Hurr bin Yazid Al-Riyahi
adalah komandan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Dengan sekitar
seribu orang yang dipimpinnya, Hurr mendapat perintah untuk menghadang gerak Imam
Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan menggiring mereka
menghadap Ibnu Ziyad.
Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan
dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang
paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu.
Sebab dengan menjalankan perintah
demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat posisi Imam
Husein dan keluarganya terjepit sampai mereka kehabisan air minum.
Namun sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran
jiwanya telah membuat dia terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka.
Hurr sadar bahwa dia berada di tengah pasukan yang berniat membantai Al-Husein
dan keluarganya.
Jika tetap bersama pasukan ini berarti dia akan mencatatkan
namanya dalam daftar orang-orang terlaknat sepanjang masa. Hurr melihat dirinya
berada di persimpangan jalan.
Dia harus memilih, mati tercincang-cincang dengan
imbalan surga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan
janji akan siksa neraka. Hurr memilih surga meski harus melewati pembantaian
sadis pasukan Ibnu Ziyad.
Dengan langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan
Imam Husein a.s. Semua mata memandang mungkinkah Hurr komandan yang pemberani itu
akan menjadi orang pertama yang menyerang Imam Husein?
Namun semua tercengang
kala menyaksikan Hurr bersimbuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas
kesalahannya. Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dan dengan gagah
berani mencabik-cabik barisan musuh.
Hurr gugur sebagai syahid dengan
menghadiahkan darahnya untuk Islam.
Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan
mengatakan "Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan
ibumu kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat."
Muslim bin Ausajah
Muslim bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang
berada di dalam rombongan Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang
keberanian dan kepahlawanannya di berbagai medan perang dipuji banyak orang.
Ketika Imam Husein mengumumkan rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan
Yazid, Muslim bin Ausajah mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata,
dan mengambil baiat warga Kufah.
Di padang Karbala, ketuaan Muslim sama sekali
tidak menghalangi kelincahan geraknya. Satu-persatu orang-orang yang berada di
hadapannya terjungkal.
Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk
menghujaninya dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum melepas
nyawa, dia memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak
meninggalkan Imam Husein.
Habib bin Madhahir
Di Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua
diantara para sahabat Imam Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul
Bait. Kehadirannya di tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat
tersendiri.
Di malam tanggal sepuluh Muharram, atau malam pembantaian, wajah
Habib terlihat berseri-seri. Tak jarang dia melempar senyum kepada anggota
rombongan yang lain.
Ada yang mempertanyakan mengapa dia tersenyum di malam
yang mencekam ini? Habib menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan
menyenangkan. Sebab tak lama lagi, kita akan berjumpa yang Tuhan.
Di bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah
medan. Usia lanjut tidak menghalangi kelincahannya memainkan pedang.
Habib
sempat melantunkan bait-bait syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya
kepada Nabi dan kebenaran risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan militer
yang ada di pihak musuh tidak membuatnya gentar.
Sebab baginya, kemenangan
bukan hanya kemenangan lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan
besar yang didambakan para pecinta seperti Habib.
Ayunan pedang tepat mengenai
kepala putra Madhahir dan membuatnya terjungkal. Darah segar membahasi
janggutnya yang putih.
Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat
melempar senyum ke arah Al-Husein yang memberinya kata selamat menjumpai surga.
Habib gugur setelah melagakan kepahlawanan dan kesetiaan.
Nafi' bin Hilal
Nafi' bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal
sebagai perawi hadis, qari, dan sahabat dekat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada
Ahlul Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam
membela Imam Ali a.s., ayah Imam Husain.
Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas
dan lima puluh orang sahabat Imam Husein, Nafi' memporak-porandakan barisan
musuh untuk sampai ke sungai Furat. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan
Imam Husein berhasil mengambil air dan mengirimnya ke perkemahan.
Sahabat setia
Al-Husien ini dikenal sebagai pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang
dan melukai beberapa orang lainnya, Nafi' bin Hilal gugur sebagai syahid.
Burair bin Khudhair
Di tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa
puluh orang, terdapat beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan
zuhud, diantaranya adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati
Burair dan menyebutnya sebagai guru besar Al-Quran. Ketinggian iman Burair
tampak di malam Asyura.
Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu
menggoda Abdurrahman Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Kepadanya
Abdurrahman berkata, "Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau
bergurau."
Burair menjawab,"Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku
tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara
kita dan surga hanya beberapa saat".
Kita hanya perlu sejenak menari-narikan
pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang
ke surga.Burair gugur syahid dan namanya abadi.
Dia telah mengajarkan
kesetiaan kepada agama dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.
Kemenangan dalam berjuang tidak selalu berbentuk kemenangan
lahiriyah. Adakalanya gugur dalam perjuangan juga merupakan sebuah kemenangan
besar. Tak salah bila ada pepatah yang mengatakan: darah mengalahkan pedang.
Kisah Karbala adalah salah satu contohnya. Meski sejak awal, seluruh anggota
rombongan Imam Husein telah mengetahui bahwa mereka adalah kafilah yang
bergerak menuju kematian, tetapi cita-cita luhur dan keyakinan akan kemenangan
dengan syahadah membuat mereka mantap melangkah.
Kami masih bersama Anda dengan
pembicaraan seputar tokoh-tokoh kebangkitan Asyura dan drama yang mereka
pentaskan di Karbala.
Ali Akbar bin Husain as
Ketika rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala,
terlihat barisan pasukan Ibnu Ziyad yang berbaris bagai batang-batang korma di
tengah sahara.
Menyadari bahwa ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di
sana berniat membantai Al-Husein dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein
bertanya kepada ayahnya, "Ayah, bukankah kita berada di pihak yang benar?"
Imam menjawab "Iya".
Mendengar jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau
begitu tidak alasan bagi kita untuk merasa ragu dan gentar.
Saat Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan
kesetiaannya kepada sang ayah dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan
berlinang air mata memandang nanar ke arah putranya dan berkata, "Ya Allah,
saksikankah pemuda yang paling mirip wajah, tutur kata dan perangainya dengan
Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur. Selama ini, kami mengobati kerinduan
kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah, jauhkan mereka dari barakah bumi ini
dan cabik-cabiklah barisan mereka".
Ali Akbar maju dan dengan gesit dia menari-narikan
pedangnya. Beberapa orang yang menghadangnya terjerembab ke tanah terkena
sabetan pedang putra Al-Husein.
Tak lama kemudian, kisah kepahlawanan dan
kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap setelah sebilah pedang mendarat di
tubuhnya.
Ali Akbar jatuh tersungkur dan musuh-musuh berhamburan menyambutnya
dengan mendaratkan pukulan pedang bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu.
Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya
dengan mengatakan, "Ayah, Rasulullah telah memberiku air, beliau menunggu
kedatanganmu".
Cucu Rasul itu gugur syahid dengan meninggalkan pelajaran
berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam membela kebenaran.
Qasim bin Hasan as
Mungkin kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah
kisah yang paling menarik tentang kesetiaan dan pengorbanan.
Kemenakan Imam
Husein yang saat itu masih sangat belia, yaitu berusia kurang dari lima belas
tahun, telah menyuguhkan pelajaran yang amat berharga.
Di hari Asyura, saat
pembantaian di Padang Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan laga.
Imam
Husein mendatanginya dan bertanya,"Qasim, bagaimana engkau memandang
kematian?"
Qasim menjawab, "Kematian bagiku lebih manis dari madu."
Remaja belia yang terdidik di rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam
cinta rabbani dan tak sabar menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan
sang Pencipta. Qasim maju ke medan laga dan gugur sebagai syahid.
Jaun bin Abi Malik
Jaun bin Abi Malik, adalah bekas budak Abu Dzar Al-Ghifari
yang kemudian mengabdi di rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah
Imam Husein as.
Di siang hari Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan
penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di
Padang Karbala.
Meski tidak terlibat dalam konflik, Jaun tidak mau tinggal
diam. Dia bangkit dan meminta ijin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan
darahnya dalam membela keluarga Nabi.
Imam Husein yang terkenal bijak
mengatakan, "Wahai Jaun, jangan celakakan dirimu. Engkau telah
kumerdekakan".
Jaun menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, "Tuanku, selama ini aku hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal
diam menyaksikan engkau dan keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku
tidak akan meninggalkanmu sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci".
Budak berkulit hitam itu menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya.
Jaun mengajarkan makna sejati dari balas budi.
Setelah mendapat ijin, bekas
budak Abu Dzar itu maju ke medan laga dan mempertontonkan semangat pengorbanan
untuk keluarga Rasul.
Untuknya Imam Husein berdoa, "Ya Allah putihkan
wajahnya, masukkanlah ia ke dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan
dia dari keluarga Muhammad."
Wahb bin Abdullah
Wahb bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam
Husein. Sebelum bertemu Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani.
Di
tangan Imam Husein, dia dan ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala
bersama Imam Husein, Wahb baru 17 hari menikah.
Sebagai bukti kesetiaan kepada
penghulu pemuda surga dan pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24
penunggang kuda dan 24 prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya.
Namun Wahb
berhasil ditangkap dan dibawa menghadap Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu
Ziyad.
Wahb gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah
pemenggalan kepalanya. Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam
Husein.
Ibu Wahb dengan bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela
kebenaran. Kepala itu dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, "Aku tidak
akan mengambil kembali apa yang telah kupersembahkan untuk Islam".
Tak cukup
dengan persembahan itu, wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke
arah musuh. Ibu Wahb ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke
surga. Namun Imam Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.
Kisah pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang
menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang
kembali di padang Karbala.
Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan
kesempatan kepada Imam Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban
shalat.
Saat Imam Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para
sahabatnya, Said bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putra Fatimah itu
dari terjangan tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh
Said dipenuhi oleh tombak dan anak panah.
Said roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia
berkata, "Ya Allah, sampaikan salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada
beliau bahwa luka-luka di sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan
membela cucu kesayangannya yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan".
Mata
sayu Said untuk beberapa saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, "Wahai
putra Rasulullah, apakah aku sudah melaksanakan janji setiaku?"
Imam Husein
menjawab, "Ya, engkau telah mendahuluiku masuk ke surga".
Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri
Kisah Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah
kisah cinta yang luhur. Selain dikenal pemberani dan piawai dalam bertarung di
medan tempur, Abis juga terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan
shalat tahajjud.
Di malam Asyura, Abis mendatangi kemah Imam Husein. Kepada
beliau, Abis mengatakan, "Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang
kucintai dan aku hormati lebih dari dirimu, wahai putra Rasulullah. Jika
ketulusan cinta ini dapat aku tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih
berharga dari jiwa dan ragaku, pasti akan kulakukan.".
Abis gugur syahid
setelah pasukan musuh yang kewalahan dalam menghadapinya, menghujaninya dengan
batu-batuan.
Post a Comment