KISAH LAIN TENTANG GUGURNYA ALHUSAIN R.A
Di samping versi yang sebelumnya, ada kisah lain yang menggambarkan
detik-detik Alhusain r.a. terakhir pada pertempuran di Karbala itu.
Dikisahkan
bahwa ketika tinggal Alhusain r.a. seorang diri melakukan perlawanan terakhir,
maka setelah bertempur hampir sepanjang hari, cucu Rasul Allah s.a.w. itu
akhirnya tidak dapat menahan lagi kelelahan dan kehausannya.
Sesungguhnya pada
detik-detik yang demikian itu sangat mudah bagi anggota-anggota pasukan Umar
bin Saad untuk menamatkan riwayat Alhusain r.a.
Tetapi, bagaimanapun juga tersesat hati mereka, tokh ada sekelumit
perasaan yang tertinggal di hati mereka. Yaitu bahwa yang ada di hadapannya itu
adalah Alhusain r.a., cucu kesayangan Rasul Allah s.a.w.
Pasukan yang terdiri
dari beberapa suku kabilah itu rupanya enggan dan takut untuk menjadi algojo
putera dari keturunan agung dan suci itu.
Masing-masing suku secara diam-diam mengharapkan agar bukan
orang dari sukunyalah yang tercatat dalam sejarah sebagai pembunuh keturunan
langsung Rasul Allah s.a.w. itu.
Melihat musuh-musuhnya yang terdiam dan
ragu-ragu itu, akhirnya Alhusain r.a. menyadari bahwa ia dalam keadaan sangat
kehausan.
Dengan setengah sadar ia kemudian berjalan dengan lunglai
menuju ke tepi sungai Euphrat. Tetapi usahanya itu telah dihalang-halangi.
Seorang dari Bani Tamim bernama Umar Atthohawi ketika melihat Alhusain r.a.
mendekati sungai Euphrat, kemudian mengangkat busurnya, memegang tali busur dan
melepaskan anak panah yang akhirnya mengenai pundak Alhusain r.a. sebelah
kiri.
Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh pukulan pedang
temannya yang bernama Zur’ah bin Syarik Attamimi, tetapi yang berhasil
ditangkis oleh Alhusain r.a. dengan tangannya.
Dan tangan Alhusain r.a. putus
karenanya. Sinan bin Anas kemudian tidak mau ketinggalan dan langsung menyerbu
ke arah Alhusain r.a. dan menikam lambung cucu Rasul Allah s.a.w. yang sudah
hampir sama sekali tidak berdaya itu, Alhusain r.a. rubuh ke tanah.
Belum puas dengan tindakannya itu, Sinan bin Annas kemudian
menyelesaikan “tugas”-nya dengan menebas batang leher Alhusain r.a. yang sudah
tertelungkup di tanah.
Setelah itu dipungutnya kepala yang sudah terpisah dari
badan tersebut dan diserahkan kepada salah seorang temannya bernama Khauli bin
Yazid Al-usbuhi.
Sebab pembunuh terakhir Alhusain r.a. itu kemudian sibuk
“mengurusi” tubuh Alhusain r.a. untuk mengambil celana, terompah dan pedang
yang dikenakan dan dipergunakan oleh Alhusain r.a.
Demikianlah suatu versi yang lain dari kisah yang
menyedihkan mengenai akhir kehidupan dari putera Ali bin Abitholib r.a. dan
cucu tersayang Rasul Allah s.a.w. di Karbala, tidak jauh dari Kufah di wilayah
Irak sekarang ini.
Gugurnya Alhusain r.a. menandai berakhirnya pertempuran
tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah di Karbala yang berlangsung sehari suntuk
antara 4.000 orang anggota pasukan Umar bin Saad dari Kufah dan sekelompok
tidak lebih dari 80 orang anggota rombongan Alhusain r.a.
Pedang-pedang
dibersihkan dan dimasukkkan ke dalam sarungnya. Busur-busur disarangkan kembali
ke pundak. Tombak-tombak dibersihkan ujungnya dari darah yang mulai mengering.
Tidak ada lagi sudah sasaran untuk senjata-senjata yang
digerakkan oleh tangan-tangan yang dikendalikan jiwa yang dihuni oleh syaitan
itu.
Jenazah para pahlawan, anggota rombongan Alhusain r.a. yang bertebaran di
padang Karbala itu bisa dibedakan dengan jelas dari mayat-mayat anggota pasukan
Umar bin Saad yang tidak sedikit jumlahnya.
Jenazah-jenazah pasukan Alhusain r.a. semuanya sudah tidak
berkepala lagi karena selalu ditebas dengan gemasnya oleh pasukan-pasukan dari
Kufah.
Tinggal lagi tubuh-tubuh yang tidak berkepala itu berserakan. Di angkasa
burung-burung buas berterbangan, siap untuk berpesta pora dengan mayat yang
sedemikian banyaknya.
Pada saat demikian itulah, menurut suatu riwayat yang
dikisahkan oleh penulis sejarah Islam terkenal Atthobari dan Ibnul Atsir,
pasukan Umar bin Saad yang masih segar kemudian berebut beramai-rarnai
menggerayangi jenazah-jenazah para pahlawan tersebut untuk mengambil apa saja
yang bisa mereka bawa.
Kuda dan onta yang sudah tidak bertuan lagi mereka kejar-kejar
untuk mereka miliki. Senjata yang sudah lepas dari tangan-tangan yang tak
bernyawa mereka angkuti.
Dan belum puas dengan itu semua, mereka kemudian
mengarahkan pandangannya ke perkemahan para wanita dan anak-anak.
Tanpa perintah komandannya, tetapi diperintah oleh syaitan
yang bersemayam dalam hati mereka, kemudian mereka menyerbu kemah-kemah kaum
wanita yang sudah ditinggalkan sama sekali oleh kaum lelaki itu. Berpacu mereka
saling mendahului untuk mendapatkan barang yang terbaik dan terbanyak.
Segera dari dalam kemah itu terdengar jeritan-jeritan dan
tangisan perempuan untuk sebentar kemudian diikuti oleh wanita yang menggendong
anak-anak berlarian ke luar.
Tetapi orang-orang tetap mengejar mereka dan
melucuti perhiasan dan pakaian yang dikenakan oleh wanita dan anak-anak itu.
Melihat tingkah polah anggotanya itu, Umar bin Saad
tersentuh hatinya. Segera diperintahkannya agar mereka menghentikan
tindakan-tindakannya itu.
“Hayo, kembalikan semua barang-barang wanita-wanita itu,” perintahnya.
Tetapi mabuk kemenangan dan mabuk harta menyebabkan orang-orang itu sama sekali
tidak mematuhi perintah atasannya.
Demikian menurut apa yang diriwayatkan oleh Atthobari dan
Ibnu Atsir mengenai detik-detik terakhir peristiwa hitam yang terjadi di
Karbala itu.
Hari semakin gelap. Di ufuk Barat tinggal lagi cahaya merah
tua. Burung-burung pemakan mayat yang berpesta mulai meninggalkan tempat
kembali ke sarangnya. Sebentar kemudian tibalah waktu maghrib.
Perempuan-perempuan anggota rombongan Alhusain r.a. melakukan sholat maghrib
dalam keadaan yang paling menyedihkan. Tanpa pemimpin dan tanpa Imam mereka.
Mereka mengadukan nasibnya sekarang kepada Allah s.w.t.
Suasana berkabung dan sedih mencekam wanita dan anak-anak
seperti serombongan anak ayam yang ditinggalkan tiba-tiba oleh induknya dan
dibayangi di atas oleh burung elang yang kelaparan.
Tidak jauh di depan
kemah-kemah mereka terserak jenazah orang-orang yang sangat mereka cintai
terdiri dari sanak- saudara dari rumpun Bani Hasyim, kerabat yang paling dekat
dari Rasul Allah s.a.w.
Segera bulan menggantikan matahari menyinari padang Karbala
yang mengerikan itu. Burung-burung ganas digantikan oleh anjing-anjing liar
padang pasir.
Suara aungan mereka menambah seram malam 10 Muharram itu. Mereka
mencium bau mayat-mayat segar dan segera akan berpesta pora.
Lolongan kegembiraan mereka memanggil kawan-kawannya lebih
menyatat-nyayat hati orang-orang perempuan yang duduk termangu-mangu sambil
mengucapkan kata-kata membesarkan nama Allah s.w.t. dan mohon ampun kepada-Nya.
Perlahan-lahan mereka keluar kembali menuju ke bekas medan laga. Tanpa takut
dan ngeri, di bawah cahaya bulan mereka merunduk-runduk melihat mayat dari satu
jenazah ke jenazah yang lain.
Dengan kepiluan dan kasih sayang dan sedu sedan mereka
mengumpulkan tangan yang telah hilang untuk didekatkan dengan tubuh yang
semuanya sudah tidak berkepala lagi itu.
Tangan suami tangan kekasih, tangan
kakak atau adik yang tercinta. Kemudian mereka duduk termangu menunggui
sisa-sisa bekas orang-orang yang paling mereka kasihi dan mengasihi mereka.
Sementara itu tidak jauh dari tempat kedudukan itu terhimpun
sisa anggota pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Beramai-ramai mereka mengelilingi
api unggun.
Bernyanyi, tertawa dan bersorak serta berpesta pora sambil
menghitung-hitung harta hasil rampokan mereka masing-masing.
Di samping itu mereka juga sibuk menghitung kepala-kepala
manusia yang mereka bawa seperti menjinjing kepala kambing. Komandan pasukan
dari Kufah itu kemudian memerintahkan agar kepala-kepala anggota rombongan
Alhusain r.a. itu dikumpulkan untuk dibawa ke Kufah guna diserahkan sebagai
barang bukti kesetiaan mereka kepada Ubaidillah bin Ziyad.
Kitab “Asadul-Ghabah” mengungkapkan, bahwa komandan pasukan,
Umar bin Saad di samping berhasil menyerahkan kepala Alhusain r.a. juga telah
menyerahkan tidak kurang dari 71 kepala para sahabat dan keluarga Alhusain r.a.
yang telah gugur di Karbala itu.
Ternyata kepala-kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya itu
dijadikan bahan rebutan oleh suku-suku Arab yang berada di sekitar Kufah.
Mereka itu ingin memperoleh bukti bahwa mereka telah berjasa menumpas rombongan
Alhusain r.a. untuk kemudian dapat digunakan sebagai usaha mencari muka dan
menjilat kepada Ibnu Ziyad di Kufah atau Yazid bin Muawiyah di Damsyik (Syam).
Buku “Asadul-Ghabah” itu selanjutnya mengungkapkan bahwa
suku Kindah yang dipimpin oleh Qais bin ‘Asy’ats telah berhasil mengumpulkan
dan “mempersembahkan” kepada Ibnu Ziyad 13 buah kepala.
Sedangkan suku Hawazin yang dipimpin oleh Syammar Dzil
Jausyan yang terkenal sebagai orang yang sangat membenci ahlul-bait berhasil
“mempersembahkan” 20 buah kepala dari orang-orang keluarga Rasul Allah s.a.w.
itu.
Sementara Bani Tamim dan Bani Asad masing-masing “memberikan sumbangan”
berupa 17 buah kepala dari hasil pembantaian yang mereka lakukan di Karbala
pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah itu.
Ksatria Karbala
Perjalanan sejarah telah dipenuhi oleh figur-figur teladan
dan tokoh-tokoh besar yang namanya abadi dan tindak-tanduknya layak diteladani.
Lembaran hidup mereka mementaskan kepahlawanan, kedermawanan, keramahan, dan
kebesaran.
Di saat-saat genting sekalipun, kebesaran jiwa mereka tetap
menjadi panutan. Kisah tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala meski
menjadi luka yang dalam bagi umat Islam sepanjang sejarah, namun penuh dengan
hikmah.
Tragedi Karbala adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan,
antara kemanusiaan dan kebinatangan, antara kemuliaan dan kehinaan, antara
kebebasan dan keterbelengguan.
Di padang tandus Nainawa, figur-figur besar semisal Hurr bin
Yazid Al-Riyahi, Habib bin Madhahir, Ali bin Al-Husein, Wahb bin Abdullah dan
lainnya mengajarkan kepada umat manusia di sepanjang zaman tentang makna sejati
dari kebesaran, keberanian, kepahlawanan, kehormatan, dan kesetiaan.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membawa Anda ke masa
itu, saat lakon-lakon Karbala mementaskan drama kesucian. Kami akan mengajak
Anda untuk mencermati fragmen-fragmen yang mereka mainkan.
Bersambung . . . . . .
Post a Comment