Resensi: Tarekat, NU, dan Politik

Judul : Pertemuan Antara Tarekat dan NU
(Studi Hubungan Tarekat dan NU dalam Konteks Komunikasi Politik 1955 – 2004)
Penulis : Drs. Ja’far Shodiq, M.Si.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xix + 222 halaman


Politik itu kotor! Politik itu najis! Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak seluruhnya benar. Memang citra panggung politik bangsa ini kini telah sedemikian keruh dan muram. Perilaku amoral terlalu sering dipertontonkan, dan etika politik pun seringkali dilanggar. Seolah-olah politik semakna dengan intrik memperebutkan kekuasaan segala cara, termasuk menghalalkan segala yang tidak halal.

Namun demikian, jika menengok sejarah konsep dasar politik itu sendiri, sesungguhnya politik adalah keluhuran. Tanpa politik, manusia akan semakin kacau: tak ada aturan main, tak ada keadilan, tak ada keselarasan, sehingga semakin suburlah hukum rimba.

Bagi kaum agamais, berpolitik adalah pilihan yang berat, sebab risikonya dunia dan akhirat. Karenanya, secara organisatoris NU mengambil posisi yang netral, yakni kembali kepada Khittah 1926. Kalau pun banyak warga NU yang terjun ke politik, itu bukan pilihan yang mudah. Pilihan itu mesti berangkat dari konsep spiritualisasi, yang berangkatnya, caranya, dan mengakhirinya harus benar-benar sesuai dengan nilai-nilai keimanan.

Tidak berpolitik pun sesungguhnya juga sebuah pilihan yang berat. Sebab, ketika warga NU pasif, maka tidak ada wadah yang mengakomodir kepentingannya. Akibatnya, NU hanya menjadi objek tarik-menarik kepentingan semata. Jelas ini menjadi ironi, sebab NU memiliki jumlah pengikut terbesar di negeri ini.


Untuk mengembalikan politik kepada fitrahnya yang luhur, maka dibutuhkan individu-individu (politisi) yang luhur pula. Dalam konteks ini, tarekat merupakan bagian dari keluhuran yang sarat moral. Ia adalah etika, tradisi, dan budaya bagaimana seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui etika inilah manusia semakin dibentuk moralitas kerendahan hatinya (tawadhu’). Di “bilik spiritual” inilah segala ambisi, keakuan, dan agresivitas obsesif dapat dipatahkan, sehingga terwujudlah “politik yang suci”.

Buku ini tidak saja mendeskripsikan secara sistematis dimensi historis pertemuan antara tarekat dan NU dalam bingkai komunikasi politik, namun lebih dari itu juga memberi penerangan yang substansial tentang urgensi kekuatan moral untuk tampil meluruskan sejarah kelam bahwa “politik itu kotor”. Kaum moralislah yang paling relevan mengubah keadaan menjadikan politik itu luhur, politik itu menyejahterakan, mengadilkan, dan menyelaraskan.


--------------------------------------
Tulisan ini dipublikasikan di koran harian Media Indonesia pada Sabtu, 19 Juli 2008.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement