi-sisi tersembunyi dari shalat yang kerap tak tersentuh oleh pelakunya. Setiap tahapan, gerakan, dan ucapan dalam shalat yang tak tersentuh itu didedah secara detil dan mencerahkan oleh buku ini, dengan harapan bisa mengantarkan manusia untuk mereguk kemesraan kasih ilahi yang terpancar dari cahaya shalat. Sehingga shalat benar-benar terasa nikmat dan menjadi candu bagi pelakunya.
Post a Comment